ilustrasi keluarga besar (pexels.com/Craig Adderley)
Istilah-istilah dalam trah leluhur tersebut mencerminkan penghargaan yang dalam terhadap leluhur dan silsilah keluarga yang telah memberikan landasan bagi kehidupan masa kini. Dimulai dari ‘Mbah Buyut’ yang merupakan generasi ketiga dari trah leluhur. Kemudian, Mbah Canggah merujuk pada generasi keempat, di mana peran mereka dalam mewariskan kearifan lokal sangat penting.
Mbah Wareng adalah istilah untuk generasi kelima, yang juga dianggap sebagai penjaga tradisi dan kearifan lokal. Sedangkan Mbah Udheg-Udheg adalah generasi keenam yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dalam hierarki keluarga dan trah leluhur. Mbah Gantung Siwur merupakan istilah untuk generasi ketujuh, yang masih dihormati dan dianggap memiliki pengaruh spiritual yang kuat.
Sementara itu, Mbah Gropak Senthe dan Mbah Debog Bosok adalah istilah untuk generasi delapan dan sembilan, yang tetap dihormati meskipun jarak generasi semakin jauh. Mbah Galih Asem, Mbah Gropak Waton, dan Mbah Cendheng menjadi istilah yang merujuk pada generasi kesepuluh hingga keduabelas yang dianggap sebagai penjaga nilai-nilai tradisional dan moral dalam keluarga.
Mbah Giyeng, Mbah Cumpleng, dan Mbah Ampleng adalah istilah untuk generasi ketigabelas hingga kelimabelas, yang tetap dihormati dan dianggap memiliki pengaruh dalam kehidupan keluarga. Sedangkan Mbah Menyaman dan Mbah Menya-menya adalah istilah untuk generasi keenambelas dan ketujuhbelas, yang dihormati sebagai bagian integral dari silsilah keluarga.