Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
s-media-cache-ak0.pinimg.com

Artikel ini merupakan karya tulis peserta kompetisi storyline "Mahakarya untuk Ayah dan Ibu" yang diselenggarakan oleh IDNtimes dan Semen Gresik. 


Masih tersimpan rapi dalam impresi. Dedikasi dan cinta kasih ayah-ibuku. Merelakanku, anak semata wayangnya untuk bertolak diri menggapai ambisi. Mengikhlaskan segala kehampaan diri atas celotehku, kemanjaanku, tangis-tawa bersamaku, dan sederet memori yang hanya menjadi sebuah ilusi.

***

Kita tahu, waktu tidak akan menunggu. Kita mungkin bisa menunda, tapi sekali lagi, waktu tidak akan menunggu. Sejak menginjak bangku sekolah dasar, aku tinggal di perantauan. Kurang lebih sembilan puluh kilometer dari desaku. Pendidikan yang progresif disana menjadi alasan utamanya. Hidup adalah tentang pilihan. Aku memilih jalan itu karena ambisiku yang terlanjur kokoh tak tertandingi. Arsitek. Impian yang ingin kugapai sejak aku diperkenalkan dengan pamanku.

Ya, tiap malam aku selalu terbayang-bayang wajah pamanku yang telah berhasil menjadi seorang arsitek. Paman Achmad Noe’man namanya. Beliaulah yang membangun Masjid Salman di ITB, yang sengaja dirancang tanpa kubah guna mengurangi adanya tiang penopang agar tidak mengganggu barisan shaf sholat. Sebuah inovasi yang sangat menginspirasi.

Pun dengan Masjid At-Tiin di Jakarta, Masjid Soeharto di Bosnia, bahkan Masjid Syekh Yusuf di Afrika Selatan. Beliau juga berkontribusi besar atas terbangunnya masjid-masjid tersebut dan masjid-masjid lain yang belum tersebutkan.

***

Empat April lalu, keluarga kami berduka atas berpulangnya Paman Noe’man. Sebuah gertakan dalam diri untuk terus melanjutkan estafet dedikasi Paman untuk membangun negeri. berkobar semangat dalam diri untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi semesta dan seisinya. Yang mampu melukis senyuman dan menghapus kehampaan di wajah ayah-ibu yang selama ini kutinggalkan demi mengenyam pendidikan.

Sore itu, saat hendak berpamitan untuk kembali ke perantauan. Kubisikkan sepatah kata sambil menyeka air mata di pipi mereka.

Ayah, ibu, tunggulah nanti hasil rajutan keikhlasan dan pengorbananmu selama ini. Jangan ragu melepas merpati terbaikmu, karena yang terbaik akan selalu pulang. Biarkan merpatimu merasakan rasa hujan dan rasa panas yang teramat terik. Agar dia dapat menjadi merpati tangguh, kokoh tak tertandingi. Akan kubawakan sebuah mahakarya sederhana dariku nantinya. Semoga.

Saat itu, hanyalah tangis haru yang tergambar dari wajah mereka. Diam tanpa kata. Lambaian tangan dan senyuman akhirnya mengakhiri perjumpaan kala itu. Berat rasanya. Tapi, inilah pilihan. Sepuluh menit sebelum keberangkatan kereta, handphoneku bergetar. Pesan singkat dari ibuku.

Terbanglah merpatiku. Mungkin inilah waktunya melepas merpati kecilku untuk leluasa mengelilingi semesta. Bersua dengan angin dan debu-debu yang mengiringinya. Lalu belajar menyeka wajahnya sendiri. Merpatiku tidak akan lupa jalan untuk pulang. Ia tahu kapan waktunya untuk kembali. Terbanglah indah dengan elok sayapmu. Hati-hati di jalan, nak. Di luar sana terlalu banyak pemangsa berbahaya. Gapailah awan indah di bumantara dan pulanglah dengan segera.

Dari sangkar yang selalu merindukanmu.

Sejenak tertegun membacanya. Kode manis voiceover stasiun lantas menyuruhku untuk segera naik ke gerbong kereta.

***

Di kota kembang ini, perjuanganku dimulai. Disini aku melihat miniatur dunia. Disini pula aku bermetamorfosis menjadi seorang yang lebih dewasa. Tidak hanya ilmu yang kupelajari. Namun juga tentang kegagalan, tentang cara bangkit untuk menggapai rasian diri, mimpi kokoh yang mengandung arti. Belajar tentang memeluk kegagalan sebagai kawan menuju bukit-bukit kesuksesan. Inilah tempat yang tak pernah jeda menghadirkan cerita. Tempat di mana banyak imaji tersaji. Belajar siang-malam, aktivitas yang membuat lelah seisi pikiran, dan deretan cerita klasik para pejuang ilmu.

Di sini, akupun berhasil belajar bagaimana mencapai pos-pos yang terus mengantarkanku meraih impian. Dengan diiringi doa dan ridha kedua orang tua, akhirnya aku berhasil memperoleh gelar sarjana teknik bidang arsitektur dari salah satu megakampus di Indonesia.

***

Merpati ibu tidak akan lupa jalan untuk pulang. Sekarang tibalah saatnya untuk kembali ke sarang. Dalam mengimplementasikan disiplin ilmu yang telah kudapat, Kubangunkan sebuah panti asuhan di samping rumah untuk menemani hari-hari ayah ibuku yang selama ini hampa tanpa tangis tawa anak kecil.

Editorial Team

EditorSYAFIRA