Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Cara Mengenalkan Consent Culture pada Anak Sejak Dini, Penting!

ilustrasi anak (pexels.com/cottonbro studio)
Intinya sih...
  • Anak perlu diajarkan tentang pentingnya consent sejak dini melalui interaksi sehari-hari, seperti meminta izin sebelum memeluk atau mencium.
  • Ajarkan anak bahwa mengatakan "tidak" bukan hal yang buruk dan harus dihormati, serta penting untuk mengenali bagian tubuh pribadi dan tanda-tanda ketidaknyamanan orang lain.
  • Bangun komunikasi terbuka dengan anak agar mereka merasa aman untuk berbagi pengalaman gak nyaman, sehingga dapat tumbuh menjadi individu yang peka dan empatik.

Pernah gak sih kamu merasa gak nyaman saat seseorang tiba-tiba menyentuh atau memeluk tanpa izin? Nah, perasaan itu juga bisa dirasakan oleh anak-anak, lho. Sayangnya, banyak yang menganggap anak-anak terlalu kecil untuk memahami pentingnya persetujuan atau consent.

Di era digital seperti sekarang, konsep consent gak cuma tentang sentuhan fisik, tapi juga privasi online dan interaksi sosial. Kalau anak diajarkan memahami batasan sejak dini, mereka lebih mungkin tumbuh jadi individu yang menghargai diri sendiri dan orang lain. Yuk, simak lima tips praktis untuk mengenalkan consent culture pada anak.

1. Ajarkan dari hal sederhana seperti meminta izin sebelum menyentuh

ilustrasi anak (pexels.com/Ivan Samkov)

Jangan anggap anak terlalu kecil untuk belajar soal consent. Ajarkan melalui interaksi sehari-hari. Misalnya, sebelum memeluk atau mencium anak, tanyakan dulu, “Boleh Mama peluk?” atau “Mau dicium Papa sebelum tidur?” Kalau mereka menolak, terima dengan tulus.

Cara ini mengajarkan anak bahwa tubuh mereka adalah milik mereka sendiri, dan mereka punya hak untuk menentukan siapa yang boleh menyentuhnya. Sebaliknya, biasakan juga anak meminta izin sebelum memeluk atau menyentuh orang lain, termasuk teman-temannya.

2. Bantu anak berani bilang "tidak" tanpa merasa bersalah

ilustrasi menggambar (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Ajarkan anak bahwa mengatakan "tidak" bukan hal yang buruk, terutama kalau mereka merasa gak nyaman. Berikan contoh situasi di mana kata "tidak" penting, seperti saat mereka gak ingin berbagi mainan atau menolak dipeluk oleh orang yang baru dikenal.

Hormati ketika anak mengatakan "tidak". Misalnya, kalau anak gak mau dicium oleh kerabat, dukung keputusan mereka. Katakan, “Hari ini dia gak mau dicium, gak apa-apa kok. Kita bisa lambaikan tangan saja.” Dengan begitu, anak belajar bahwa pendapat mereka valid.

3. Jelaskan area pribadi dengan bahasa yang mudah dimengerti

ilustrasi mandi (pexels.com/Jep Gambardella)

Anak perlu diajarkan tentang bagian tubuh yang bersifat pribadi sejak dini. Gunakan istilah yang tepat untuk bagian tubuh mereka dan jelaskan konsep "private parts" dengan bahasa yang sesuai umur.

Kamu juga bisa pakai aturan sederhana seperti swimsuit rule. Katakan bahwa area tubuh yang tertutup pakaian renang adalah area pribadi yang harus dijaga. Jelaskan pengecualian, misalnya saat pemeriksaan dokter dengan kehadiran orang tua.

4. Ajarkan cara membaca bahasa tubuh dan ekspresi orang lain

ilustrasi anak makan (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Anak-anak perlu belajar memahami perasaan orang lain, termasuk lewat bahasa tubuh dan ekspresi wajah. Ajak mereka untuk mengenali tanda-tanda ketidaknyamanan, seperti seseorang yang mundur, menghindar, atau terlihat tegang.

Gunakan contoh dalam kehidupan sehari-hari atau dari cerita di buku. Misalnya, “Lihat, temanmu mundur waktu kamu mendekat. Mungkin dia butuh waktu sendiri. Coba tanyakan dulu apa dia mau main bareng atau gak.” Dengan latihan ini, anak belajar untuk lebih peka terhadap emosi orang lain.

5. Bangun komunikasi yang terbuka dan jadikan rumah sebagai ruang aman

ilustrasi anak makan (pexels.com/August de Richelieu)

Penting banget membangun komunikasi yang terbuka dengan anak. Buat mereka merasa aman untuk bercerita tentang apa pun tanpa takut dimarahi atau disalahkan. Kalau mereka berbagi pengalaman gak nyaman, dengarkan dengan penuh perhatian dan validasi perasaan mereka.

Misalnya, kalau anak cerita tentang sesuatu yang membuatnya gak nyaman, kamu bisa bilang, “Mama senang kamu cerita. Kamu benar sudah mengikuti instingmu.” Dengan cara ini, anak merasa didukung dan tahu bahwa mereka bisa selalu mengandalkanmu.

Mengenalkan consent culture pada anak memang gak bisa instan, tapi langkah kecil ini penting untuk membangun karakter mereka di masa depan. Dengan konsistensi, anak akan tumbuh jadi individu yang lebih peka, empatik, dan menghargai batasan diri sendiri maupun orang lain. Jadi, sudah siap memulai langkah kecil ini? Ingat, perubahan besar selalu dimulai dari hal-hal sederhana!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nabila Inaya
EditorNabila Inaya
Follow Us