IDN TIMES Xplore/Suara Muda_SMAS IT TQ Ihya As-Sunnah Tasikmalaya
Sudah lama aku tidak melihat ibu pertiwi berseri kembali. Atau mungkin tak akan pernah. Bukan harapan apalagi keinginan, tapi ini tentang tanah air yang mulai tercemar akibat oknum-oknum tidak bertanggung jawab, merusak keindahan zambrud hijau yang selama ini kita jaga. Pada 2019, KLHK mencatat timbunan sampah yang dihasilkan Indonesia sebesar 67,8 juta ton/tahun, angka yang besar untuk sebuah negara yang kecil. Sayangnya, sampah sampah tersebut didominasi oleh sampah organik dengan presentase 57 persen yang tidak dapat dikelola secara sempurna akibat masyarakat yang bingung mencari penanganan yang paling tepat untuk permasalahan ini. Jika hal ini tidak ditangani dengan benar, maka bumi pertiwi akan kehilangan keelokan dan kesehatan dirinya.
Tidak hanya itu, pemanasan global menjadi tantangan terbesar bagi bumi pertiwi. Lagi-lagi, hal itu diakibatkan oleh pembakaran sampah yang dilakukan oleh masyarakat dan oknum tidak bertanggung jawab. Pemanasan global yang diakibatkan oleh adanya pembakaran sampah yang dilakukan oleh manusia itu sendiri mencapai angka 57,2 persen sampah rumah tangga Indonesia yang rutin dibakar. Disadari atau tidak, ini dapat merusak udara sekitar dan mengganggu sistem pernapasan manusia yang tentu akan menjadi boomerang bagi masyarakat.
Sistem Informasi Pengolahan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2025) menyebutkan bahwa timbulan sampah yang berada di indonesia sebesar 33.777.202,25 ton/tahun. Namun, sampah yang dapat terkelola ada di angka 20.225.253,51 ton/ tahun atau sekitar 59,88 persen, yang artinya perjalanan kita masih jauh; 40,12 persen lagi belum kita selesaikan. Diperparah pula dengan angka persentase sampah rumah tangga yang dikelola untuk dijadikan kompos, setor bank sampah atau daur ulang hanya sekitar 0,1- 0,3 persen.
Harus ada yang menyelamatkan bumi pertiwi ini dari kehancuran yang menanti, yang suatu saat akan menikam kita semua, terkhusus bagi warga Indonesia itu sendiri. Maka dari itu, kami mempersembahkan biobriket yang akan menjawab semua tantangan itu menjadi sebuah bahan bakar PLTSa yang menjadi angin segar bagi industri pengelolaan sampah. Kenapa kami memilih biobriket? Karena kami ingin memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat, terkhusus kepada segenap pelajar Indonesia akan pentingnya pengelolaan sampah organik dengan baik, bahwa setiap permasalahan akan ada solusi bagi mereka yang ingin memperjuangkannya.
Dengan sebuah harapan, biobriket ini dapat membantu mengurangi emisi karbon, presentase sampah organik yang tidak dikelola dengan baik, dan menciptakan masyarakat yang memiliki sikap peduli lingkungan juga cerdas dalam mengelola sampah, terkhusus pada sampah organik yang dapat diubah menjadi bahan bakar ramah lingkungan. Karena kami yakin langkah kecil akan menghasilkan pijakan yang besar dikemudian hari, bagi anak kami, cucu kami, dan seluruh warga Indonesia.
Inilah, awal pejalanan briket organik.
Semua bermula dari sebuah masalah sederhana yang kami temui setiap hari di sekolah, tumpukan sampah sisa dapur yang belum terkelola dengan baik. Kulit buah dari kantin, sisa sayuran dari dapur asrama, dan sampah organik lainnya menumpuk begitu saja. Lama-kelamaan, hal ini tidak hanya mengganggu kebersihan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan: Apa yang bisa kami lakukan agar sampah ini tidak sia-sia?
Dari keresahan itu, lahirlah sebuah gagasan biobriket. Ia adalah sebuah cara sederhana, namun, bermakna untuk mengubah sampah organik menjadi energi baru. Proyek ini pertama kali dijalankan oleh siswa kelas 12. Bukan sekadar eksperimen, melainkan bentuk nyata kepedulian terhadap lingkungan sekaligus ajang pembelajaran tentang kesabaran, ketekunan, dan kerja sama.
Perjalanannya tentu tidak mudah. Di awal, banyak percobaan yang berakhir dengan kegagalan. Briket yang dibuat rapuh, mudah hancur, dan tidak mampu menyala lama. Ada rasa frustrasi, bahkan sempat muncul keinginan untuk berhenti. Namun, semangat untuk menjaga bumi membuat kami terus mencoba. Dengan bimbingan guru pendamping dan dukungan antar siswa, satu demi satu kendala teratasi hingga akhirnya lahirlah biobriket pertama yang berhasil menyala stabil.
Keberhasilan itu menjadi titik balik. Dari sebuah percobaan sederhana, proyek ini tumbuh menjadi karya yang membanggakan. Briket organik kini bukan hanya produk, melainkan simbol perjuangan. Dari situ, kami mulai menyebarkan edukasi tentang biobriket ke seluruh warga sekolah. Siswa-siswa lain diajak mengenal, memahami, bahkan mencoba membuatnya sendiri.
Dan perjalanan itu terus berlanjut. Kini, biobriket kami perkenalkan lebih luas dengan mengikuti kompetisi Mading Digital IDN Times Xplore 2025. Kali ini, giliran siswa kelas 11 yang mengambil tongkat estafet perjuangan untuk mengangkat kisah biobriket dalam bentuk karya mading. Bagi kami, ini bukan sekadar lomba, tetapi kesempatan untuk menunjukkan bahwa langkah kecil dari sekolah bisa memberi makna besar bagi bumi.
Biobriket adalah bukti bahwa dari sampah yang dianggap tak berguna, bisa lahir energi baru yang membawa kehangatan. Dan lebih dari itu, ia mengajarkan kami satu hal penting bahwa perubahan besar selalu dimulai dari keberanian untuk melangkah.
Desain oleh: Arsyad Maulana Syarif & Ahmad Faqih Fatihuddin
Esai oleh: Ahmad Faqih Fatihuddin & Muhammad Zaky Haidar Bachri