Di usia praremaja dan remaja, anak-anak mulai memasuki masa transisi yang penuh perubahan, baik secara fisik, emosional, maupun sosial. Mereka mulai mengenal ketertarikan terhadap lawan jenis, mulai menjalin pertemanan yang lebih dalam, hingga mungkin mengalami jatuh cinta untuk pertama kalinya. Namun, dalam proses ini, mereka juga rentan terpapar oleh hal-hal yang belum seharusnya mereka lakukan, terutama yang berkaitan dengan hubungan fisik.
Sebagai orangtua yang peduli, kamu memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan edukasi yang tepat kepada mereka. Salah satu hal penting yang wajib diajarkan sejak dini adalah pentingnya memahami konsep consent atau persetujuan dalam setiap interaksi, terutama dalam hubungan yang bersifat pribadi dan intim. Namun, mengajarkan consent pada praremaja dan remaja harus disesuaikan dengan budaya setempat yang menjunjung tinggi nilai kesopanan, kehormatan diri, dan menjaga batasan dengan lawan jenis.
Kamu tidak ingin anak-anak tumbuh menjadi remaja yang mudah terjerumus pada pergaulan bebas atau menganggap enteng hal-hal yang seharusnya dijaga. Edukasi consent bukan berarti mendorong mereka untuk mencoba hal-hal yang belum waktunya, tetapi justru untuk membekali mereka agar bisa berkata tidak, menjaga diri, dan menghargai orang lain. Ini bukan hanya soal norma, tetapi juga soal perlindungan dari penyesalan, rasa bersalah, hingga risiko kesehatan dan sosial.
Untuk mempermudah penyampaian materi consent pada remaja, psikolog klinis anak Reti Oktania, M.Psi., Psikolog memperkenalkan pendekatan MOVE, yaitu Mutual, On-going, Voluntarily, dan Enthusiastic. Konsep ini dapat menjadi panduan praktis dan mudah dipahami, baik oleh orangtua maupun remaja.