“Anak-anak yang dibesarkan dengan gaya ini tidak akan pernah mengalami situasi sulit atau tidak nyaman karena orangtua terlalu takut membiarkan mereka mengalaminya,” jelas Gayle Weill, pekerja sosial berlisensi, dilansir Psych Central.
5 Dampak Pola Asuh Berbasis Ketakutan pada Anak

Menjadi orangtua memang penuh tantangan, apalagi ketika anak berperilaku di luar harapan. Dalam kondisi emosi, banyak orangtua tanpa sadar memilih menakut-nakuti agar anak patuh. Cara ini dikenal sebagai pola asuh berbasis ketakutan.
Meski terlihat efektif, pola asuh berbasis ketakutan justru bisa membawa dampak buruk dalam jangka panjang. Anak mungkin menurut, tapi rasa takut yang tumbuh bisa menghambat perkembangan mental, sosial, hingga hubungan mereka dengan orangtua. Yuk, simak dampaknya biar kita lebih bijak dalam mendidik anak.
1. Menghambat belajar dari kesalahan

Anak yang tumbuh dengan pola asuh berbasis ketakutan sering dijauhkan dari pengalaman menantang karena dianggap berisiko. Misalnya, melarang mereka main di taman karena takut jatuh justru membatasi kesempatan belajar langsung. Padahal, pengalaman ini penting untuk melatih kreativitas, kemandirian, dan kemampuan problem solving.
Mengutip laman yang sama, Carolyn Solo, pekerja sosial klinis, juga menegaskan anak perlu menghadapi situasi sulit agar bisa tumbuh percaya diri. Kalau selalu dilindungi dari risiko kecil, anak jadi mudah bergantung pada orangtua dan takut ambil inisiatif.
2. Mengurangi kesehatan mental dan ketahanan

Pola asuh berbasis ketakutan bisa menimbulkan kecemasan sekaligus menurunkan rasa percaya diri. Anak yang selalu dikhawatirkan orangtuanya cenderung takut mengambil keputusan sendiri. Akibatnya, mereka kurang tahan menghadapi tekanan sosial maupun akademik.
Menurut Dr. Danine Dean, psikolog berlisensi dari California, dilansir Psych Central, pola asuh ini bisa menghambat kepercayaan diri dan ketahanan emosional anak. Kontrol orangtua yang berlebihan juga meningkatkan risiko depresi, kecemasan, bahkan gangguan perilaku.
“Parenting berbasis ketakutan sering menghasilkan anak dengan harga diri rendah, kesulitan dalam pertemanan dan hubungan romantis, serta kemampuan menilai risiko yang buruk,” jelas Carolyn Solo.
3. Memicu pemberontakan

Anak yang selalu diatur dengan rasa takut bisa merasa terkekang dan akhirnya memberontak. Perilaku ini jadi cara mereka melawan kontrol ekstrem sekaligus mencari otonomi diri. Semakin ketat aturan dan ancaman, semakin besar kemungkinan mereka menolak aturan itu.
Carolyn Solo menjelaskan, anak sebenarnya butuh ruang untuk mengekspresikan diri. Kalau kesempatan itu tidak ada, mereka cenderung mencari cara untuk membuktikan diri, meski dengan jalan yang salah. Pemberontakan biasanya muncul saat remaja ketika anak mulai mengeksplorasi dunia luar.
4. Merusak hubungan orangtua dan anak

Pola asuh berbasis ketakutan bisa bikin anak enggan terbuka pada orangtua. Mereka terbiasa menutup diri karena takut dihukum atau diintimidasi. Lama-kelamaan, hubungan jadi renggang dan terasa jauh dari hangat.
Dilansir Psych Central, Dr. Stuart Ablon, psikolog klinis, menyebut pola asuh berbasis ketakutan dapat menimbulkan kemarahan dan ketidakpercayaan. Anak akhirnya enggan berbagi dengan orangtua bahkan tumbuh skeptis pada figur otoritas. Jika dibiarkan, hal ini bisa memengaruhi kemampuan mereka membangun relasi sehat di masa depan.
5. Menghambat keterampilan sosial dan pengambilan keputusan

Anak yang tumbuh dengan rasa takut sering kesulitan mengembangkan keterampilan sosial dan mengambil keputusan. Karena takut salah atau dihukum, mereka jadi pasif dan sulit mengekspresikan pendapat. Akhirnya, kemampuan komunikasi rendah, susah bersosialisasi, dan tidak siap menghadapi konflik.
Carolyn Solo menekankan pentingnya anak belajar menilai risiko dan membuat keputusan sendiri. Tanpa kesempatan itu, mereka akan kesulitan mengatur diri, merencanakan, hingga memecahkan masalah. Parahnya lagi, kebiasaan ini bisa bikin mereka bergantung pada arahan orangtua bahkan hingga dewasa.
Pola asuh berbasis ketakutan, meski tujuannya melindungi, justru bisa menghambat perkembangan anak. Mereka berisiko tumbuh cemas, minder, dan jauh dari orangtua. Yuk, terapkan pola asuh penuh empati supaya anak tumbuh percaya diri dan sehat emosional.