Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Pola Asuh yang Bikin Anak Jadi Kritis dan Kreatif, Sudah Terapkan?

ilustrasi anak (pexels.com/August de Richelieu)
Intinya sih...
  • Anak memiliki rasa ingin tahu yang besar, namun seringkali pertanyaan mereka dijawab singkat atau diabaikan, padahal ini bisa menjadi momen emas untuk mengasah pola pikir kritis mereka.
  • Orangtua seringkali refleks turun tangan saat anak menghadapi kesulitan, padahal memberi kesempatan anak untuk mencari solusi sendiri akan membantu mereka dalam menghadapi berbagai situasi di kehidupan nyata.
  • Pola asuh yang terlalu kaku atau memaksakan satu standar tertentu justru bisa membatasi anak, sementara memberikan kebebasan dalam batasan yang jelas akan membantu mereka mengeksplorasi minat dan potensinya sendiri.

Punya anak yang bisa berpikir kritis dan kreatif pasti jadi impian banyak orangtua, ya? Di era digital yang serba cepat ini, dua kemampuan itu bukan cuma sekadar nilai tambah, tapi sudah jadi kebutuhan. Anak yang terbiasa berpikir kritis bisa memilah informasi dengan lebih baik, sementara kreativitas bikin mereka lebih fleksibel dalam mencari solusi.

Sayangnya, tanpa sadar banyak pola asuh yang justru mematikan dua kemampuan ini. Terlalu banyak larangan, kebiasaan memberi jawaban instan, atau membatasi eksplorasi bisa membuat anak kehilangan rasa ingin tahu dan keinginan untuk berpikir sendiri. Lalu, seperti apa pola asuh yang bisa membantu anak berkembang jadi pribadi yang kritis dan kreatif? Yuk, kita bahas!

1. Memberikan ruang untuk bertanya dan mengeksplorasi tanpa batasan yang kaku

ilustrasi anak (pexels.com/RDNE Stock project)

Anak-anak itu punya rasa ingin tahu yang besar. Tapi, sering kali pertanyaan mereka justru dijawab dengan singkat atau bahkan diabaikan. Misalnya, ketika mereka bertanya, “Kenapa langit berwarna biru?”, orangtua langsung menjawab, “Ya, memang begitu.” Padahal, ini bisa jadi momen emas untuk mengasah pola pikir kritis mereka.

Daripada memberi jawaban instan, coba balik bertanya, “Menurut kamu kenapa?” atau ajak mereka mencari tahu bersama. Dengan begitu, anak belajar bahwa bertanya itu hal positif dan mencari jawaban adalah bagian dari proses berpikir. Mereka pun akan lebih terbiasa menggali informasi daripada sekadar menerima apa yang diberikan.

2. Mengajarkan problem solving, bukan memberi solusi instan

ilustrasi anak (pexels.com/cottonbro studio)

Saat anak menghadapi kesulitan, banyak orangtua yang refleks langsung turun tangan. Misalnya, saat mereka kesulitan menyusun puzzle, orangtua buru-buru membantu menyelesaikannya. Akibatnya, anak jadi terbiasa bergantung pada orang lain dan gak belajar bagaimana menghadapi tantangan sendiri.

Coba beri mereka kesempatan berpikir dengan bertanya, “Menurut kamu, langkah pertama yang harus dilakukan apa?” atau “Apa yang sudah kamu coba?” Dengan begitu, mereka akan lebih terbiasa mencari solusi sendiri, bukan sekadar menunggu bantuan. Pola pikir seperti ini nantinya akan sangat berguna dalam menghadapi berbagai situasi di kehidupan nyata.

3. Menghargai proses, bukan cuma hasil akhirnya

ilustrasi anak (pexels.com/Artem Podrez)

Di lingkungan yang serba kompetitif, banyak orangtua yang lebih fokus pada hasil akhir, nilai bagus, juara lomba, atau penghargaan. Padahal, yang lebih penting adalah bagaimana anak belajar dari prosesnya. Jika mereka hanya ditekankan pada hasil, mereka bisa kehilangan keberanian untuk mencoba hal baru karena takut gagal.

Daripada langsung mengomentari hasil karya anak dengan “Bagus” atau “Kurang rapi,” coba tanyakan, “Ceritain dong, gimana cara kamu bikin ini?” atau “Bagian mana yang paling sulit buat kamu?” Dengan begitu, mereka akan memahami bahwa proses belajar itu sama berharganya dengan pencapaian akhir. Ini juga bisa mendorong mereka untuk terus mencoba dan bereksperimen tanpa takut salah.

4. Menstimulasi diskusi agar anak terbiasa melihat dari berbagai perspektif

ilustrasi anak (pexels.com/Kaboompics)

Banyak anak tumbuh dengan pola pikir hitam-putih, sesuatu dianggap benar atau salah tanpa melihat konteksnya. Padahal, dunia nyata jauh lebih kompleks dan butuh pemikiran yang lebih fleksibel.

Coba ajak anak berdiskusi tentang berbagai hal, misalnya dari film yang mereka tonton atau cerita di buku. Tanyakan, “Menurut kamu, kenapa tokoh ini bertindak seperti itu?” atau “Kalau kamu ada di posisinya, apa yang akan kamu lakukan?” Dengan cara ini, mereka belajar memahami berbagai sudut pandang, tidak mudah menghakimi, dan lebih kritis dalam menilai situasi.

5. Memberikan kebebasan terkontrol agar anak bisa mengenali potensinya sendiri

ilustrasi anak (pexels.com/Kampus Production)

Setiap anak punya keunikan masing-masing. Sayangnya, pola asuh yang terlalu kaku atau memaksakan satu standar tertentu justru bisa membatasi mereka. Sebaliknya, memberikan kebebasan dalam batasan yang jelas bisa membantu anak mengeksplorasi minat dan potensinya sendiri.

Misalnya, beri mereka pilihan dalam hal-hal sederhana seperti memilih pakaian sendiri atau menentukan kegiatan yang ingin mereka ikuti. Jika anak lebih tertarik pada seni sementara kamu berharap mereka suka sains, tetap dukung minatnya sambil mengenalkan bidang lain secara menyenangkan. Dengan cara ini, mereka akan tumbuh jadi pribadi yang lebih percaya diri, independen, dan mampu mengambil keputusan sendiri.

Menerapkan pola asuh ini memang butuh kesabaran dan konsistensi. Kadang, kita tergoda untuk kembali ke cara-cara praktis yang lebih cepat. Tapi, ingat bahwa membangun kebiasaan berpikir kritis dan kreatif adalah investasi jangka panjang yang hasilnya akan sangat berharga. Semoga bermanfaat!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Muhamad Aldifa
EditorMuhamad Aldifa
Follow Us