ilustrasi anak melihat poster (pexels.com/cottonbro studio)
Literasi dini seharusnya penuh dengan aktivitas bermain, bukan seperti pelajaran sekolah yang serius. Namun sayangnya, banyak orang tua yang membuat sesi belajar membaca jadi sangat formal dan penuh tekanan. Duduk tegak, harus tenang, gak boleh bercanda, semua aturan itu malah membuat anak merasa gak nyaman. Padahal, bermain adalah bahasa utama anak usia dini untuk belajar dan memahami dunia.
Anak bisa belajar mengenal huruf lewat pasir, membentuk alfabet dari playdough, atau bermain tebak-tebakan huruf sambil bernyanyi. Aktivitas seperti ini jauh lebih efektif untuk membangun pemahaman jangka panjang dibanding metode hafalan kaku. Dengan pendekatan bermain, anak merasa proses belajar adalah bagian dari kesenangan, bukan tugas berat. Ini akan memperkuat keterikatan emosional anak terhadap aktivitas membaca dan menulis.
Mengajarkan early literacy pada anak bukan tentang seberapa cepat ia bisa membaca, tapi seberapa besar ia mencintai membaca. Kesalahan umum seperti memaksa, membandingkan, atau terlalu fokus pada teknis bisa berdampak negatif dalam jangka panjang. Yang terpenting adalah menciptakan suasana menyenangkan, menumbuhkan rasa cinta terhadap buku, dan memberi ruang pada proses alami anak. Jangan terburu-buru, karena literasi yang baik tumbuh dari pengalaman positif, bukan tekanan.
Kalau parents bisa menghindari enam kesalahan ini, proses belajar membaca akan jadi pengalaman yang menyenangkan dan membekas sepanjang hidup anak. Hal tersebut jauh lebih berharga daripada sekadar bisa membaca di usia yang lebih cepat dari anak lain.