Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi bullying
ilustrasi bullying (pexels.com/cottonbro studio)

Intinya sih...

  • Perundungan dapat terjadi karena perlakuan orangtua di rumah. Pahami terlebih dahulu penyebabnya!

  • Budaya anti kekerasan harus dipahami oleh semua pihak, terlebih keluarga

  • Mengentaskan perundungan bagi korban dan pelaku, bagaimana orangtua harus bersikap?

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kasus perundungan kian santer terdengar. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman untuk mengembangkan bakat dan potensi siswa, tak ayal menjerat anak dengan kasus perundungan.

Setidaknya riset Kemendikbudristek 2022 mengungkap terdapat 36,31 persen siswa berpotensi mengalami bullying, sementara yang melapor hanya 13,54 persen. Angka tersebut mungkin hanya mewakili sebagian dari kasus perundungan yang dialami siswa di Indonesia.

Pengentasan perundungan menjadi upaya kolektif bagi seluruh lapisan masyarakat, keluarga, sekolah, maupun pihak lainnya. Namun secara spesifik, bagaimana cara yang bijak untuk membangun ketahanan keluarga setelah anak terlibat dalam kasus perundungan di sekolah?

Sebab, keluarga memiliki peran yang esensial pasca terjadinya kasus perundungan yang menimpa anak. Setelah mengalami momen yang traumatik, keluarga seyogianya menjadi ruang aman untuk berbagi dan memberikan pengarahan terkait kasus yang menimpanya. Namun, kesalahan dalam menyikapi kejadian yang diderita justru dapat menjeratnya dalam pilu yang lebih dalam.

1. Perundungan dapat terjadi karena perlakuan orangtua di rumah. Pahami terlebih dahulu penyebabnya!

ilustrasi bullying (pexels.com/Keira Burton)

Perilaku bullying terbentuk karena adanya pengaruh lingkungan, tempat anak tersebut tumbuh. Keluarga, sebagai lingkungan pertama dan terdekat bagi anak, memiliki peran menanamkan nilai kehidupan, memberikan rasa aman, serta membangun keterampilan dalam mengatasi masalah.

Sayangnya, anak yang tumbuh dalam dysfunctional family meningkatkan risiko untuk terlibat dalam tindakan agresif. Komunikasi dan kedekatan antar anggota keluarga yang tidak terjalin dengan baik, membuat kebutuhan emosional tidak terpenuhi. Kondisi ini dapat diperparah dengan pola pengasuhan yang tidak tepat.

Menurut psikolog Arfilla Ahad Dori, M.Psi, anak dari orangtua dengan pengasuhan otoriter dan permisif cenderung terlibat dalam kasus perundungan. Sikap yang keras, penuh kontrol, dan minim empati dapat membentuk persepsi pada anak bahwa kontrol dan paksaan adalah cara untuk menguasai seseorang. Kemudian, ia menerapkan pola tersebut kepada orang lain.

Anak yang tumbuh dengan pengasuhan otoriter dapat memendam emosi dan stres, suatu saat nanti bisa muncul keinginan untuk melampiaskan emosinya ke sekitarnya. Sikap orangtua yang selalu memberikan kontrol penuh dan kurang komunikasi juga menciptakan karakter tidak percaya diri, tidak bisa mengambil keputusan, dan cenderung pasif. Sehingga ketika temannya menganggu, anak tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan diri.

Sebaliknya, penerapan pola pengasuhan permisif dimana anak diberi kebebasan dan minim batasan, juga dapat menciptakan pribadi yang tidak paham aturan dan merasa benar karena keinginannya selalu terpenuhi. Arfilla menekankan, bullying tidak terjadi karena karakteristik korban, melainkan karena kesalahan pelaku. Setiap kasus perundungan, pihak yang bersalah adalah pelaku dan kita harus berpihak pada korban.

2. Budaya anti kekerasan harus dipahami oleh semua pihak, terlebih keluarga

Ilustrasi Bullying (pexels.com/Yan Krukau)

Setelah anak terlibat dalam kasus perundungan, baik sebagai korban maupun pelaku, Arfilla memberikan sejumlah langkah sebagai solusi. Bagi keluarga, bangun kembali pola pengasuhan yang sehat, di mana terdapat aturan yang tegas namun tetap empati. Pahami perasaan anak, jalin komunikasi yang terbuka, di mana anggota keluarga mendengarkan dan berdiskusi dua arah.

Selain itu, orangtua juga perlu untuk menerapkan value positif atau nilai moral, dan membangun personal skill yang dapat menunjang hubungan sosial. Seperti menghargai serta menyikapi perbedaan, menghormati orang lain, mengelola emosi, menyelesaikan konflik dan masalah, menyampaikan perasaan dengan baik.

"Melengkapi diri dengan pemahaman tentang bullying secara meyeluruh. Kalau orangtuanya saja tidak paham detail tentang bullying, bagaimana mau mengajarkan pada anak dan mengadvokasi jika anak terlibat kasus bullying," jelas Arfilla.

Budaya anti kekerasan harus ditanamkan dalam diri anak. Sebab, ia belajar dari lingkungan sekitarnya, apa yang ditunjukkan dari lingkungan tempat dia tumbuh, itulah yang diserap dan terinternalisasi menjadi value hidupnya, terutama keluarga sebagai agen terkecil dan terdekat.

3. Mengentaskan perundungan bagi korban dan pelaku, bagaimana orangtua harus bersikap?

ilustrasi bullying (pexels.com/cottonbro studio)

Sejumlah teori menyebut pelaku perundungan merupakan individu dengan keterampilan sosial dan harga diri yang rendah. Anak yang melakukan perundungan cenderung berpikir bahwa melakukan tindak kekerasan atau perilaku agresif, dapat menghasilkan membuatnya diterima oleh teman sebaya. Pandangan ini dipaparkan dalam jurnal Psychology, Health and Medicine berjudul "Bullying in schools: the state of knowledge and effective interventions".

Menurut riset yang dilakukan oleh jurnal di atas, korban perundungan dengan masalah internalisasi maupun eksternalisasi semakin berisiko menjadi korban pendungan. Masalah internalisasi seperti depresi, kecemasan, dan rendahnya harga diri. Selain itu, ia juga mengalami kesulitan interpersonal, seperti penolakan dari teman sebaya, rendahnya penerimaan sosial, memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki teman, serta kualitas pertemanan yang negatif.

Arfilla menyebut, jika anak menjadi korban perundungan hal yang terpenting untuk dilakukan adalah memberi dukungan psikologis. Orangtua dapat mengarahkan anak untuk melakukan konseling dengan ahli, misalnya psikolog. Ketika mengetahui anak menjadi korban perundungan, maka langkah yang dapat dilakukan adalah memahami kasus yang menimpanya.

"Pahami konteks kejadian secara lengkap, dari berbagai sudut pandang, dan tidak menyudutkan anak. Orangtua juga harus memperjuangkan hak anak dengan cara yang tepat, tidak terbawa emosi berlebihan hingga melakukan tindakan yang akan semakin merugikan diri sendiri dan anak," imbuh Arfilla.

Di sisi lain, ketika mengetahui bahwa anak menjadi pelaku perundungan, orangtua tidak perlu bersikap defensif, seperti menolak kritik, membela anak secara berlebihan, dan menyalahkan pihak lain. Pada tahap ini, orangtua sebaiknya berbesar hati untuk meminta maaf, berbenah dalam pola pengasuhan yang mungkin keliru, dan fokus memberi pendampingan pada anak agar ia tidak mengulang perilaku yang negatif.

"Bertanggung jawab sepenuhnya, baik pada proses penegakan aturan di sekolah maupun secara hukum. Bicaralah dari hati ke hati dengan anak agar paham konteks kejadian dan motif anak melakukan hal tersebut, termasuk apa yang anak rasakan selama ini terhadap diri dan orangtuanya," imbuhnya.

Perilaku perundungan tak hanya mengguncang mental anak, namun juga mampu memproyeksikan sikap anak menjadi sosok agresif. Jika mengetahui anak terlibat dalam kasus bullying, seyogiyanya keluarga menjadi tempat untuk membangun dan memulihkan diri isu tersebut.

Editorial Team