IDN Times Xplore/Anak Muda Kreatif_SMK TUNAS MEDIA
Di awal abad ke-20, plastik hadir dengan membawa cahaya penuh harap. Ia disebut sebagai penemuan berharga setara emas: ringan, kuat, dan mampu menggantikan kayu atau logam yang semakin terbatas. Plastik kala itu adalah teman, sahabat yang hadir untuk mempermudah hidup manusia. Namun, seperti kisah persahabatan yang berubah arah, plastik perlahan menjadi lawan. Gunungan sampah plastik yang sulit terurai menjelma menjadi momok yang mengancam. Laut kita kini sesak, bahkan ikan-ikan menelan mikroplastik yang tak kasat mata. Sang sahabat kini berbalik menjadi musuh dalam selimut.
Tahun demi tahun masalah akibat plastik terus meningkat. Namun ironisnya, manusia masih hidup bergantung pada plastik. Memang tak mudah untuk berganti haluan, sebab segala efisiensi yang ditwarkan dengan menggunakan plastik sudah melekat dalam sehari-hari. Akan tetapi, di tengah krisis ini, generasi muda justru menyalakan obor harapan. Bukan memaksa diri untuk memusuhi plastik, melainkan dengan cerdas membuat sebuah inovasi untuk berteman dengannya. Kita, anak-anak era digital, tak hanya sibuk dengan layar, tapi juga mulai bertanya: “Bagaimana bumi ini bisa bertahan?” Dari situ, inovasi lahir. Ada teknologi mesin pengolah sampah sederhana yang dirancang mahasiswa, aplikasi yang mengajarkan gaya hidup hijau, hingga ide kreatif mendaur ulang plastik menjadi bahan bangunan. Semua lahir dari semangat ingin membuktikan bahwa teknologi bukan sekadar alat untuk scroll tanpa henti, tapi juga senjata untuk melawan kerusakan alam.
Sayangnya, meski suara alarm bumi sudah nyaring, masih banyak masyarakat yang bersikap acuh. “Ah, sampah satu botol saja mana bisa bikin bumi hancur,” begitu kira-kira pikir sebagian orang. Padahal, jika berjuta orang berpikir sama, gunung plastik akan terus meninggi. Sikap tak peduli ini seperti racun halus: tak terasa, tapi pelan-pelan mematikan. Dampaknya nyata, banjir datang lebih sering karena saluran air tersumbat, udara makin panas, dan laut makin sekarat. Indikasi perubahan iklim pun sudah kita rasakan: hujan tak menentu, musim seperti salah alamat.
Namun, di antara suara cuek itu, ada dentuman semangat yang tak bisa diabaikan. Nama Pandawara misalnya, kelompok anak muda yang memilih turun langsung ke medan. Mereka tidak hanya bicara di media sosial, tapi juga terjun membersihkan sungai dan pantai yang penuh sampah. Aksi mereka viral, dan justru itulah kekuatan zaman ini: viralitas bisa menjadi katalis perubahan. Pandawara mengajarkan kita bahwa menjadi eco-warrior bukan tentang menunggu perubahan dari orang lain, tapi mulai dari langkah kecil sendiri, lalu menularkan energi positif itu ke sekitar.
Di balik semua ini, jelas bahwa edukasi memegang peranan penting. Tanpa pengetahuan, orang akan terus menganggap sampah hanyalah “hal kecil”. Tanpa kesadaran, teknologi sehebat apa pun tak akan dimanfaatkan dengan benar. Maka, tugas kita bukan hanya menciptakan teknologi ramah lingkungan, tapi juga mengedukasi masyarakat agar ikut serta dalam pertempuran ini. Sebab, bumi bukan hanya milik kita hari ini, tapi juga warisan untuk generasi yang belum lahir.