Beredar percakapan di dunia maya tentang sebutan “loli, pacar loli, loli SD, loli imut, loli lugu, cari loli”. Kata loli membuat penasaran untuk setiap percakapan yang ada. Saya kutipkan salah satunya.
“Minta saran bro/sis, cara biar dapat loli, terutama yang SD”
Lalu, komentar pun berdatangan tanpa sebab dan tanpa diundang.
“Culik aja, baru pacarin”
“Target kelas berapa?”
“Ajak maen ke tempat rekreasi, misalnya naek roller coaster atau ajak berenang di kolam renang bisa juga diajak naik gunung tapi jangan nginep. Intinya ajak jalan-jalan ke tempat baru dan bisa bikin “memorable” biar nanti seolah-olah dia ada rasa ketergantungan sama lu dan merasa lebih aman dan nyaman bareng lu”
Yang paling terbuka juga vulgar adalah komentar berikut:
“udah 4 tahun gan ane gituin dia mulu. Dari awalnya Cuma pegang-pegang, diisepin, dimasukin, gue ga bisa cerita semuanya, kepanjangan, intinya dari yang 2 ini dari mereka belum sekolah sampe sekarang kelas 4 SD, sampe cepet banget numbuh ****………., nonton Loli bareng sambil begituan sama loli……(tidak sanggup menuliskan selengkapnya)”
Percakapan ini berasal dari sebuah grup di akun facebook. Entahlah komunitas ini berisikan pribadi-pribadi seperti apa. Unggahan ini telah mengundang ribuan komentar dan juga ribuan kali dibagikan. Hingga kumpulan ibu-ibu, lebih tepatnya emak-emak, orang tua, juga netizen yang geram, jengah, sekaligus risih mulai beraksi.
Mereka adalah bagian dari reaksi aktif netizen dalam mengungkap sindikat pecinta “loli” dan pemburu anak-anak tak berdaya. Ternyata, percakapan ini bukan hoax, melainkan hobi baru para paedofil usil.
Meski pembuat grup serta anggotanya sudah berhasil ditangkap pihak berwajib, apakah pecinta “loli” ini lantas akan dengan sadar menghentikan pemburuannya terhadap anak-anak kecil di sekitarnya? Tentu tidak. Apa yang bisa dilakukan orang tua dalam menghadapi pemburu “loli” ini agar tidak mengganggu tumbuh kembang dan pendidikan anaka-anak? Di tengah keraguan yang begitu besar ini, apakah kita sebagai orangtua tidak melakukan apa-apa? Loli, sebuah kata yang indah, namun tidak indah diartikan oleh para pencari loli ini. Apa yang bisa ditawarkan untuk anak-anak perempuan lugu yang tak paham akan diterkam?
Kasus penculikan anak-anak yang cukup menggemparkan di media sosial menjadi perhatian ketat orang tua. Mereka tak ingin tubuh-tubuh mungil tak berdosa ini harus diperjualbelikan, diperlakukan tidak pantas, bahkan digerayangi begitu binal. Banyak orang tua yang akhirnya dipaksa “mengurung” anak-anak dengan membatasi ruang bermainnya. Namun, di antara jutaan orangtua yang khawatir, ada sebagian orang tua yang dipaksa “menyerah” sebab serangan penculikan dan paedofil seolah tak berhenti menghantui.
Meski paedofil ini bukan kasus baru, loli yang menjadi pembicaraan dalam grup facebook itu menjadi kecaman berat untuk para orang tua. Bagaimana cara memberikan pendidikan tentang rasa ingin tahu dan penasaran anak-anak ini tidak membawanya pada tempat-tempat yang keliru bahkan tempat-tempat yang membuat mereka kecanduan, merasa nyaman yang semu, padahal tubuh merekalah yang diincar?
Apakah anak-anak harus “dipasung”? Kecemasan orang tua tak berlebihan kiranya. Ini bukan melulu soal peringatan, melainkan tentang menyajikan dunia yang aman bagi anak-anak, menyajikan tempat yang layak untuk anak, untuk generasi muda Indonesia berkarya, menatap masa depan lebih baik, berkarakter baik, dan berkreativitas tanpa batas.
Orangtua banyak mengeluarkan ultimatum untuk anak-anaknya agar tidak meninggalkan rumah saat jam pulang sekolah, membatasi kegiatan anak-anak di luar rumah, juga akhirnya dipaksa memilih home schooling. Anak-anak menjadi terisolasi dengan kehidupan sosialnya, bahkan mereka tak banyak tahu tentang dunia lain, apalagi dunia anak-anak. Ia hanya disesaki dengan kekhawatiran, larangan, juga ketakutan-ketakutan berbicara pada orang dewasa, termasuk ayah ibunya. Orang tua menjadi frustrasi. Antara orangtua yang peduli atau menjadi orangtua yang membiarkan anak memilih jalannya masing-masing.
Lolicon, dalam bahasa aslinya memiliki makna seseorang yang mempunyai obsesi pada anak-anak di bawah umur, menjelang atau sebelum masa pubertas yang disebut Lolita (Wikipedia). Istilah "Lolicon" sering digunakan dalam ruang lingkup Anime, Manga dan Game. Seperti bahasa sandi, grup paedofil menyebut korbannya sebagai loli agar tak menaruh rasa curiga berlebih. Namun, sayang, grup ini ternyata tak begitu jeli. Emak-emak yang tergabung dalam facebook sebagai netizen aktif turut memberi kontribusi bagi penangkapan pelaku pencari loli ini.
Mencuatnya isu loli ini akhirnya memboyong para tersangka ke jeruji besi. Banyak hal tidak masuk akal yang akhirnya terungkap. Dari empat tersangka, diketahui dua tersangka bernama M Bachrul Ulum alias Wawan alias Snorlax (25) dan DF alias T-Day (17), melakukan kekerasan seksual terhadap sedikitnya 12 anak di bawah umur. Dari 12 anak di bawah umur, polisi telah mengidentifikasi 8 korban di antaranya.
Tidak hanya melakukan kekerasan seksual, keduanya juga merekam video saat melakukan aksinya itu lalu membagikannya kepada para member. Mereka juga tergabung dengan grup paedofil jaringan internasional, yang saling bertukar konten pornografi anak-anak di bawah umur. Salah satu pelaku yakni Wawan alias Snorlax mengaku pernah menjadi korban kekerasan seksual saat usianya masih kecil. Inilah mata rantai kejahatan seksual yang tak pernah putus. Penting kiranya bagi mereka yang pernah menjadi korban kekerasan seksual ini untuk dibina, dibimbing, lebih dalam, lebih khusus dari anak normal lainnya.
Pendampingan secara sungguh-sungguh ini akan membantu mereka untuk seolah melupakan pengalaman pahit dan membuang jauh keinginan untuk membuat orang lain merasakan hal yang sama kemudian. Seorang anak yang menjadi korban kekerasan seksual harus berani menceritakan kepada orang tuanya agar siklus kejahatan seksual itu tidak terulang (korban menjadi pelaku). Kalau tidak diputus mata rantainya nanti akan terus memutar. Apalagi dalam budaya kebanyakan (baca: sistem patriarki) di Indonesia bahwa anak laki tidak suka bercerita, nganggap dirinya kuat, itu bahaya apabila orang tuanya juga tidak perhatian.
Makanya penting bagi orangtua untuk meluangkan sehari 20-30 menit sehari untuk sekadar berbincang. Berbicara tentang apa yang dialaminya di sekolah, bagaimana teman-temannya, bagaimana guru-gurunya, bagaimana pelajaran, dan segala hal yang bisa memberikan informasi bahwa anak-anak ini dalam kondisi baik dan bahagia. Jika orang tua tidak berbicara, anak akan menganggap apa yang terjadi padanya satu hari itu adalah wajar dan biasa. Untuk itulah, orang tua tidak boleh egois. Di tengah kesibukan yang menumpuk, waktu 30 menit hingga 60 menit akan sangat menyenangkan bila disisihkan untuk ngobrol bersama anak-anak.