- Guru pembimbing: Emmi Yuliani
- Ketua tim: Narayan Abiyyu
- Anggota tim: Alfian Pramana. S, Aulia, Aurel Diva Lestari
[MADING] GREENWASHING: Si Hijau yang Menipu

Banyak perusahaan atau brand kini gencar mengusung citra ramah lingkungan, namun sayangnya tidak semua benar-benar peduli terhadap kelestarian alam; praktik ini dikenal dengan istilah greenwashing, yaitu upaya menipu masyarakat lewat klaim "hijau" yang hanya sebatas strategi pemasaran. Fenomena ini berbahaya karena membuat masyarakat terkecoh sekaligus menghambat gerakan penyelamatan lingkungan yang sesungguhnya. Dari keresahan tersebut, kami, Tim VINR GAIA dari SMAN 1 CIBADAK, menyusun mading digital bertema greenwashing sebagai media edukasi dan ajakan agar kita lebih kritis terhadap klaim lingkungan yang sering kita jumpai.
Tim kami terdiri dari:
Karya ini dibuat untuk keperluan kompetisi Mading Digital IDN Times Xplore 2025. Mading ini ditampilkan apa adanya tanpa proses penyuntingan dari redaksi IDN Times.
ESSAI: LATAR BELAKANG

Bayangkan: niat baik kita menjaga bumi ini justru berubah menjadi pisau yang menusuk punggung bumi. Kita membeli sedotan kertas dengan bangga, memilih botol minum bertuliskan eco-friendly, atau kosmetik berlabel natural, lalu merasa sudah ikut menyelamatkan bumi. Namun kenyataan pahitnya, semua itu sering kali hanyalah "Jebakan Hijau" yang sengaja diciptakan perusahaan melalui praktik bernama greenwashing.
Greenwashing dapat disebut sebagai “kepedulian palsu” yang dipoles dengan kata-kata indah. Perusahaan menutupi kerusakan yang mereka ciptakan dengan kemasan hijau, slogan ramah lingkungan, dan janji manis yang terdengar begitu meyakinkan. Konsumen dipaksa percaya bahwa pilihan mereka punya dampak positif, padahal sesungguhnya kita sedang memberi ruang pada kebohongan yang semakin melukai bumi. Ini tentunya menjadi masalah besar, bukan hanya soal produk, tetapi juga tentang bagaimana persepsi publik dimanipulasi demi merauk keuntungan.
Tidak bisa dipungkiri, isu lingkungan kini menjadi perhatian global. Dunia menghadapi krisis besar, seperti perubahan iklim yang ekstrem, hutan yang habis digunduli, laut dipenuhi plastik, dan udara yang tercemar polusi. Kesadaran masyarakat terhadap gaya hidup berkelanjutan pun meningkat. Sayangnya, kesadaran ini berubah menjadi celah yang dimanfaatkan perusahaan bukan sebagai panggilan untuk berubah, melainkan peluang untuk bisnis. Label “eco-friendly”, “green product”, atau “sustainable” ditempel dengan mudah, padahal sering kali label hijau ini hanya untuk menutupi jejak hitam dalam proses produksi mereka.
Kita ambil contoh sederhana: sedotan kertas yang selama ini dipromosikan sebagai penyelamat bumi. Sekilas, produk ini tampak sebagai alternatif ramah lingkungan yang mampu menggantikan plastik sekali pakai. Tapi benarkah sedotan kertas benar-benar menjadi solusi hijau? Kenyataannya justru berbeda. Penelitian yang dilakukan Universitas Antwerp sebuah kampus dengan reputasi internasional dalam riset lingkungan dan PFAS. Mengungkap bahwa pada tahun 2023, sebanyak 90% sedotan kertas yang diuji, mengandung PFAS (Per- and Polyfluoroalkyl Substances), bahan kimia beracun yang sulit terurai dan dapat mencemari tanah maupun air selama ratusan tahun. Lebih memprihatinkan lagi, PFAS juga berpotensi membahayakan kesehatan manusia. Fakta ini menegaskan bahwa tidak semua produk berlabel “Eco-Friendly” benar-benar aman. Alih-alih menjadi solusi, sedotan kertas justru menghadirkan masalah baru yang lebih berbahaya, tersembunyi, dan sulit diatasi. Dengan demikian, sedotan kertas bukanlah simbol penyelamatan bumi, melainkan contoh nyata praktik greenwashing menjual citra hijau tanpa memberi solusi sejati.
Bahaya yang lebih luas dari greenwashing bukan sekadar kebohongan kecil. Dampaknya merambat luas:
•Merusak kepercayaan publik. Konsumen yang kecewa bisa menjadi tidak peduli dan menganggap semua produk ramah lingkungan hanyalah tipu daya.
•Terhambatnya perubahan global merupakan dampak nyata dari praktik ini. Praktik ini membuat batas antara solusi nyata dan ilusi menjadi kabur, sehingga target penting seperti SDG 12 (Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan) berisiko gagal tercapai.
Bahaya terbesar bukan hanya pada produk yang dijual, tetapi pada ilusi yang diciptakan. Masyarakat dibuat percaya bahwa perubahan sudah terjadi, padahal sistem produksi yang merusak bumi tetap berjalan.
Fenomena greenwashing juga sangat nyata di Indonesia. Banyak produk di pasaran tampil dengan wajah “hijau” yang menipu. Misalnya, kosmetik dengan klaim “natural”, deterjen berkemasan hijau dengan tulisan eco-friendly, hingga minuman dalam botol plastik sekali pakai yang dipasarkan sebagai “sustainable”. Semua tampak indah di permukaan, namun faktanya masih banyak perusahaan yang membuang limbah ke sungai, mengeksploitasi hutan, dan merusak ekosistem laut. Ironisnya, konsumen Indonesia sering kali tidak memiliki akses informasi yang cukup untuk memverifikasi klaim tersebut, sehingga mudah terjebak oleh label hijau yang menyesatkan.
Jenis-jenis praktik greenwashing yang marak terjadi di Indonesia jika diperhatikan lebih dalam sesungguhnya bisa dijelaskan melalui beberapa pola umum:
1. Hidden Trade-off (Menutupi Dampak Lain). Perusahaan menonjolkan satu sisi ramah lingkungan, tetapi menutupi sisi lain yang merusak. Contoh: produk kertas yang diklaim dari hutan lestari, tetapi proses produksinya boros energi dan air.
2. No Proof (Tanpa Bukti). Banyak produk bertuliskan “100% eco-friendly” atau “natural” tanpa sertifikasi resmi maupun laporan valid yang mendukung.
3. Vagueness (Klaim Kabur). Label samar seperti “green”, “alami”, atau “ramah lingkungan” sering dipakai tanpa penjelasan jelas. Misalnya, sabun dengan tulisan “green” tanpa keterangan bahan maupun proses produksinya.
4. Irrelevance (Tidak Relevan). Klaim yang benar, tetapi tidak penting untuk isu lingkungan saat ini. Misalnya, tulisan “bebas CFC” pada produk aerosol, padahal CFC sudah lama dilarang secara global.
5. Worshiping False Labels (Label Palsu). Tidak jarang perusahaan menempel logo hijau palsu seolah-olah itu sertifikasi resmi, padahal hanya buatan sendiri tanpa pengakuan dari lembaga independen.
ESSAI: KESIMPULAN

Dengan menelaah berbagai contoh nyata di Indonesia dan mengaitkannya dengan pola umum yang terjadi, dapat dipahami bahwa greenwashing bukan sekadar strategi pemasaran, melainkan merupakan suatu bentuk manipulasi sistematis yang dapat menghalangi upaya perubahan lingkungan yang sebenarnya.
Solusi Menghindari Greenwashing
Agar masyarakat tidak terjebak dalam ilusi hijau, diperlukan sikap yang lebih kritis dan analitis. Terdapat dua langkah sederhana namun esensial yang dapat dilakukan:
Parsitipasi dalam pendidikan dan literasi lingkungan.
Keterlibatan dalam kampanye maupun komunitas lingkungan dapat meningkatkan kapasitas individu dalam mengidentifikasi praktik greenwasing. Pengetahuan ini penting untuk dibagikan kepada orang lain agar semakin banyak orang yang sadar dan tidak mudah tertipu oleh klaim hijau yang menyesatkan.
Pemanfaatan media sosial secara bijak.
Media sosial sebaikanya diarahkan untuk menyebarluaskan informasi berbasis fakta mengenai greenwashing serta untuk memberikan dukungan terhadap produsen yang memiliki komitmen nyata terhadap prinsip keberlanjutan lingkungan. Dengan demikian, media sosial dapat berfungsi sebagai sarana edukatif sekaligus sarana penguatan gerakan lingkungan yang berbasis bukti.
Pada akhirnya, greenwashing adalah cermin yang memantulkan wajah kita, konsumen yang ingin berbuat baik, tetapi sering tertipu oleh kemasan hijau. Jika kita lebih kritis, lebih sadar, dan lebih berani bersuara, maka ilusi hijau ini bisa dihilangkan. Menjaga bumi bukan soal memilih kemasan yang tampak ramah lingkungan, melainkan berani memastikan bahwa ,produk benar-benar lahir dari proses yang tidak melukai alam.
INFOGRAFIK

Melalui infografik tentang greenwashing ini, kami berharap masyarakat semakin sadar bahwa tidak semua klaim "hijau" benar adanya. Banyak perusahaan yang hanya berusaha menampilkan citra peduli lingkungan untuk menarik simpati konsumen, padahal praktiknya sama sekali tidak berkontribusi pada kelestarian alam. Jika hal ini terus dibiarkan, dampaknya bukan hanya merugikan konsumen secara ekonomi, tetapi juga memperlambat langkah nyata dalam menyelamatkan Bumi. Karena itu, kami ingin mengajak semua pembaca untuk lebih kritis, selektif, dan berani menguji kebenaran di balik label ramah lingkungan yang ditawarkan. Dengan begitu, kita tidak hanya terhindar dari tipuan pemasaran semata, tetapi juga benar-benar ikut mendukung gerakan ramah lingkungan yang nyata dan berkelanjutan.
Rubrik Diskusi: Infografik Pertamina

Melalui kajian tentang energi hijau, kami semakin memahami bahwa peralihan ke energi terbarukan adalah langkah penting yang tidak bisa ditunda lagi. Ketergantungan berlebihan pada energi fosil telah membawa dampak buruk bagi lingkungan, mulai dari pencemaran udara hingga perubahan iklim yang kian ekstrem. Dalam upaya mengatasi hal tersebut, kontribusi perusahaan besar seperti Pertamina memegang peranan yang sangat penting. Pertamina tidak hanya mengembangkan inovasi energi bersih, tetapi juga hadir sebagai perusahaan yang jujur dan terpercaya dalam menjaga kelestarian alam. Melalui berbagai program nyata, Pertamina membuktikan komitmennya untuk mendukung transisi energi di Indonesia, sekaligus memastikan bahwa pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan demi keberlangsungan hidup generasi mendatang.
Foto Bercerita

Karya foto bercerita ini menjadi bukti nyata proses perjalanan tim kami dalam menggali, mendiskusikan, dan menyampaikan isu greenwashing. Setiap gambar tidak hanya merekam aktivitas, tetapi juga menyimpan makna tentang kerja sama, kepedulian, serta semangat kritis kami dalam mengangkat topik ini. Melalui visualisasi tersebut, kami ingin menghadirkan kisah yang menginspirasi sekaligus menguatkan pesan untuk lebih peka terhadap manipulasi citra ramah lingkungan.