Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Serunya Fitria Anis Kurly Jadi Guru di Polandia, Sempat Culture Shock!

Fitria Anis Kurly guru asal Indonesia yang mengajar di Polandia. (dok.Fitria Anis Kurly)
Fitria Anis Kurly guru asal Indonesia yang mengajar di Polandia. (dok.Fitria Anis Kurly)
Intinya sih...
  • Polandia memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia menurut skor PISA 2022, dengan fokus pada matematika, membaca, dan sains.
  • Fitria Anis Kurly, guru asal Indonesia yang mengajar di Polandia, membandingkan sistem pendidikan di kedua negara dan menyoroti ketimpangan akses dan kualitas guru di Indonesia.
  • Fitria berharap agar pendidikan di Indonesia memiliki tujuan yang jelas, kurikulum yang stabil, dan mampu memberdayakan anak-anak serta guru secara merata.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa sistem pendidikan di Polandia jadi salah satu yang terbaik di dunia. Kesuksesan negara dari kawasan Eropa Timur tersebut, ditunjukkan melalui skor PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2022.

Polandia tampil mengesankan dengan skor di atas rata-rata negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) dalam tiga bidang utama: matematika, membaca, dan sains. Pencapaian ini membuktikan bahwa sistem pendidikan di Polandia memiliki mutu pembelajaran yang baik. 

Fitria Anis Kurly adalah guru asal Indonesia yang berkesempatan mengajar di 9 sekolah di Polandia. Kisah seru Fitria selama menjadi guru di level SD atau Szkola Podstawowa dan TK atau Przedszkole, dibagikan kepada IDN Times pada Jumat (25/4/25). Simak cerita Fitria dan pandangannya terhadap pendidikan di Indonesia. 

1. Ketimpangan hak pendidikan di Indonesia menggerakkan Fitria untuk berkontribusi sebagai pengajar

Fitria Anis Kurly guru asal Indonesia yang mengajar di Polandia. (dok.Fitria Anis Kurly)
Fitria Anis Kurly guru asal Indonesia yang mengajar di Polandia. (dok.Fitria Anis Kurly)

Fitria mengawali perjalanannya sebagai seorang pendidik, jauh sebelum bertandang ke Eropa. Selama dua tahun, perempuan dengan latar belakang pendidikan di bidang Bahasa Inggris ini, jadi guru honorer di sebuah sekolah di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

"Keputusan saya untuk menjadi guru berawal dari pengalaman pribadi sebagai anak yang tumbuh di Timika, Papua, daerah yang hingga sekarang masih bergulat dengan keterbatasan infrastruktur pendidikan. Saya mengenyam pendidikan dari SD hingga SMA di sana, di mana akses terhadap buku, guru berkualitas, dan fasilitas belajar sangat terbatas. Buku pelajaran sering kali hanya tersedia satu-dua untuk dibagi bersama teman sekelas. Perpustakaan hampir kosong dan guru-guru kami harus mengajar lebih dari 1 mata pelajaran karena kekurangan tenaga pendidik," cerita Fitria. 

Pengalaman selama mengenyam sekolah di Indonesia, jadi refleksi mendalam terkait isu pendidikan yang dialami bangsa ini. Ketimpangan yang nyata dan ketidakadilan pada hak dasar manusia, membuat Fitria tergerak untuk berbuat lebih bagi lingkungan sosial melalui lingkup pendidikan.  

"Dari SD hingga SMA, saya sudah menyadari betapa ketidakadilan dalam pendidikan berdampak panjang terhadap hidup seseorang. Saya melihat sendiri bagaimana banyak teman-teman sebaya saya harus putus sekolah karena alasan ekonomi, menikah dini, atau terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sama seperti generasi sebelumnya. Hal ini membuat saya bertanya-tanya, mengapa anak-anak di Papua harus bekerja lebih keras hanya untuk mendapatkan apa yang menjadi hak dasar mereka, yakni pendidikan yang layak? Saya percaya bahwa pendidikan adalah akar dari hampir semua perubahan sosial, baik itu kemiskinan, kekerasan, bahkan korupsi. Semuanya kembali ke kualitas pendidikan. Profesi guru, bagi saya, bukan hanya profesi mengajar, tapi sebuah posisi strategis untuk membentuk masa depan," ujarnya. 

2. Fitria menilai polemik mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah tidak adanya tujuan nasional

Fitria Anis Kurly guru asal Indonesia yang mengajar di Polandia. (dok.Fitria Anis Kurly)
Fitria Anis Kurly guru asal Indonesia yang mengajar di Polandia. (dok.Fitria Anis Kurly)

Sebagai sosok yang tumbuh dan bersekolah di Timika, Papua, Fitria memahami betul rasanya belajar dengan keterbatasan buku, pendidik, dan fasilitas yang minim. Sementara daerah lain di Indonesia, memiliki fasilitas yang lebih menunjang dengan guru yang relatif stabil.

"Isu terbesar dalam pendidikan Indonesia menurut saya adalah ketimpangan. Bukan hanya ketimpangan secara geografis, antara kota dan desa, antara timur dan barat Indonesia, tetapi juga ketimpangan dalam hal akses, kualitas guru, fasilitas belajar, bahkan ekspektasi masyarakat terhadap pendidikan itu sendiri," jelas Fitria. 

"Ketimpangan ini nyata dan bukan hanya menyangkut fisik sekolah, tapi bisa menciptakan kesenjangan kesempatan hidup lebih baik untuk anak-anak," tambahnya.

Problematika pendidikan di Indonesia tak hanya fokus pada ketimpangan atau kesenjangan antar wilayah. Permasalahan lain yang juga jadi sorotan Fitria adalah tujuan pendidikan nasional. Ia menilai, Indonesia belum memiliki kesepakatan bersama soal tujuan pendidikan nasional.

"Kita sering bicara tentang 'memajukan pendidikan', tapi tidak jelas untuk apa dan ke mana arah yang dituju. Apakah pendidikan kita hanya bertujuan mencetak tenaga kerja? Mengejar ranking dan angka-angka di ujian nasional? Atau, sebenarnya kita ingin membentuk manusia Indonesia yang utuh, yang kritis, berdaya, punya empati dan kesadaran sosial?" kata Fitria. 

Fitria menegaskan, selama pendidikan Indonesia tidak punya fondasi yang jelas tentang arah pendidikan, kurikulum akan terus tambal sulam. Setiap pergantian menteri, maka akan ada pergantian sistem. Guru dan siswa dipaksa beradaptasi tanpa diberi cukup waktu untuk mendalami satu sistem sebelum diganti lagi. Akibatnya, sekolah tidak jadi tempat bertumbuh secara utuh, melainkan tempat bertahan dari kebijakan yang terus berubah.

Ditanya soal harapan bagi pendidikan di Indonesia, Fitria menyebutkan, "Saya berharap pendidikan di Indonesia tidak lagi dipandang sebagai alat untuk mencetak tenaga kerja murah, tapi sebagai ruang untuk membentuk manusia yang utuh, yang berpikir kritis, peduli, dan berdaya. Pendidikan bukan hanya tentang angka dan ujian nasional, tapi tentang siapa anak-anak itu kelak ketika mereka tumbuh dewasa, apakah mereka akan diam saat melihat ketidakadilan, atau justru menjadi bagian dari perubahan?" 

Besar harapan Fitria agar pendidikan Indonesia memiliki tujuan yang terarah serta mampu menjangkau kebutuhan berbagai pihak yang terlibat. Anak-anak dan guru menjadikan pendidikan sebagai sesuatu yang bernilai dan memiliki makna mendalam.

"Saya juga berharap, kita berani mendesain ulang sistem pendidikan kita dengan mendengarkan suara dari lapangan, guru, murid, dan orangtua, bukan hanya dari meja birokrat. Selama ini, kita terlalu sering mengubah kurikulum tanpa menyentuh akar masalahnya, ketimpangan akses, kualitas guru, dan pendekatan belajar yang terlalu kaku. Saya ingin melihat Indonesia di mana guru diberi ruang untuk berkembang, bukan hanya dibebani administrasi. Di mana anak-anak yang berbeda, yang lambat, yang unik, tidak dipinggirkan, tapi dirangkul. Di mana pendidikan tidak melulu soal ranking, tapi soal kebermaknaan," ujarnya. 

Lebih dalam terkait guru, Fitria berharap masyarakat berhenti memuja-muja istilah “pahlawan tanpa tanda jasa” dan mulai benar-benar memberikan keadilan untuk guru-guru. Keadilan dalam bentuk gaji yang layak, pelatihan yang bermutu, dan kebijakan yang berpihak. 

Sebab baginya, "Pendidikan adalah cermin bangsa. Dan saya berharap, suatu hari nanti, kita semua bisa melihat wajah Indonesia yang lebih adil, manusiawi, dan cerdas dari cara kita mendidik anak-anaknya."

3. Menjadi guru di Polandia membuka cakrawala Fitria. Pengajar berorientasi pada disiplin dan kasih sayang pada anak

Fitria Anis Kurly guru asal Indonesia yang mengajar di Polandia. (dok.Fitria Anis Kurly)
Fitria Anis Kurly guru asal Indonesia yang mengajar di Polandia. (dok.Fitria Anis Kurly)

Beruntungnya Fitria dapat menjadi edukator di Polandia, salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Melalui perjalanannya mengajar di berbagai sekolah di Eropa, Fitria menginternalisasi nilai-nilai dan praktik pendidikan yang berorientasi pada keseimbangan antara disiplin, kasih sayang, dan struktur pendidikan yang berpihak pada anak. 

Menariknya, Fitria sempat menghadapi berbagai tantangan, terutama perbedaan kultur dan sistem kerja. Sebagai guru asing, pada awalnya Fitria menilai sistem belajar anak Polandia sangat menantang karena ia harus cepat beradaptasi dengan gaya mengajar yang tidak otoritatif, tetapi dialogis dan argumentatif.

"Menjadi guru di Polandia adalah pengalaman yang sangat berharga, tapi juga penuh tantangan, terutama bagi saya yang berasal dari sistem pendidikan dan budaya kerja Indonesia. Kendala pertama yang saya rasakan adalah culture shock, terutama dalam hal budaya sekolah dan ekspektasi terhadap guru," kata Fitria. 

Baginya, di Polandia, sistem pendidikan sangat menekankan pada kemandirian, pemikiran kritis, dan keberanian berpendapat. Sesuatu yang tidak banyak dijumpai dalam budaya pendidikan Indonesia yang lebih cenderung hierarkis dan satu arah.

Murid-murid di Polandia, bahkan pada usia sekolah dasar, berani menyanggah guru, kritis mempertanyakan sesuatu dan tidak segan menyuarakan ketidaksetujuan. Murid di Polandia dibesarkan dalam sistem yang mendorong mereka untuk berpikir kritis, bukan hanya menghafal.

Hal ini sejalan dengan hasil PISA 2018 yang menunjukkan bahwa siswa Polandia termasuk yang paling tinggi skor literasi membacanya dan pemecahan masalah berbasis pemahamannya. Mereka tidak hanya tahu jawaban dan soal yang diberikan, akan tetapi juga paham mengapa jawaban tersebut lebih akurat. 

"Dari sisi budaya kerja, guru-guru di Polandia sangat profesional. Mereka punya waktu kerja yang terstruktur, sistem pendukung psikolog dan pedagog untuk setiap sekolah. Yang paling penting adalah mereka dihargai sebagai profesional, bukan sekadar 'pengabdi tanpa pamrih'. Saya harus belajar banyak tentang pentingnya menjaga keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi karena di sana guru tidak dibebani tanggung jawab administratif berlebihan seperti di Indonesia. Namun, justru karena itu, ekspektasi terhadap kualitas pengajaran juga tinggi, tidak bisa asal-asalan," terangnya.

Tantangan lainnya adalah soal bahasa dan kurikulum nasional yang penuh konteks budaya lokal. Sebagai guru asing, Fitria harus memahami isi kurikulum yang ditulis dalam bahasa Polandia, termasuk referensi sejarah, budaya, dan nilai-nilai nasional yang tidak dipelajarinya saat kuliah.

Belum lagi, pendekatan pedagogis mereka sangat menekankan pada inklusi dan individualisasi proses belajar. Fitria harus menyesuaikan metode agar tidak hanya efektif, tapi juga peka terhadap latar belakang sosial, kemampuan, dan kondisi psikologis siswa.

4. Tak ada diskriminasi di Polandia, guru asing didengarkan bahkan disayangi sebesar guru lokal

Fitria Anis Kurly guru asal Indonesia yang mengajar di Polandia. (dok.Fitria Anis Kurly)
Fitria Anis Kurly guru asal Indonesia yang mengajar di Polandia. (dok.Fitria Anis Kurly)

Selama menjadi guru di Polandia, Fitria tidak mengalami diskriminasi, baik terkait identitasnya sebagai orang asing maupun seorang pengajar. Sebaliknya, ia merasa sangat dihormati dan dihargai selayaknya guru lokal.

Fitria merasa mendapatkan hak, tanggung jawab, dan kepercayaan yang setara, mulai dari jam mengajar, penilaian profesional, hingga partisipasi dalam rapat-rapat kurikulum dan pelatihan guru. Tak sampai di situ, inisiatif yang disuarakannya mendapat dukungan oleh rekan sejawat.

Menariknya, beberapa murid tertarik dengan hijab yang dikenakan Fitira. Penutup kepala tersebut terkesan asing bagi penduduk Polandia, membuat pelajar penasaran dengan kerudung yang dipakainya. Beberapa ingin tahu bagaimana rasanya mengenakan penutup kepala sepanjang hari.

"Tapi, anak-anak adalah pembelajar alami yang luar biasa. Dalam waktu satu-dua bulan, hubungan kami menjadi sangat dekat. Mereka tidak lagi melihat hijab sebagai hal asing, tapi bagian dari siapa saya. Banyak dari mereka yang merasa nyaman, sering memeluk saya seperti guru-guru lain, bahkan ada yang meminta saya mengajari mereka cara memakai hijab. Beberapa anak perempuan dengan antusias mencoba hijab dengan kain yang saya bawa. Mereka memakainya seharian di kelas. Bagi saya, itu bukan hanya momen yang menyentuh secara pribadi, tapi juga bukti bahwa pendidikan lintas budaya bisa memperluas empati dan pemahaman. Saya tidak merasa harus menyembunyikan identitas agar diterima," kenangnya.

Pengalaman seperti ini membuat Fitria sadar bahwa menjadi guru bukan sekadar mengajarkan pelajaran. Guru juga membangun kepercayaan, menjembatani perbedaan, dan menciptakan ruang aman bagi semua anak untuk merasa diterima.

5. Aktif mengkritik dan mengedukasi di media sosial terkait isu pendidikan

Ilustrasi sekolah (freepik.com/freepik)
Ilustrasi sekolah (freepik.com/freepik)

Pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan serius. Menurut data yang dipaparkan oleh Kementerian Pendidikan Sekolah Dasar dan Menengah, setidaknya 75 persen anak usia 15 tahun di Indonesia memiliki kemampuan membaca di bawah standar PISA. Data untuk performa numerasi tak jauh berbeda, 82 persen anak tak mampu membaca matematika untuk kehidupan sehari-hari. 

Selain menjalankan profesinya sebagai pengajar, ia juga memanfaatkan kekuatan media sosial, khususnya Instagram, untuk menyebarkan konten edukatif yang membahas berbagai isu pendidikan. Melalui akun @fakurly, Fitria aktif menyuarakan isu pendidikan yang berangkat dari keresahan dan pengalamannya. 

Ditanya soal tujuannya menyebarkan konten pendidikan, Fitria bercerita, "Tujuan utama saya adalah membuka mata dan hati masyarakat, terutama pemerintah, guru, dan orangtua, bahwa pendidikan bukan hanya soal sekolah, tapi tentang kehidupan. Saya ingin menyampaikan bahwa apa yang terjadi di ruang kelas hari ini, akan membentuk masa depan bangsa. Kalau kita membiarkannya berjalan tanpa kritik, tanpa refleksi, kita sedang membiarkan ketidakadilan terjadi secara sistemik." 

Permasalahan pendidikan membutuhkan usaha kolektif dari seluruh lapisan masyarakat. Kesadaran ini menjadi kunci untuk menciptakan perubahan nyata dan berkelanjutan dalam dunia pendidikan.

"Lewat media sosial, saya mencoba membagikan isu-isu yang sering diabaikan. Tentang kelelahan guru yang tidak dianggap, anak-anak yang terluka oleh sistem yang tidak berpihak, pentingnya pendekatan berbasis ilmu, bukan hanya tradisi. Saya ingin konten saya menjadi ruang belajar bersama, tapi juga ruang untuk bertanya, menggugat, dan mencari cara baru yang lebih adil dan manusiawi dalam mendidik. Saya percaya bahwa perubahan tidak hanya datang dari atas, tapi juga dari kesadaran kolektif di akar rumput. Ketika guru-guru mulai berani bertanya 'kenapa begini?', ketika orangtua mulai sadar bahwa anak butuh lebih dari sekadar nilai tinggi, ketika murid-murid merasa suaranya didengar, di situlah pendidikan mulai bergerak ke arah yang lebih sehat," tambahnya.

6. Pendidik yang hebat tak hanya meningkatkan kemampuan akademik, namun juga emosional intelegensi anak

Ilustrasi anak-anak sedang berjalan menuju sekolah (freepik.com/freepik)
Ilustrasi anak-anak sedang berjalan menuju sekolah (freepik.com/freepik)

Bicara mengenai pendidik yang hebat, Fitria membagikan pandangannya terkait hal tersebut. Untuknya, pendidik bukanlah mereka yang tahu segalanya, tapi mereka yang tahu cara memanusiakan proses belajar. Seperti yang dikatakan Paulo Freire dalam buku Pedagogy of the Oppressed, “Education must begin with the solution of the teacher-student contradiction, by reconciling the poles of the contradiction so that both are simultaneously teachers and students.

"Seorang guru bukan menara gading yang serba tahu, tapi mitra belajar yang tumbuh bersama muridnya. Ini sangat saya rasakan saat mengajar di Polandia. Di sana, guru tidak dilihat sebagai otoritas mutlak, tapi sebagai fasilitator pertumbuhan. Saya belajar banyak dari budaya sekolah yang mendorong diskusi terbuka, yang menghargai pendapat siswa, dan yang memberi ruang untuk refleksi. Murid-murid di Polandia, bahkan sejak usia SD, sangat kritis. Mereka tidak takut bertanya, menyanggah, atau memberikan pendapat yang berbeda. Guru-guru di sana tidak merasa terancam dengan itu. Mereka justru menghargai rasa ingin tahu sebagai inti dari pembelajaran," ujarnya. 

Fitria menambahkan, pendidik yang hebat juga bukan hanya yang berhasil mengajar anak untuk pintar secara akademik, tapi yang mampu membangun rasa percaya diri, ingin tahu, dan peduli. Mereka adalah orang-orang yang mampu menciptakan ruang aman di kelas, tempat di mana anak-anak merasa cukup berani untuk salah, bertanya, dan tumbuh.

7. Fitria berpesan untuk seluruh guru di Indonesia: terima kasih sudah bertahan, mari terus belajar, tapi jangan ragu untuk menggugat

ilustrasi anak sekolah (pexels.com/Naomi Shi)
ilustrasi anak sekolah (pexels.com/Naomi Shi)

"Untuk semua guru di Indonesia, yang mengajar di kota besar ataupun di pelosok, yang digaji penuh atau masih honorer, yang mengajar dengan proyektor atau papan tulis lusuh, terima kasih sudah bertahan. Di tengah kebijakan yang berubah-ubah, tuntutan administratif yang menyita waktu, dan ruang kelas yang kadang lebih seperti ladang perjuangan, kalian tetap hadir, tetap menyapa murid satu per satu, dan tetap berharap," pesan Fitria untuk seluruh guru Indonesia, rekan sejawat, dan pendidik yang memiliki dedikasi tinggi.

Fitria juga menggarisbawahi agar seluruh pihak yang terlibat dalam lingkup pendidikan, tetap memiliki kesadaran tinggi akan sistem yang lebih berpihak pada guru dan anak. Baginya, penting untuk menjadi sosok guru yang memelihara kemanusiaan.

"Tapi, saya juga ingin mengatakan, kita tidak harus selalu mengikhlaskan segalanya. Kita boleh lelah, kita boleh bersuara. Kita boleh menuntut sistem yang lebih adil, bukan hanya untuk kita, tapi untuk murid-murid kita juga. Karena ketika guru disejahterakan, dimanusiakan, dan dihargai secara nyata, barulah pendidikan bisa benar-benar berpihak pada anak-anak. Mari terus belajar, tapi juga jangan ragu untuk menggugat. Jangan takut untuk mencoba pendekatan baru dan jangan menyerah ketika perubahan terasa lambat. Ingat, kita bukan sekadar pengantar materi pelajaran. Kita adalah penjaga harapan, penjaga akal sehat, dan penjaga masa depan bangsa. Dan terakhir, jangan lupa jaga diri. Guru yang baik lahir dari manusia yang utuh. Sebelum mendidik orang lain, kita harus memelihara kemanusiaan kita sendiri," tutup Fitria. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dina Salma
Febriyanti Revitasari
Dina Salma
EditorDina Salma
Follow Us