Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Alasan Anak Jadi Pelaku Bullying, Pola Asuh Orangtua Berperan

ilustrasi tindakan bullying
ilustrasi tindakan bullying (pexels.com/Mikhail Nilov)
Intinya sih...
  • Pola asuh orangtua memengaruhi perilaku anak
  • Pelampiasan dendam dari luka masa lalu menjadi alasan pelaku bullying
  • Kurang mendapatkan perhatian juga dapat membuat anak melakukan bullying
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kasus bullying atau perundungan semakin sering terjadi belakangan ini, termasuk di Indonesia. Mulai kasus bullying di tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi yang viral di media sosial hingga berita nasional. Biasanya, fokus masyarakat tertuju pada korban. Padahal, ada hal penting yang sering terlupakan yaitu pelaku.

Mengapa anak jadi pelaku bullying? Faktanya, pelaku bullying sering kali menyimpan luka yang mungkin tidak bisa terlihat oleh mata. Untuk itu, di artikel ini akan membahas alasan di balik anak menjadi pelaku bullying agar kita bisa mencegahnya sejak dini.

1. Pengaruh pola asuh orangtua kepada anak

ilustrasi orangtua dan anak
ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Pola asuh punya peran besar dalam membentuk perilaku anak. Menurut Verywell Mind, cara orangtua mendisiplinkan anak, mengekspresikan emosi, hingga berinteraksi sehari-hari akan membentuk perilaku si kecil. Ini terlihat ketika orangtua terlalu keras dalam mengasuh si kecil.

Menurut studi mengenai Parenting styles, empathy and aggressive behavior in preschool children: an examination of mediating mechanisms (2023), menyampaikan pola asuh otoriter terbukti berkorelasi positif dengan meningkatnya perilaku agresif pada anak.

Dikhawatirkan, anak bisa memendam rasa marah dan ketidaknyamanan. Bahkan hasil studi tersebut menegaskan, anak dengan rendahnya empati lebih rentan menunjukkan perilaku agresif. Artinya, gaya asuh yang kurang tepat bisa menurunkan empati anak dan memicu munculnya perilaku bullying.

2. Pelampiasan dendam dari luka masa lalu

ilustrasi bullying di sekolah
ilustrasi bullying di sekolah (pexels.com/Mikhail Nilov)

Tidak heran, jika pelaku bullying dulunya adalah korban bullying juga. Dilansir laman Health Direct menjelaskan bahwa sebagian besar pelaku melampiaskan rasa sakit hati di masa lalu dengan menindas orang lain yang dianggap lebih lemah. Begitu anak tersebut merasa punya kekuatan atau pengaruh sosial lebih besar. Anak yang dulu tidak berani melawan saat dirundung, bisa jadi ingin membalas di masa depan kepada orang lain. Jika tidak ada penanganan atau edukasi empati sejak dini, siklus ini akan terus berulang dan tidak akan selesai. Dari korban menjadi pelaku, lalu menimbulkan korban baru kembali.

3. Kurang mendapatkan perhatian

ilustrasi bullying di sekolah
ilustrasi bullying di sekolah (pexels.com/Mikhail Nilov)

Alasan berikutnya adalah anak yang kurang mendapatkan perhatian. Ini karena anak yang merasa diabaikan kemungkinan akan mencari perhatian dengan cara negatif. Bukan karena mereka jahat, tapi karena mereka merasa tidak terlihat.

Dilansir laman Health Direct, menjelaskan bahwa anak yang tidak mendapat perhatian emosional sering kali berusaha mencari pengakuan dengan cara yang salah. Termasuk dengan mendominasi atau menyakiti orang lain seperti bullying. Ketika perhatian positif seperti pujian atau dukungan sulit didapat, mereka bisa memilih perilaku ekstrem seperti bullying demi mendapat pengakuan.

4. Ingin dianggap jagoan

ilustrasi ingin terlihat jagoan di sekolah
ilustrasi ingin terlihat jagoan di sekolah (pexels.com/Mikhail Nilov)

Di lingkungan sekolah, status sosial punya pengaruh besar. Terlihat pada anak-anak yang ingin dianggap keren, kuat, atau berpengaruh sering kali melakukan bullying demi mendapatkan validasi dari teman-temannya.

Berdasarkan studi mengenai How Does Bullying Happen in Elementary School? (2022) menyampaikan, anak yang merasa lebih kuat atau jagoan di sekolah menjadi pelaku bullying.

Dilansir laman Better Help menambahkan, pelaku bullying sering mencari kekuasaan sosial dan ingin dipandang sebagai pemimpin suatu kelompok, meskipun dengan cara yang salah. Sayangnya, tindakan ini justru menciptakan lingkungan tidak sehat dan tidak nyaman di lingkup sekolah.

5. Terbiasa dengan kekerasan

ilustrasi berkelahi di sekolah
ilustrasi berkelahi di sekolah(pexels.com/Mikhail Nilov)

Tumbuh di lingkungan penuh kekerasan sangat berpengaruh pada anak, sebab mereka meniru perilaku yang dilihatnya. Baik itu menyaksikan pertengkaran di rumah, sering berkelahi, atau menonton konten bermuatan kekerasan di media sosial. Semua hal tersebut dapat berpengaruh ketika anak menyelesaikan sebuah konflik.

Berdasarkan World Health Organization atau WHO (2024) menyebutkan bahwa, paparan kekerasan secara berulang dapat menurunkan empati dan meningkatkan agresivitas pada anak. Inilah sebabnya, penting bagi orangtua untuk mengawasi konten yang dikonsumsi anak dan mencontohkan cara menyelesaikan masalah secara damai.

Mulai dari pengaruh pola asuh, pelampiasan dendam, kurang perhatian, dan ingin mendapatkan validasi dari orang lain bisa membuat anak jadi pelaku bullying. Sebagai orangtua harus lebih peduli lagi terhadap tumbuh kembang anak, agar anak tidak menjadi pelaku bullying di masa depan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us

Latest in Life

See More

5 Kursus Online Paling Berguna untuk Bangun Bisnis Sendiri

02 Nov 2025, 23:01 WIBLife