Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Cara Menumbuhkan Kecerdasan Adversity Quotient pada Anak

ilustrasi anak melakukan eksperimen (pexels.com/MART PRODUCTION)

Anak-anak akan menghadapi berbagai tantangan, baik di sekolah, lingkungan sosial, maupun dalam kehidupan pribadi mereka. Jika tidak memiliki ketahanan dalam menghadapi kesulitan, mereka bisa merasa mudah menyerah, cemas, atau bahkan kehilangan motivasi. Di sinilah pentingnya Adversity Quotient (AQ), atau kecerdasan menghadapi kesulitan.

Konsep AQ pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Paul Stoltz pada akhir tahun 1990-an. AQ mengukur bagaimana seseorang menanggapi dan mengatasi rintangan dalam hidup. Sederhananya, AQ adalah kemampuan anak untuk bangkit ketika menghadapi kegagalan dan terus maju meskipun menghadapi kesulitan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ann S. Masten (2014), ketahanan adalah faktor kunci yang memengaruhi keberhasilan akademik dan sosial anak. Anak dengan AQ tinggi lebih mampu menghadapi tekanan akademik, beradaptasi dengan perubahan, dan mengembangkan solusi ketika menghadapi masalah.

Sebagai orangtua, tentunya memiliki peran penting dalam menumbuhkan kecerdasan Adversity Quotient ini. Berikut adalah cara yang bisa diterapkan untuk membantu anak tumbuh lebih tangguh dan tidak mudah menyerah.

1. Mendorong pola pikir berkembang (growth mindset)

ilustrasi ibu memberikan semangat untuk anak (pexels.com/Vanessa Loring)

Psikolog Carol Dweck menekankan bahwa anak yang memiliki growth mindset atau pola pikir berkembang percaya bahwa kemampuan mereka bisa ditingkatkan melalui usaha dan belajar dari kesalahan. Dengan kata lain, mereka tidak melihat kegagalan sebagai akhir dari segalanya, melainkan sebagai peluang untuk bertumbuh. Bagaimana cara menanamkan pola pikir berkembang pada anak?

  • Pujilah usaha, bukan hasil. Daripada berkata, "Kamu memang pintar dalam matematika," cobalah mengatakan, "Ibu atau ayah melihat kamu berusaha keras memahami soal ini, bagus sekali!"
  • Ajak anak untuk melihat tantangan sebagai kesempatan belajar. Jika mereka gagal, tanyakan, "Apa yang bisa kita pelajari dari kesalahan ini?"
  • Bagikan cerita tentang tokoh sukses yang pernah mengalami kegagalan sebelum akhirnya berhasil, seperti Thomas Edison yang gagal ribuan kali sebelum menemukan bola lampu.

Dengan menanamkan pola pikir berkembang, anak akan belajar untuk tidak takut gagal dan terus berusaha mengembangkan dirinya.

2. Mengajarkan pengelolaan emosi yang sehat

ilustrasi anak melakukan eksperimen (pexels.com/Vanessa Loring)

Ketika menghadapi kesulitan, emosi seperti frustrasi, kecewa, dan marah sering muncul. Oleh karena itu, penting bagi anak untuk memahami dan mengelola emosinya dengan baik agar tidak mudah menyerah.

Dr. Jack Shonkoff dari Harvard University menjelaskan bahwa anak yang memiliki kecerdasan emosional yang baik lebih mampu mengatasi tekanan dan menghadapi tantangan dengan lebih tenang. Bagaimana cara membantu anak mengelola emosi?

  • Ciptakan komunikasi yang terbuka. Biarkan anak merasa nyaman untuk berbicara tentang perasaannya tanpa takut dihakimi.
  • Ajarkan pelabelan emosi. Misalnya, ketika anak marah, bantu anak mengenali emosinya dengan mengatakan, "Ibu atau ayah melihat kamu sedang marah, mau cerita apa yang membuatmu merasa seperti itu?"
  • Tunjukkan bagaimana mengelola stres dengan cara yang sehat. Anak belajar dari apa yang mereka lihat, bukan hanya dari apa yang mereka dengar.

Dengan kemampuan mengelola emosi yang baik, anak akan lebih mampu menghadapi tekanan tanpa merasa kewalahan.

3. Mendorong keterampilan pemecahan masalah

ilustrasi anak melakukan eksperimen (pexels.com/MART PRODUCTION)

Saat anak menghadapi kesulitan, reaksi pertama mereka biasanya meminta bantuan orangtua. Namun, terlalu sering membantu anak menyelesaikan masalah bisa membuat mereka bergantung dan tidak mandiri. Bagaimana cara mengajarkan keterampilan pemecahan masalah?

  • Jangan langsung memberikan solusi. Sebaliknya, ajukan pertanyaan seperti, "Apa yang menurutmu bisa kita lakukan untuk mengatasi masalah ini?"
  • Dorong anak untuk berpikir kreatif dan mencoba berbagai solusi.
  • Biarkan anak mengalami konsekuensi dari keputusan mereka agar mereka belajar dari pengalaman.

Dengan keterampilan ini, anak akan lebih percaya diri dalam menghadapi tantangan hidup.

4. Mengajarkan anak untuk berani melakukan tantangan

ilustrasi anak melakukan eksperimen (pexels.com/MART PRODUCTION )

Menghindari tantangan dan bermain aman mungkin terlihat lebih nyaman bagi anak. Namun, untuk mengembangkan ketahanan, mereka perlu belajar mengambil risiko.

Studi yang dilakukan oleh Werner dan Smith (1992) menunjukkan bahwa anak yang diberi kesempatan untuk menghadapi risiko secara bertahap memiliki kemampuan adaptasi yang lebih baik di kemudian hari. Cara membantu anak belajar mengambil risiko dengan aman:

  • Dorong mereka untuk mencoba hal-hal baru, seperti berbicara di depan umum atau bergabung dalam klub ekstrakurikuler.
  • Biarkan mereka menghadapi tantangan akademik tanpa takut gagal.
  • Dukung anak untuk mencoba kegiatan fisik seperti olahraga atau petualangan di alam bebas.

Dengan mencoba hal-hal baru, anak akan lebih percaya diri dan siap menghadapi tantangan di masa depan.

5. Menjadi teladan yang baik

ilustrasi ibu menemani anak melakukan eksperimen (pexels.com/Mikhail Nilov)

Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat. Jika ingin anak memiliki kecerdasan  Adversity Quotient yang tinggi, tunjukkan sikap yang sama dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana cara menjadi teladan dalam menghadapi kesulitan?

  • Tunjukkan bagaimana mengatasi kegagalan dengan sikap positif.
  • Bagikan pengalaman dalam menghadapi tantangan dan bagaimana mengatasinya.
  • Jangan terlalu protektif. Biarkan anak melihat bahwa kegagalan adalah bagian alami dari kehidupan dan bukan sesuatu yang harus ditakuti.

Ketika anak melihat orangtua tetap tenang dan terus mencoba meskipun menghadapi kesulitan, mereka akan belajar untuk melakukan hal yang sama.

Orangtua adalah mentor terbaik bagi anak dalam perjalanan hidupnya. Dengan bimbingan dan dukungan yang tepat, orangtua bisa membantu anak menghadapi masa depan dengan penuh percaya diri dan ketangguhan. Karena pada akhirnya, bukan seberapa sering mereka jatuh, tetapi seberapa kuat mereka bangkit kembali setelah jatuh.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sani Eunoia
EditorSani Eunoia
Follow Us