#MahakaryaAyahIbu: Rumah dengan Halaman Luas dan Jendela Berkanopi untuk Ibu

Pondasinya: keringat Bapak, Ibu, dan aku.

Artikel ini merupakan karya tulis peserta kompetisi storyline "Mahakarya untuk Ayah dan Ibu" yang diselenggarakan oleh IDNtimes dan Semen Gresik. 


Seorang laki-laki menyalakan mesin mobil angkutan kota bernomor 229 di garasi. Lewat kaca spion, ia melihat keadaan di belakangnya. Jalan raya masih sepi. Hanya beberapa pedagang berangkat ke pasar membawa sayur mayur. Ia sadar hari masih pagi. Diliriknya arloji murah dari kulit sintetis berwarna cokelat yang melingkar di pergelangan tangan kirinya yang sawo matang. Pukul enam tepat. Ia segera bersiap untuk narik. Semangatnya menggelora, sedikit lagi tabungannya akan cukup untuk membayar DP rumah sederhana di pinggiran kota. Akan hilang keluh kesah istrinya karena masih menumpang di rumah orang tua yang juga tak seberapa berada.

Perlahan ia memundurkan colt warna oranye itu. Sebentar-sebentar matanya melirik ke spion. Aman, batinnya. Jalan masih sepi... 1... 2.... 3..... Setengah body belakang angkutan kota itu sudah keluar ke badan jalan. Tepat ketika lelaki itu memasukkan gigi, ia sedikit menunduk, tergambar senyum di bibir istrinya yang merah muda di wajah yang putih bersih. Ia tersenyum, bersiap menginjak gas, dan BRAAAAAAK! Garasi angkutan kota itu terletak tepat di sebuah belokan pertigaan dekat pasar. Sebuah truk pengangkut pasir membelok dan menabrak bagian belakang angkutan kota bernomor 229 itu hingga kepala sopir laki-laki yang ada di dalamnya membentur kaca di depannya hingga pecah dan tubuhnya terlempar keluar.

Laki-laki itu adalah bapakku. Dan istrinya dengan wajah putih bersih bibir merah muda adalah ibuku, yang sejak saat itu menjadi single parent bagi aku, anak satu-satunya. Saat itu usiaku baru 7 tahun. Masih tergambar jelas di ingatanku, sore hari sebelum hari celaka itu, kami bertiga bersantai di teras rumah Embah. Bapak dan ibu dengan kopi hitamnya, dan susu coklat hangat untukku.

dm-player

Matahari senja bersinar menenangkan, memberi harapan. Bapak menyeruput kopi hitamnya, perlahan meneguk seperti takut kehilangan sesuatu yang entah apa, lalu matanya menerawang. Ditaruhnya cangkir itu ke meja dan pandangannya beralih ke istri yang telah dinikahinya selama 9 tahun, ibuku.

“Bu, nanti kalau uangnya sudah cukup untuk DP, langsung kita deal saja ya dengan yang jual. Terus nanti Bapak menabung sedikit-sedikit supaya bisa renovasi, kasih teras sedikit, tambahi meja dan kursi supaya kalau sore-sore kita bisa ngopi dan ngeteh seperti ini. Ibu kepingin rumah yang seperti apa?” Ibu tersenyum, matanya yang sipit hanya tinggal segaris.

Bapak tersenyum melihat ibu tersenyum. “Kepinginnya yang halamannya luas, Pak. Kayak rumah-rumah peninggalan zaman Belanda itu lho. Yang jendelanya ada kanopinya lerek-lerek. Tapi untuk sekarang yang penting ada rumah dulu, untuk kita bertiga sebagai satu keluarga.”

Selagi matari menggeliat malas hendak pulang ke buaiannya, di senja kemerahan sore itu, bukan hanya bapak dan ibu yang membayangkan bagaimana rumah baru kami kelak. Aku  juga ikut bahagia ingin segera berlari-lari di halaman luas rumah itu, meski tak tahu juga rumah model Belanda itu yang seperti apa. Hingga kini, saat aku sudah berusia 21 tahun, 14 tahun setelah kematian Bapak, kami belum punya rumah.

Pekerjaan ibu sebagai penjahit hanya bisa menghidupi kami berdua seadanya, pun aku sudah sangat bersyukur karena ibu bisa membiayaiku sampai lulus perguruan tinggi. Selama ini kami hidup berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Ingatanku kembali ke sore sebelum ayah pergi selagi aku melangkah menarik koper keluar dari pesawat. Senja lagi, senja yang sama dengan sore itu di teras rumah. Baru saja aku selesai melakukan penerbangan pertamaku.

Ya, aku kini bekerja sebagai pramugari di sebuah maskapai di Indonesia. Secepatnya akan kupersembahkan mahakaryaku untuk ibu, rumah yang modelnya seperti peninggalan Belanda, dengan halaman luas dan kanopi di atas jendelanya, juga mahakaryaku untuk Bapak, kuteruskan keinginanmu memenuhi impian ibu, Pak. Biar Bapak juga bahagia di surga sana. Rumah itu, Pak, akan jadi rumah yang kokoh tak tertandingi, sebab pondasinya adalah keringat Bapak, Ibu, dan aku. Tak peduli Bapak telah pergi, kita tetap keluarga kokoh, dulu dan kini.  

Chandra Wulan Photo Writer Chandra Wulan

hai!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya