Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi ibu dan anak remaja (pexels.com/Karolina Kaboompics)
ilustrasi ibu dan anak remaja (pexels.com/Karolina Kaboompics)

Masa remaja adalah periode yang penuh tantangan, di mana anak sering dihadapkan dengan rasa cemas, tekanan sosial, hingga kebingungan soal jati diri. Dalam fase ini, banyak remaja yang akhirnya terjebak pada overthinking. Mereka bisa terus memikirkan hal kecil sampai membuatnya merasa stres dan sulit fokus. Overthinking sendiri bukan sekadar kebiasaan berpikir berlebihan, tapi bisa memengaruhi kesehatan mental anak.

Sayangnya, gak sedikit orangtua yang keliru dalam menyikapi kondisi ini. Alih-alih membantu anak, sikap yang salah justru membuat mereka merasa gak dipahami dan makin terjebak dalam pikirannya sendiri. Padahal, anak remaja membutuhkan pendampingan yang sabar agar mereka bisa belajar mengatasi rasa cemas dengan lebih sehat. Berikut adalah enam kesalahan orangtua yang perlu dihindari saat menghadapi anak yang sedang overthinking.

1. Menganggap remeh perasaan anak

ilustrasi anak remaja menahan emosi (pexels.com/cottonbro studio)

Kesalahan paling umum yang sering dilakukan orangtua adalah meremehkan perasaan anak remaja. Saat anak bercerita tentang kekhawatirannya, orangtua kerap menjawab dengan kalimat seperti, 'Ah, itu sepele,' atau 'Kamu terlalu lebay.' Padahal, yang dianggap kecil bagi orang dewasa bisa terasa sangat besar dan berat di mata remaja.

Kalau anak merasa diremehkan, mereka akan ragu untuk terbuka di lain waktu. Bukannya merasa lega setelah bercerita, mereka malah makin tenggelam dalam pikirannya sendiri. Padahal, validasi emosi dari orangtua bisa membantu anak merasa lebih aman dan didengar. Dengan begitu, mereka bisa perlahan belajar mengurai rasa khawatirnya.

2. Memberi ceramah panjang tanpa mendengarkan dulu

ilustrasi ayah dan anak perempuan remaja (freepik.com/freepik)

Saat anak terlihat terlalu banyak berpikir, orangtua sering kali langsung merespons dengan ceramah panjang. Niatnya mungkin baik, yaitu memberi nasihat agar anak lebih kuat. Namun, ketika dilakukan tanpa mendengarkan dulu, anak bisa merasa dihakimi dan gak benar-benar dipahami. Ceramah yang panjang biasanya malah membuat anak menutup diri.

Remaja sebenarnya lebih butuh didengarkan dibandingkan diceramahi. Dengan mendengarkan, orangtua bisa tahu akar dari overthinking anak. Dari sana, barulah bisa diberi arahan atau masukan yang sesuai. Jadi, yang terpenting bukan banyaknya nasihat, melainkan kemampuan orangtua untuk hadir dan memahami dulu perasaan anak.

3. Memaksakan anak untuk segera berhenti khawatir

ilustrasi ibu dan anak remaja (pexels.com/RDNE Stock project)

Kalimat seperti 'Sudahlah, jangan dipikirin lagi' sering dilontarkan orangtua saat anak terlihat gelisah. Maksudnya mungkin untuk menenangkan, tapi bagi anak, ucapan itu bisa terasa seperti tekanan. Mereka merasa seolah-olah gak boleh merasakan cemas atau bingung. Padahal, overthinking bukan hal yang bisa langsung berhenti begitu saja.

Ketika dipaksa berhenti khawatir, anak justru makin bingung bagaimana cara mengendalikan pikirannya. Alih-alih terbantu, mereka bisa semakin frustrasi. Yang lebih dibutuhkan adalah pendampingan bertahap, seperti mengajak anak menyalurkan pikirannya lewat menulis, olahraga, atau aktivitas kreatif. Dengan begitu, rasa khawatirnya bisa lebih terkontrol tanpa merasa ditekan.

4. Membandingkan dengan diri sendiri atau orang lain

ilustrasi ibu dan anak remaja (pexels.com/Karolina Kaboompics)

Orangtua kadang gak sadar membandingkan anak dengan orang lain. Misalnya dengan berkata, 'Mama dulu juga punya masalah, tapi gak segitunya,' atau 'Lihat tuh teman kamu, dia bisa santai aja.' Ucapan seperti ini justru membuat anak merasa semakin gak mampu. Mereka bisa berpikir bahwa dirinya lemah dan gak sebaik orang lain.

Perbandingan gak pernah membuat anak merasa lebih baik, justru memperburuk rasa cemas. Anak yang sedang overthinking butuh diyakinkan bahwa apa yang mereka rasakan itu valid. Daripada membandingkan, orangtua bisa menekankan bahwa setiap orang punya cara masing-masing dalam menghadapi masalah. Dukungan seperti ini lebih menenangkan dibandingkan perbandingan.

5. Menyalahkan anak karena terlalu banyak berpikir

ilustrasi ayah dan anak remaja (pexels.com/Kindel Media)

Beberapa orangtua menilai bahwa overthinking adalah tanda anak kurang bersyukur atau terlalu manja. Akibatnya, mereka menyalahkan anak dengan kata-kata yang justru menyakitkan. Padahal, overthinking bukanlah pilihan sadar, melainkan respons alami dari pikiran yang sedang tertekan. Anak gak serta-merta bisa mengendalikannya.

Kalau anak terus disalahkan, mereka akan merasa semakin gak berdaya. Rasa bersalah bisa menambah beban emosional, sehingga overthinking makin parah. Sebaliknya, orangtua bisa membantu dengan mengajarkan teknik sederhana untuk menenangkan pikiran. Sikap penuh empati jauh lebih efektif dibandingkan menyalahkan.

6. Gak memberi ruang aman untuk anak bercerita

ilustrasi ayah dan anak perempuan remaja (freepik.com/freepik)

Kesalahan lain yang sering terjadi adalah gak menyediakan ruang aman bagi anak untuk terbuka. Ada orangtua yang cepat memotong pembicaraan, ada juga yang sibuk menghakimi sebelum anak selesai bercerita. Hal ini membuat remaja merasa percuma jika mereka mengungkapkan isi hati. Akhirnya, mereka memilih memendam segalanya sendiri.

Padahal, ruang aman sangat penting agar anak bisa mengeluarkan beban pikirannya. Orangtua perlu menunjukkan bahwa rumah adalah tempat paling nyaman untuk bercerita. Cukup hadir, mendengarkan dengan penuh perhatian, dan memberikan respon yang hangat. Dengan begitu, anak bisa merasa lebih tenang dan perlahan belajar menghadapi overthinking-nya.

Overthinking pada remaja bukan hal sepele yang bisa diabaikan begitu saja. Jika orangtua salah menyikapi, anak bisa merasa makin terjebak dalam pikirannya dan sulit keluar dari lingkaran cemas. Enam kesalahan di atas sering kali dilakukan tanpa sadar, padahal dampaknya cukup besar bagi kesehatan mental remaja.

Dengan menghindari sikap meremehkan, membandingkan, atau menyalahkan, orangtua bisa lebih bijak mendampingi anak. Yang dibutuhkan remaja adalah didengarkan, divalidasi emosinya, serta diberi ruang aman untuk mengekspresikan diri. Saat orangtua mampu menjadi tempat yang nyaman, anak akan lebih kuat dalam menghadapi overthinking dan tumbuh dengan kesehatan mental yang lebih baik.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team