Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG_0624.jpeg
Program Media Partnership Bina Nusantara di Taiwan, pada Jumat (22/8/25) (IDNTimes/Dina Salma)

Jakarta, IDN Times - Tren job missmatch kian menjadi sorotan di tengah angka pengangguran yang semakin meningkat. Survei yang berhasil dihimpun oleh IDN Times pada 2022, menemukan bahwa mayoritas Gen Z dan Milenial (52,4 persen) mengaku bekerja di bidang yang tidak linear dengan jurusan pendidikan yang ditamatkan. Riset berjudul “Seberapa Penting Gelar Pendidikan di Dunia Kerja?" mengulas bagaimana generasi muda mengalami kesulitan mencari pekerjaan yang sesuai kualifikasi gelar pendidikan.

Sebagian besar informan (63,6 persen) memandang pendidikan formal di Indonesia masih cenderung mengutamakan teori, sehingga tak banyak membantu dalam dunia kerja. Riset ini juga mengupas fenomena bahwa 40 persen individu tidak diterima bekerja karena skill yang dikuasi kurang memumpuni. Faktor lain adalah pengalaman yang dimiliki tidak menunjang pekerjaan yang dibutuhkan, angkanya hingga 30 persen.

Ketidakcocokan bidang keahlian pekerjaan dapat menimbulkan rasa tidak puasa pada individu saat melakoni pekerjaan. Akibatnya produktivitas menurun dan pendapatan lebih rendah. Studi dalam "The Effect of Education Job Mismatch on Net Income" menyebut job education mismatch berpotensi menimbulkan perbedaan penghasilan hingga 15 persen. Bagaimana fenomena ini dijelaskan oleh lembaga pendidikan, terutama perguruan tinggi?

1. Mismatch di industri meningkat, lulusan perguruan tinggi turut menyumbang angka pengangguran

Program Media Partnership Bina Nusantara di Taiwan, pada Jumat (22/8/25) (IDNTimes/Dina Salma)

Lulusan perguruan tinggi tengah menuai perhatian berkat kontribusinya meningkatkan angka pengangguran di Indonesia. Jenjang pendidikan tinggi yang ditamatkan tak menjamin seoarang dengan status diploma IV, S1, S2, bahkan S3 memiliki pekerjaan. Pasalnya, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2025 menunjukkan lulusan universitas yang tak memiliki pekerjaan alias menganggur menunjukkan angka 6,2 persen atau sekitar 1,01 juta orang.

Riset Oxford Economics menyebutkan, ketidakseimbangan antara ketersediaan lapangan pekerjaan dengan jumlah tenaga kerja, menjadi faktor utama fenomena tersebut. Selain ketidakselarasan supply dan demand, mismatch kebutuhan dan keterampilan yang dimiliki tenaga kerja memperparah kasus pengangguran, terutama di Indonesia. Kondisi ini diperburuk oleh kemajuan teknologi seperti AI yang diprediksi menggeser tren pasar tenaga kerja.

Menyoroti hal ini, Rektor BINUS Universirty, Dr. Nelly, mendorong untuk mahasiswa lebih banyak menciptakan pekerjaan atau menjadi entrepreneur demi membuka lapangan pekerjaan baru. Dalam program Media Partnership Bina Nusantara di Taiwan, pada Jumat (22/8/25) lalu, Dr. Nelly menekankan, "Jadi menciptakan. Jadi jangan menunggu job itu. Menciptakan job itu sendiri, pekerjaan itu sendiri."

BINUS University terus berkomitmen untuk mencetak lulusan yang mampu berdaya saing di bidang wirausaha, baik secara nasional maupun di kancah internasional. Tujuannya adalah menghasilkan lulusan yang inovatif serta berperan positif terhadap perekonomian bangsa.

Akan tetapi, tenaga profesional yang terampil dan berdaya saing di industri juga sangat dibutuhkan. Dr. Nelly tak menampik, lulusan BINUS University juga dipersiapkan untuk terjun ke dunia profesional dan dibekali dengan kemampuan yang adaptif bagi industri. Gagasan ini salah satunya direalisasikan melalui program internship atau magang. Mahasiswa diberikan ruang untuk terjun ke dunia profesional sebagai bekal sebelum lulus.

"Kalau profesional bagaimana? Ya tadi, skill-nya tadi, AI, big data (ditingkatkan) kalau gak bisa manfaatkan itu, ya jadi entrepreneur, menciptakan sesuatu yang berguna bagi banyak orang. Bagaimana? Makanya kenapa BINUS kan ada program-program program khusus business creation, program khusus entrepreneurship. Itu kuliahnya, belajarnya bagaimana mencetuskan ide, berani punya ide, bagaimana caranya melihat pasar, bagaimana set up keuangan," imbuhnya.

2. Strategi BINUS menghadapi disrupsi teknologi: AI diajarkan sedini mungkin dan mahasiswa dibekali keterampilan non teknis

Program Media Partnership Bina Nusantara di Taiwan, pada Jumat (22/8/25) (IDNTimes/Dina Salma)

Teknologi AI menjadi sasaran empuk untuk disalahkan, lantaran diyakini berhasil menggeser tren pekerjaan. The Economist meramalkan, teknologi AI mampu mengotomatisasi pekerjaan 'berpengetahuan' tingkat pemula. Artinya, AI diprediksi akan menghapus pekerjaan kerah putih entry level dan menyumbang angka pengangguran lebih tinggi dalam beberapa tahun ke depan.

Untuk itu, perguruan tinggi berupaya menghasilkan lulusan yang mampu bersaing di pasar tenaga kerja, meski kehadiran AI diramalkan akan menggantikan sejumlah pekerjaan. Merespons kemajuan AI, Dr. Nelly menekankan tidak perlu khawatir dengan terobosan tersebut. Teknologi ini dirancang bukan sebagai ancaman untuk menggeser manusia, namun mempercepat kerja dan membantu meningkatkan kompetensi, apabila manusia mampu memanfaatkannya.

Untuk itu, Dr. Nelly menyampaikan pentingnya peningkatan kecakapan teknologi AI pada mahasiswa. Menurutnya, di level perguruan tinggi, mengajarkan peserta didik cara kerja teknologi AI menjadi hal yang fundamental. Secara spesifik, ia menyebut salah satu langkah yang ditempuh oleh BINUS University untuk membangun kesiapan mahasiswa adalah dengan penerapan mata kuliah wajib Foundation of Artificial Intelligence (FoAI).

Dr. Nelly memaparkan keterampilan yang perlu dipersiapkan lulusan perguruan tinggi guna menghadapi pergeseran pasar kerja akibat AI, "Yang harus kita latihan adalah kalau informasi itu sudah ada, gimana ini dia gunakan untuk meningkatin kemampuan dia. Sehingga modal pembelajaran harus lebih banyak kepada ngomong, kasih pendapat, diskusi. Karena itulah melatih kemampuan dia. Jadi sebetulnya belajar lebih cepat. Kalau dulu mungkin cuman yang kuat menghafal seolah nilainya A, IP-nya 4, seolah pintar, tapi cuma kuat menghafal saja, habis itu lupa. Gak tau mengaplikasikannya di lapangan, kan banyak tuh."

Dr. Nelly menilai, teknologi menuntut peserta didik untuk tidak sekadar menerima informasi, melainkan mampu mengolah keterampilan non teknis. Pembelajaran di institusi pendidikan dapat menitikberatkan pada diskusi, hingga peningkatan komunikasi, inilah langkah yang diyakini mampu mengasah kecakapan berpikir kritis, sebagai bekal untuk bersaing di pasar tenaga kerja.

3. Soft skill menjadi kompetensi utama bagi mahasiswa untuk bersaing di pasar tenaga kerja

Program Media Partnership Bina Nusantara di Taiwan, pada Jumat (22/8/25) (IDNTimes/Dina Salma)

Tak hanya kompetensi akademis dan keterampilan teknik, soft skill juga sangat ditekankan agar mahasiswa mampu berkompetisi selepas menyelesaikan study. BINUS University melakukan riset kepada industri dari beragam sektor mengenai kualifikasi yang paling ditekankan ketika merekrut pekerja. Hasilnya, attitude menjadi kriteria paling penting (17,37 persen) disusul komunikasi (14,3 persen), kemudian eager to learn (8,68) dan critical thinking skills (8,44 persen). Sementara kemampuan teknis berada di urutan bawah, menekankan soft skill sebagai kompetensi utama.

Dr. Nelly menggaris bawahi pentingnya mengembangkan keterampilan non teknis sebagai persiapan mahasiswa memasuki dunia kerja. Kapabilitas inilah yang perlu ditanamkan agar peserta didik di perguruan tinggi mampu menjawab tantangan terkait teknologi AI.

"Harus dibekali dengan kemampuan teknis sesuai dengan jurusan masing-masing, tapi setelah kita bicara dengan industri, industri bilang pintar saja gak cukup. Butuh soft skill. Kalau di global company, butuh mereka yang bisa bekerja sama, mereka yang punya global mindset, mereka yang punya inisiatif," ungkap Dr. Nelly.

Dr. Nelly justru melihat perkembangan teknologi AI sebagai sesuatu yang baik untuk dimanfaatkan. Menurutnya, pengaplikasian AI di dunia pendidikan dapat dijadikan alat untuk membantu meningkatkan kemampuan individu secara lebih cepat. Transformasi AI membuka ruang bagi proses pembelajaran adaptif, relevan, dan interaktif untuk menghadapi kebutuhan zaman.

Selain soft skill, sudah sepatutnya sistem pendidikan di Indonesia memberi ruang bagi peserta didik untuk mengenali kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya sedini mungkin. Misalnya menerapkan program konseling seputar karier untuk mendorong mahasiswa menjajaki pilihan pekerjaan sebelum benar-benar terjun ke lapangan.

"BINUS punya career center. Career center itu fokusnya adalah begitu ini (mengarahkan karier mahasiswa) bahkan sebelum wisuda. Begitu dia lulus, langsung di track," tambah Dr. Nelly, program ini sangat membantu mahasiswa untuk menyelerasakan diri dengan minat-bakat yang dimiliki serta kebutuhan industri yang tersedia.

Editorial Team