Setiap anak tumbuh dengan membawa pengalaman dari lingkungan terdekatnya, terutama orangtua. Pola asuh yang diterapkan orangtua menjadi fondasi kuat bagi perkembangan emosi anak. Namun, jika pola asuh yang digunakan tidak sehat, hal itu bisa memunculkan luka batin yang memengaruhi kehidupan anak dalam jangka panjang.
Sering kali orangtua tidak menyadari bahwa cara mereka mendidik justru memicu masalah emosional pada anak. Bentuk-bentuk pola asuh yang kaku, penuh tekanan, atau minim perhatian bisa menimbulkan perasaan tertekan. Berikut lima emotional triggers pada anak yang sering muncul akibat pola asuh tidak sehat.
5 Emotional Triggers pada Anak Akibat Pola Asuh yang Tidak Sehat

1. Tekanan berlebihan untuk berhasil
Ketika anak terus-menerus dituntut berprestasi tanpa mempertimbangkan minat dan kemampuannya, ia bisa merasa gagal jika tidak mencapai standar tersebut. Rasa tertekan ini sering membuat anak sulit menikmati proses belajar. Dalam jangka panjang, anak bisa mengalami kecemasan dan takut mencoba hal baru.
Tekanan yang terlalu besar juga membuat anak mengaitkan nilai dirinya hanya dengan pencapaian. Hal demikian dapat mengikis rasa percaya diri dan membuat mereka merasa tidak pernah cukup baik. Akibatnya, anak bisa kehilangan motivasi alami untuk berkembang.
2. Minimnya apresiasi dan dukungan emosional
Anak membutuhkan pengakuan dan perhatian, bukan hanya kritik atau koreksi. Ketika orangtua jarang memberikan apresiasi, anak cenderung merasa usahanya tidak berarti. Rasa kecewa tersebut bisa berkembang menjadi luka emosional yang dalam.
Kurangnya dukungan juga membuat anak enggan terbuka dan mengekspresikan dirinya. Mereka bisa menjadi pribadi yang tertutup dan takut ditolak. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menghambat kemampuan anak dalam membangun hubungan sosial yang sehat.
3. Perbandingan dengan anak lain
Membandingkan anak dengan saudara atau teman sebaya sering dianggap hal biasa, padahal dampaknya sangat serius. Anak yang selalu dibandingkan merasa dirinya tidak berharga dan kehilangan kepercayaan diri. Ia bisa merasa seakan-akan hidupnya hanya perlombaan yang tidak pernah dimenangkan.
Selain itu, perbandingan dapat memicu rasa iri, cemburu, atau bahkan kebencian terhadap orang yang dijadikan standar. Anak juga belajar bahwa dirinya hanya diterima jika berhasil menyaingi orang lain. Hal demikian membuatnya sulit merasa puas atas pencapaiannya sendiri.
4. Hukuman fisik atau verbal yang kasar
Pola asuh yang menggunakan hukuman keras sering kali meninggalkan trauma pada anak. Hukuman fisik atau verbal yang kasar tidak hanya menyakitkan secara langsung, tetapi juga merusak rasa aman dalam diri anak. Mereka bisa tumbuh dengan rasa takut yang mengakar dalam keseharian.
Selain itu, hukuman kasar mengajarkan bahwa kekerasan adalah cara menyelesaikan masalah. Anak mungkin meniru perilaku ini dalam hubungannya dengan orang lain. Dampak jangka panjangnya bisa berupa rasa marah yang terpendam atau kecenderungan melakukan kekerasan juga.
5. Kurangnya kebebasan untuk mengekspresikan diri
Anak yang selalu dibatasi dalam berekspresi merasa suaranya tidak penting. Jika setiap pendapat atau ide ditekan, anak akan terbiasa menahan perasaannya sendiri. Hal ini dapat menumbuhkan rasa tidak percaya diri dan membuat mereka sulit mengambil keputusan.
Dalam jangka panjang, anak bisa kehilangan kreativitas dan keberanian untuk menjadi dirinya sendiri. Mereka hanya berusaha menyesuaikan diri dengan harapan orang lain. Kondisi demikian bisa menimbulkan perasaan kosong dan bingung tentang identitas diri.
Pola asuh yang tidak sehat sering kali tidak terlihat langsung, tetapi meninggalkan dampak besar pada anak. Emotional triggers yang muncul bisa membentuk cara anak memandang dirinya, orang lain, hingga dunia di sekitarnya. Jika tidak segera disadari, luka batin tersebut akan terbawa hingga dewasa.