Mengenal Greenflation, Terminologi Baru dalam Green Economy

Istilah ini sempat disinggung dalam debat Cawapres ke-4

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI kembali menggelar debat keempat Pilpres 2024 yang berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC) pada (21/1/2024). Menariknya dalam debat kali ini masing-masing paslon harus mengeluarkan gagasan mereka dengan topik Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan Hidup, Sumber Daya Alam dan Energi, Pangan, Masyarakat Adat, dan Agraria. Salah satu hal yang menjadi sorotan penonton saat debat berlangsung adalah ketika Calon Wakil Presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka melontarkan pertanyaan kepada Calon Wakil Presiden nomor urut 3, Prof. Mahfud MD. Gibran Rakabuming Raka memunculkan terminologi baru soal "greenflation" yang acapkali asing di telinga masyarakat. 

Berdasarkan European Central Bank, greenflation mengacu pada kenaikan biaya yang terkait dengan transisi menuju ekonomi yang lebih hijau, termasuk investasi dalam teknologi berkelanjutan, penggunaan sumber daya yang lebih ramah lingkungan, dan kebijakan lingkungan yang lebih ketat. Upaya untuk mengurangi emisi karbon dan mengadopsi praktik-praktik yang mendukung keberlanjutan seringkali melibatkan biaya tambahan, baik dalam hal investasi awal maupun biaya operasional yang berkelanjutan. Lantas apa benar greenflation (inflasi hijau) ini punya kaitan dengan ekonomi hijau (green economy)? Mari kita ulas lewat artikel berikut ini, yuk!

1. Apa itu greenflation?

Mengenal Greenflation, Terminologi Baru dalam Green Economyilustrasi greenflation (pixabay.com/Parveender Lamba)

Mengutip Philonomist, greenflation mengacu pada kenaikan harga dan tambahan biaya dari barang mentah (raw materials) dan energi sebagai akibat dari transisi hijau. Societe Generale juga menambahkan Greenflation dinilai sebagai bentuk inflasi yang terjadi ketika harga komoditas energi yang diperlukan untuk mewujudkan keberlanjutan ekonomi hijau akibat peningkatan permintaan atau penurunan pasokan.

Dasar konsep ini bermula dari pidato "A new age of energy inflation: climateflation, fossilflation, and greenflation," yang disampaikan pada tahun 2022 oleh Isabel Schnabel, Anggota Dewan Eksekutif European Central Bank, yang menjelaskan greenflation sebagai bagian dari inflasi yang muncul akibat perubahan ekonomi menuju peningkatan penggunaan teknologi hijau.

2. Hubungan antara greenflation, fossilflation, dan climateflation

Mengenal Greenflation, Terminologi Baru dalam Green Economyilustrasi emisi gas rumah kaca (unsplash.com/Marcin Jozwiak)

Selain greenflation, Isabel Schnabel (Executive Board of the European Central Bank) juga menyorot dua istilah lain yaitu Climateflation dan Fossilflation. Dalam konteks ekonomi dan teknologi hijau, "climateflation," "fossilflation," dan "greenflation" saling berhubungan erat. Pertama, "climateflation" muncul akibat biaya langsung dari perubahan iklim, seperti bencana alam dan cuaca ekstrem yang semakin meningkat.

Contohnya, kekeringan ekstrem di berbagai belahan dunia telah menyebabkan kenaikan tajam harga pangan yang berdampak pula pada orang yang kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kedua, "fossilflation" mencerminkan dampak ketergantungan jangka panjang pada sumber energi fosil, terutama kenaikan harga minyak dan gas. Hal ini menggambarkan biaya warisan dari ketergantungan pada bahan bakar fosil yang belum mengalami penurunan selama beberapa dekade terakhir.

Terakhir, "greenflation" melibatkan biaya dari transisi ke teknologi hijau untuk mencapai keberlanjutan. Perusahaan yang menyesuaikan produksi mereka untuk mengurangi emisi karbon dapat menghadapi kenaikan biaya dalam pengembangan dan implementasi teknologi hijau. Selain itu, peningkatan permintaan untuk logam dan mineral yang dibutuhkan untuk energi terbarukan dapat menyebabkan kenaikan harga karena keterbatasan pasokan. Secara keseluruhan, ketiganya, "climateflation," "fossilflation," dan "greenflation," saling terkait dan bersama-sama berkontribusi pada tekanan inflasi yang dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lebih lama seiring dengan upaya menuju ekonomi yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Baca Juga: Tak Jelaskan Arti Green Inflation ke Mahfud, Gibran: Beliau Profesor

3. Langkah-langkah yang bisa diterapkan suatu negara dalam mengatasi greenflation

Mengenal Greenflation, Terminologi Baru dalam Green Economyilustrasi penggunaan panel surya dan photovoltaic (pixabay.com/WikimediaImages)

Walaupun tidak ada solusi satu-satunya dalam menghadapi dampak greenflation, setidaknya terdapat beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengelola dan mengurangi efeknya. Pertama, fokus pada dukungan penelitian dan pengembangan teknologi hijau untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya produksi. Menurut Sociate Generale, permintaan energi di Asia Tenggara telah meningkat sekitar 3 persen setiap tahun selama dua dekade terakhir, dan proyeksi ini berlanjut hingga tahun 2030.

Pembuat kebijakan di kawasan ini juga telah menetapkan rencana jangka panjang untuk mencapai aspirasi emisi nol bersih. Sebagai contoh, Singapura terus meningkatkan penggunaan panel surya dan berencana untuk meningkatkan investasi dalam teknologi hidrogen rendah karbon. Malaysia juga telah meluncurkan Kebijakan Energi Nasional 2022–2040 yang menetapkan tujuan menjadi negara rendah karbon pada tahun 2040 dengan meningkatkan penggunaan energi terbarukan dan kendaraan listrik sambil mengurangi persentase batubara.

Kedua, pemerintah perlu mengadopsi kebijakan iklim yang agresif sebagai bagian dari upaya mencapai target emisi untuk mengurangi dampak greenflation. Salah satu contoh adalah penerapan pajak karbon. Pajak karbon bisa menjadi instrumen efektif untuk mendorong pengurangan emisi gas rumah kaca dan merangsang inovasi dalam teknologi hijau. Dengan menetapkan tarif pajak karbon yang substansial, pemerintah dapat memberikan insentif kepada perusahaan untuk beralih ke praktik berkelanjutan dan mengurangi ketergantungan pada sumber daya berbasis karbon.

Keberhasilan kebijakan pajak karbon terletak pada kemampuannya untuk menciptakan sinyal pasar yang jelas, memberikan penghargaan kepada praktik bisnis yang ramah lingkungan, dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendanaan proyek-proyek berkelanjutan. Selain itu, pemerintah harus menyertakan mekanisme redistribusi yang adil dalam implementasi pajak karbon untuk memastikan bahwa dampak distribusionalnya tidak memberatkan kelompok masyarakat yang lebih rentan.

4. Mungkinkah kebijakan pajak karbon diterapkan di Indonesia?

Mengenal Greenflation, Terminologi Baru dalam Green EconomyIlustrasi pajak karbon (unsplash.com/ Towfiqu barbhuiya)

Pajak karbon adalah bentuk kebijakan ekonomi yang didesain untuk menetapkan biaya pada emisi karbon. Hal ini bertujuan untuk mendorong perusahaan dan individu agar mengurangi emisi gas rumah kaca. Pengenalan pajak karbon dianggap dapat memberikan kontribusi positif dalam mengatasi dampak greenflation. Meskipun demikian, masih menjadi pertanyaan apakah penerapan pajak karbon dapat dilakukan di Indonesia.

Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang mengamanatkan bahwa pajak karbon akan dikenakan pada pembelian barang yang mengandung karbon atau pada aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Pemberlakuan pajak karbon bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat dan industri, mendorong beralih ke aktivitas ekonomi yang rendah emisi karbon. Aturan ini mencerminkan komitmen serius pemerintah untuk mencapai target net zero emissions pada tahun 2050.

Dalam UU tersebut, Pasal 13 ayat (5) menegaskan bahwa pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan karbon dalam jumlah tertentu selama periode tertentu. Tarif pajak karbon di Indonesia diatur oleh Pasal 13 ayat (8) dan (9) UU HPP, dimana tarif tersebut ditetapkan setidaknya sebanding dengan harga pasar karbon per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Jika harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp30 per kilogram CO2e, maka tarif pajak karbon ditetapkan minimal sebesar Rp30 per kilogram CO2e atau setara.

Maka dari itu, sangat memungkinkan apabila pajak karbon diterapkan di Indonesia. Menurut penelitian Pratama BA, Ramadhani MA, Lubis PM, Firmansyah A tahun 2022, kebijakan pajak karbon dapat menghasilkan penerimaan negara sekitar Rp23,651 triliun pada tahun 2025. Selain itu, penerapan pajak karbon di Indonesia harapannya dapat mengurangi emisi karbon di masa depan dan mendorong pelaku ekonomi untuk beralih ke penggunaan Energi Baru Terbarukan. Sekarang, kamu jadi lebih paham soal istilah ini kan? Semoga bisa menambah wawasan kamu ya soal greenflation. 

Baca Juga: 3 Tantangan Perusahaan Indonesia Wujudkan Energi Terbarukan

Reyvan Maulid Photo Verified Writer Reyvan Maulid

Penyuka Baso Aci dan Maklor

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Merry Wulan

Berita Terkini Lainnya