ilustrasi tari cakalele (shutterstick.com/parinussa revy)
Berdasarkan laman kemendikbud, secara etimologi, cakalele merupakan setan atau roh yang mengamuk. Oleh karena itu, tarian ini merupakan tarian yang sakral. Tidak sembarang orang dapat menarikannya. Tarian ini tidak dapat ditarikan oleh orang luar yang bukan berasal dari desa di Kepulauan Banda.
Tari cakalele merupakan tarian warisan leluhur para datuk atau nenek moyang di dalam suatu masyarakat adat. Hingga saat ini tercatat bahwa di Kepulauan Banda hanya delapan desa yang termasuk dalam desa adat. Tari cakalele biasa digelar dalam berbagai upacara adat, contohnya adalah pelantikan raja, perayaan hari Pattimura, peresmian Baileo, dan beragam acara adat lainnya.
Tari cakalele juga memiliki riwayat sejarah yang panjang di masyarakat Maluku. Tarian ini bagian dari proses penghormatan pada nenek moyang masyarakat Maluku yaitu seorang pelaut.
Para pelaut terdahulu, mereka melakukan ritual dengan mengadakan pesta makan, minum, dan berdansa bersama. Ritual-ritual tersebut diimplementasikan sebagai tari cakalele. Masyarakat Maluku percaya bahwa ketika menjalankan ritual menari cakalele, mereka akan mendapat restu dari arwah leluhur. Oleh karena itu, tarian ini ditarikan sebelum para pelaut pergi.
Tari ini terus dilestarikan karena masyarakat Maluku memiliki rasa cinta, hormat, serta bakti kepada para leluhurnya yang telah mengorbankan hidupnya demi menjaga keutuhan maupun martabat masyarakat. Selain itu, tari cakalele juga tari yang menggambarkan mengenai perjuangan masyarakat Maluku ketika membela kebenaran. Tidak hanya itu, tarian ini juga dipertunjukkan untuk memberi semangat pasukan yang akan pergi melawan penjajah.