Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi anak bersedih (Pexels.com/Kindel Media)
Ilustrasi anak bersedih (Pexels.com/Kindel Media)

Intinya sih...

  • Kepekaan anak terhadap kebohongan dan ketidaksetiaan orang dewasa dapat memicu rasa curiga berlebihan di masa dewasa.
  • Pola asuh yang terlalu protektif dan kontrol berlebihan dapat membuat anak sulit membangun hubungan yang sehat di masa dewasa.
  • Kurangnya mendengar emosi anak dan paparan pada konflik rumah tangga dapat membentuk pola pikir bahwa hubungan itu isinya saling menyakiti, sehingga menimbulkan rasa curiga yang berlebihan di masa dewasa.

Pernah gak sih kamu ketemu orang yang gampang banget curiga? Bahkan untuk hal-hal kecil yang sebenarnya gak perlu dipermasalahkan, dia udah pasang mode waspada duluan. Padahal kamu gak ada niat jahat sama sekali, tapi tetap aja semua gerak-gerikmu dicurigai. Nah, bisa jadi orang kayak gini bukan sekadar "sifat", tapi memang ada luka masa lalu yang belum sembuh, terutama dari cara dia dibesarkan.

Pola asuh di masa kecil itu punya dampak besar banget ke kepribadian kita saat dewasa. Kalau dari kecil seseorang sering dikontrol secara berlebihan, dibohongi, atau gak dikasih ruang buat percaya orang lain, ya wajar aja kalau dia tumbuh jadi pribadi yang curigaan. Berikut ini beberapa pola asuh yang bisa bikin seseorang tumbuh jadi pribadi penuh curiga. Yuk, simak baik-baik!

1. Terlalu sering dibohongi oleh orang tua sendiri

Ilustrasi ibu dan anak (Pexels.com/Mikhail Nilov)

Anak-anak itu lebih peka dari yang kita kira. Sekali dua kali dibohongi mungkin mereka masih bisa terima, tapi kalau kebiasaan ini terus-terusan terjadi, lama-lama mereka belajar satu hal penting: orang yang mereka percaya aja bisa ngebohongin mereka, apalagi orang lain! Dan dari situ, rasa curiga mulai tumbuh.

Misalnya, ketika orang tua janji mau datang ke acara sekolah tapi gak pernah muncul, atau bilang "bentar lagi pulang" tapi baru sampai rumah tengah malam. Hal-hal kecil kayak gini bisa bikin anak merasa dikhianati. Lama-lama, dia jadi sulit percaya sama kata-kata orang lain karena mengira semua orang akan bersikap sama kayak orang tuanya dulu.

Saat dewasa, anak akan jadi gampang mikir negatif. Kalau temannya telat balas chat, langsung mikir yang enggak-enggak. Kalau pasangannya pulang telat, langsung muncul rasa curiga. Padahal mungkin enggak ada niat buruk dari orang lain. Tapi rasa kecewa masa kecilnya masih membekas.

2. Selalu diawasi dan dikontrol berlebihan

Ilustrasi ibu dan anak (Pexels.com/Kamaji Ogino)

Orang tua yang terlalu protektif biasanya punya niat baik, mereka ingin anaknya aman. Tapi kalau pengawasan dan kontrolnya berlebihan, itu bisa berdampak buruk ke perkembangan mental anak. Anak jadi merasa gak punya ruang untuk bergerak dan belajar percaya pada orang lain.

Misalnya, setiap mau main harus lapor detail, semua temannya harus disetujui dulu, dan tiap langkah dia selalu dicurigai. Anak akan merasa bahwa dunia itu tempat yang berbahaya dan semua orang berpotensi menyakitinya. Akhirnya, dia tumbuh dengan rasa waspada yang berlebihan, karena dari kecil selalu ditanamkan rasa takut.

Di usia dewasa, orang ini akan kesulitan membangun hubungan yang sehat. Dia bakal sering overthinking, merasa perlu tahu semua aktivitas orang lain, dan gampang merasa terancam. Rasa curiga jadi semacam mekanisme bertahan hidup yang dulu dipelajari dari rumah.

3. Tidak pernah diberi ruang untuk mengekspresikan emosi

Ilustrasi saling bercerita (Pexels.com/Ketut Subiyanto)

Anak-anak juga butuh didengarkan. Tapi sayangnya, masih banyak orang tua yang menganggap emosi anak sebagai hal sepele. “Kamu ngapain nangis, malu ah!” atau “Udah, diam aja, gak penting itu.” Kalimat-kalimat kayak gitu sering banget terdengar di lingkungan kita, dan tanpa sadar bisa meninggalkan luka yang dalam.

Ketika anak gak dikasih ruang untuk menyampaikan rasa kecewa, takut, atau sedih, mereka akan belajar menyimpan semuanya sendiri. Dan ketika emosi gak pernah divalidasi, anak jadi bingung harus percaya sama siapa. Dunia terasa tidak aman, dan orang-orang di sekitarnya dianggap tidak bisa dipercaya untuk berbagi rasa.

Lama-lama, anak tumbuh jadi pribadi yang dingin, tertutup, dan penuh kecurigaan. Dia tidak terbiasa percaya, karena dari kecil gak pernah tahu rasanya didengarkan dan dipahami. Rasa curiga pun jadi semacam pelindung agar dirinya gak disakiti lagi.

4. Tumbuh di lingkungan yang penuh dengan pengkhianatan

Ilustrasi mengkritik anak (Pexels.com/Julia M Cameron)

Lingkungan tempat tumbuh juga punya pengaruh besar. Anak yang besar di tengah konflik orang tua, sering mendengar pertengkaran, atau melihat salah satu orang tuanya selingkuh, bisa menyerap itu semua sebagai "normalitas." Tanpa sadar, dia belajar bahwa hubungan itu isinya saling menyakiti dan mengkhianati.

Kalau dari kecil dia sering melihat janji dilanggar, rahasia terbongkar, atau rasa cinta dikhianati, dia akan membawa pola pikir itu sampai dewasa. Dia jadi sulit membayangkan hubungan yang sehat, dan selalu siap sedia buat disakiti. Makanya, rasa curiga jadi alat untuk melindungi diri dari kemungkinan kecewa lagi.

Parahnya, orang dengan pengalaman kayak gini kadang gak sadar bahwa kecurigaannya udah kelewat batas. Bukan karena mereka ingin posesif atau toxic, tapi karena pernah melihat sendiri bahwa kepercayaan bisa dihancurkan sewaktu-waktu, bahkan oleh orang terdekat.

Rasa curiga itu manusiawi, tapi kalau muncul terus-menerus tanpa alasan yang jelas, itu bisa mengganggu hubungan dan bikin lelah sendiri. Sayangnya, banyak orang gak sadar bahwa sifat curigaan mereka adalah hasil dari pola asuh yang dulu diterima. Makanya, penting banget buat refleksi dan memahami akar dari sikap kita. Karena kalau udah tahu asalnya dari mana, kita bisa mulai belajar untuk sembuh, pelan-pelan, tapi pasti. Yang penting, jangan takut untuk percaya lagi. Karena gak semua orang di dunia ini datang untuk nyakitin kamu. Ada kok, yang tulus dan bisa dijaga bareng-bareng.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team