ilustrasi siswa di sekolah (pexels.com/Yan Krukau)
Bicara soal pengajar sebagai bagian penting pendidikan, menurut Fitria, edukator di Polandia memiliki peran yang spesifik. Berdasarkan pengalamannya, pengajar di Polandia fokus pada kegiatan belajar-mengajar di kelas dan tidak terbebani oleh urusan administrasi yang kompleks.
"Guru bukan sekadar pelaksana kurikulum, tapi aktor intelektual yang diberi ruang untuk berinovasi. Mereka tidak dibebani administratif berlebihan, dan dipercaya sebagai profesional. Berbeda dengan guru di Indonesia yang sering kali dibanjiri laporan, program yang berubah-ubah, dan kurikulum yang padat tapi dangkal. Guru di Indonesia lebih sering sibuk menyelesaikan kewajiban administratif dibanding merancang pembelajaran bermakna," ujarnya.
Ia menegaskan, hal ini juga menjadi tantangan krusial bagi pendidikan di Indonesia, "Masalah utama yang dihadapi guru di Indonesia dibandingkan dengan guru di Polandia adalah beban kerja administratif, minimnya penghargaan profesional, dan kurangnya ruang otonomi dalam mengajar."
Persoalan lain yang dihadapi oleh guru di Indonesia adalah terkait apresiasi profesi tersebut. Menurut sudut pandang Fitria, di Polandia, guru adalah profesi yang dihormati, meski gaji mungkin tidak mewah, namun cukup untuk memiliki kehidupan layak. Selain itu, guru diperlakukan sebagai mitra setara dalam ekosistem pendidikan.
Hal ini tampak berbeda dengan kondisi pengajar di Indonesia. Menurutnya, guru masih sering diposisikan sebagai pelaksana kebijakan, bukan pemikir pendidikan. Banyak guru merasa tidak dihargai secara ekonomi maupun sosial, apalagi yang bekerja di daerah terpencil.
Terakhir, Fitria berpendapat mengenai kendala lain yang dihadapi oleh sistem pendidikan di tanah air, "Guru di Polandia memiliki kebebasan pedagogis. Mereka diberi ruang untuk menyesuaikan metode mengajar sesuai kebutuhan murid dan konteks lokal. Di Indonesia, kurikulum sering sangat teknis dan kaku, membuat guru sulit berinovasi atau mengembangkan pendekatan kreatif."
Ia menegaskan, permasalahan di atas tidak bersumber dari pribadi guru, akan tetapi berhubungan erat dengan sistem. Selama sistem pendidikan Indonesia tidak memperlakukan guru sebagai aktor perubahan dan hanya menempatkan guru sebagai pihak yang menyampaikan materi satu arah, maka perbaikan pendidikan akan selalu setengah jalan.