Mana yang Lebih Dulu, Nafkah Istri atau Ibu? Ini Jawabannya!

Masalah mengenai prioritas nafkah antara istri dan ibu sering kali menjadi dilema bagi banyak pria. Dalam Islam, baik nafkah untuk istri maupun ibu memiliki dasar hukum dan moral yang kuat, dapat menimbulkan kebingungan tentang mana yang harus didahulukan.
Mengingat pentingnya memenuhi kewajiban terhadap istri serta berbakti kepada ibu, pertanyaan mengenai prioritas nafkah ini sering kali menimbulkan dilema. Untuk memahami lebih jelas tentang mana yang seharusnya diprioritaskan antara menafkahi istri atau ibu, simak penjelasan lengkapnya dalam artikel ini.
1. Urutan prioritas nafkah dalam Islam

Dalam Islam, urutan prioritas nafkah diatur berdasarkan kebutuhan dan hubungan keluarga yang paling mendasar. Dikutip NU Online, berdasarkan hadis HR Muslim, Abu Dawud dan An-Nasa‘i, Rasulullah saw bersabda:
“Mulailah dengan dirimu sendiri, nafkahkan untuknya, lalu jika ada suatu lebihan, maka nafkahkan untuk istrimu. Jika dari nafkah istrimu ada suatu lebihan, maka nafkahkan untuk kerabatmu. Jika dari nafkah kerabatmu ada lebihan sesuatu, maka nafkahkan untuk ini dan itu.”
Dalam hadis tersebut, diuraikan bahwa urutan prioritas dalam memberikan nafkah (atau sedekah) adalah sebagai berikut: pertama, untuk diri sendiri; kedua, untuk istri; dan ketiga, untuk kerabat. Menurut penjelasan dari Al-Hafizh Al-Munawi dan Imam As-Syafi’i, kerabat dalam hadis ini termasuk orang tua dan anak, sementara ulama lain mungkin mencakup lebih banyak kategori. Dengan demikian, nafkah untuk istri lebih diprioritaskan daripada nafkah untuk ibu yang termasuk dalam kategori kerabat.
2. Kewajiban menafkahi istri

Berdasarkan prinsip mu’awadhah, nafkah istri merupakan kewajiban utama suami, yaitu sistem timbal balik antara ketaatan istri dan nafkah yang diberikan oleh suami. Prinsip ini menegaskan bahwa nafkah istri harus didahulukan daripada nafkah kerabat, termasuk ibu, karena nafkah istri adalah kewajiban langsung yang berhubungan dengan kebutuhan dasar dalam rumah tangga, sedangkan nafkah kerabat lebih bersifat kepedulian atau muwasah.
Kewajiban nafkah istri juga diprioritaskan karena kebutuhan suami terhadap istri dianggap sama pentingnya dengan kebutuhan dirinya sendiri. Sementara itu, mengenai nafkah ibu, meskipun juga penting, lebih terkait dengan hubungan kekerabatan dan ibadah. Hal ini dijelaskan oleh Muhammad Najib Al-Muthi’i, Takmilatul Majmu’, [Jeddah, Maktabah Al-Irsyad), juz xx, halaman 196 :
“Sungguh nafkah istri didahulukan daripada nafkah kerabat (termasuk ibu), karena nafkah istri menjadi wajib sebab adanya kebutuhan suami terhadap istri, sementara nafkah kerabat (termasuk ibu) merupakan muwasah (kepedulian terhadap kerabat)."
3. Fatwa Imam An-Nawawi tentang pilih istri atau ibu

Dalam situasi di mana seorang pria harus memilih antara memenuhi kewajiban terhadap istri atau ibu, ia menghadapi dilema yang kompleks. Islam mengajarkan pentingnya berbuat baik kepada kedua orang tua, sebagaimana tertulis dalam Al-Qur'an dan Hadis, seperti dalam Surat Luqman ayat 14 yang menggarisbawahi bakti kepada orang tua.
Selain itu, hadis dari Abu Hurairah juga menyebutkan ibu sebagai orang yang paling berhak mendapat perlakuan baik. Namun di sisi lain, Islam juga menetapkan kewajiban nafkah terhadap istri, sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 233, yang mewajibkan suami memberikan makan dan pakaian yang layak.
Dalam kondisi seperti ini, Imam An-Nawawi menyarankan, jika seseorang harus memilih, ia boleh mengutamakan nafkah istri asalkan kewajiban nafkah terhadap ibu tetap terpenuhi, jika ibu tersebut adalah orang yang berhak menerima nafkah. Hal ini sejalan dengan prinsip tariqhatul jam‘i, yaitu cara menggabungkan kedua kewajiban tersebut tanpa mengabaikan salah satu. Meskipun demikian, penting bagi suami untuk menjaga perasaan ibunya dan, jika perlu, menyembunyikan prioritas ini untuk menghindari perasaan tersinggung dari ibu.
Demikianlah Islam membimbing agar kedua kewajiban ini bisa dipenuhi dengan seimbang. Memberi prioritas pada nafkah istri dalam konteks keuangan sambil tetap menjaga hubungan baik dengan ibu. Dengan memahami prinsip-prinsip fiqh dan melibatkan empati dalam keputusan sehari-hari, seorang muslim dapat mengelola kewajiban ini dengan adil.