5 Hal yang Harus Dipelajari jika Dibesarkan Orangtua Boomer

- Generasi boomer menekankan kerja keras dan stabilitas, namun anak-anaknya lebih menghargai keseimbangan hidup
- Anak-anak generasi boomer harus belajar sendiri cara menetapkan batasan agar hidup mereka lebih seimbang
- Banyak anak generasi boomer harus belajar sendiri cara mengatur uang setelah mengalami kesalahan dalam mengelola keuangan
Setiap generasi punya cara berbeda dalam mendidik anak. Generasi boomer, misalnya, terkenal menekankan pentingnya kerja keras, stabilitas, dan kemandirian. Nilai-nilai itu memang bermanfaat, tetapi ada banyak hal lain dalam hidup yang tidak mereka ajarkan secara langsung.
Akibatnya, anak-anak dari generasi berikutnya sering kali mencari tahu sendiri lewat pengalaman, kesalahan, bahkan rasa kecewa. Jika kamu dibesarkan orangtua boomer, baca artikel ini sampai habis, ya! Ada beberapa hal yang biasanya harus kamu pelajari jika dibesarkan orangtua boomer.
1. Cara menjaga keseimbangan hidup dan kerja (work-life balance)

Bagi generasi boomer, keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi bukan hal yang penting. Mereka lebih menekankan kerja keras, mencari penghasilan, menjaga stabilitas, dan tetap setia pada satu perusahaan. Bahkan, mereka rela mengorbankan waktu bersama keluarganya demi pekerjaan. Bagi generasi boomer, memiliki pekerjaan yang tetap sudah menjadi bentuk kesuksesan tersendiri.
Sebaliknya, anak-anak yang dibesarkan oleh generasi boomer tumbuh dengan pengalaman yang berbeda. Mereka sering merasa kehilangan waktu berharga bersama orangtua yang sibuk bekerja. Makanya, mereka lebih menghargai keseimbangan hidup dan berusaha menciptakannya sendiri. Tidak jarang, mereka juga mencari kebahagiaan, tujuan, dan makna dalam pekerjaan, bukan sekadar ingin berhasil seperti generasi boomer.
2. Cara menetapkan batasan (setting boundaries)

Generasi boomer terkenal sebagai pekerja keras yang sering kali tenggelam dalam pekerjaannya. Makanya, banyak anak yang harus belajar sendiri bagaimana cara menetapkan batasan agar hidup mereka lebih seimbang. Tidak jarang, anak-anak dari generasi boomer tumbuh dalam kondisi keluarga yang tidak harmonis, dengan orangtua yang jarang hadir dan lebih banyak menghabiskan waktu di kantor.
Walaupun di rumah batasan itu ada, tetapi biasanya bersifat sepihak dan kaku. Orangtua boomer cenderung otoriter, mereka bertindak sebagai bos dan anak-anak hanya bisa menurut. Situasi ini membuat anak-anak belajar mandiri lebih cepat, meski terkadang disertai rasa kesepian dan kurang dukungan. Pada akhirnya, pengalaman itu mendorong mereka untuk lebih menghargai komunikasi, waktu yang berkualitas, dan batasan sehat dalam kehidupan mereka sendiri.
3. Tips mengatur keuangan (managing finances)

Banyak anak yang dibesarkan oleh generasi boomer tidak mendapat pendidikan keuangan yang cukup. Orangtua mereka lebih fokus pada kerja keras dan menabung, tanpa benar-benar menjelaskan bagaimana cara mengatur uang dengan baik. Akibatnya, anak-anak harus belajar sendiri cara membuat anggaran, menghindari utang konsumtif, atau menyiapkan dana darurat. Semua keterampilan itu baru dipahami setelah mengalami langsung kesalahan dalam mengelola uang.
Kesalahan kecil seperti terlalu cepat menghabiskan gaji atau tidak punya tabungan sering menjadi pelajaran berharga. Dari situ muncul kesadaran bahwa keuangan tidak bisa dijalani tanpa rencana. Lama-kelamaan, mereka mengerti bahwa mengatur uang bukan hanya soal memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lebih dari itu, uang bisa menjadi alat untuk menciptakan rasa aman dan kebebasan di masa depan.
4. Teknik menenangkan diri ketika menghadapi masalah (self-soothing techniques)

Banyak orangtua dari generasi boomer dikenal otoriter, meski kadang ada sisi demokratis dalam cara mereka mendidik. Mereka memang bisa memberi dukungan atau berkomunikasi, tetapi tetap berpegang pada aturan ketat, batasan tradisional, serta pola disiplin hadiah dan hukuman. Itu sebabnya, anak-anak yang tumbuh bersama mereka jarang diberi kelonggaran saat melakukan kesalahan. Bukannya ditenangkan, mereka lebih sering dimarahi atau diberi hukuman ketika melanggar aturan.
Situasi ini membuat banyak anak belajar untuk menghindari konflik agar tidak dimarahi. Mereka jadi terbiasa menekan emosi atau menghindari percakapan sulit karena takut dengan reaksi orangtuanya. Dukungan emosional pun sering terasa minim, sehingga anak kehilangan kesempatan untuk merasa dipahami. Akhirnya, mereka harus belajar sendiri bagaimana cara menenangkan diri, mengelola emosi, dan menghadapi perasaan yang sulit tanpa bimbingan orangtuanya.
5. Mencari bantuan kesehatan mental saat tertekan (seeking mental health help)

Anak yang tumbuh bersama orangtua dari generasi boomer tidak terbiasa membicarakan kesehatan mental. Di rumah, masalah seperti stres, kecemasan, atau depresi sering dianggap tidak penting atau bahkan tidak nyata. Para boomer umumnya percaya bahwa masalah seperti itu bisa diatasi dengan kerja keras dan tekad pribadi. Akibatnya, terapi atau konseling sering dipandang sebelah mata dan jarang dipertimbangkan sebagai pilihan.
Situasi ini membuat anak-anak mereka tumbuh dengan stigma terhadap kesehatan mental. Saat dewasa, banyak yang baru menyadari bahwa meminta bantuan bukanlah hal yang salah. Mereka harus belajar sendiri untuk mencari dukungan, mengikuti terapi, atau membicarakan kesehatan mental secara terbuka. Semua ini menjadi bagian penting dari perjalanan menuju pemahaman diri dan kehidupan yang lebih sehat.
Meski tidak semua nilai generasi boomer bisa dianggap kurang, kenyataannya ada banyak hal yang memang harus dipelajari sendiri oleh anak-anak mereka. Proses belajar mandiri ini memang tidak mudah, tetapi justru membentuk ketahanan, kemandirian, dan kemampuan adaptasi yang lebih kuat. Setiap pengalaman pahit, kesalahan, dan pencarian solusi menjadi guru terbaik dalam membangun kehidupan yang seimbang. Pada akhirnya, dibesarkan orangtua boomer membuat kamu tumbuh menjadi pribadi yang lebih bijak dan tangguh menghadapi masa depan.