#MahakaryaAyahIbu: Rengkuh Cita Keluarga, Mimpi Seorang Anak Korban Penggusuran Rumah di Jakarta

Sisi lain realitas penggusuran di Jakarta.

Artikel ini merupakan karya tulis peserta kompetisi storyline "Mahakarya untuk Ayah dan Ibu" yang diselenggarakan oleh IDNtimes dan Semen Gresik. 


Terlihat rumah-rumah semi permanen di kawasan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan. Beberapa warga terlihat sedang membongkar sebagian rumahnya. Di sisi yang lain terlihat pula sebagian warga yang sedang mengais besi-besi yang dapat dijual kembali. Namun, yang begitu menyita perhatianku adalah sebuah alat berat becho yang digunakan untuk menghantam dinding dan atap rumah warga hingga rata dengan tanah. Suasana panas dan teriknya matahari semakin menambah riuh dan gaduhnya warga masyarakat.

Puluhan petugas satuan polisi pamong praja yang juga dijaga aparat TNI dan Polri ikut mengamankan aksi penggusuran. Aku melihat dan mendengar dari kejauhan teriakan dan luapan kemarahan warga, tangisan ibu-ibu, dan ratapan anak-anak kecil yang kehilangan tempat tinggal mereka. Aku berlari dan melihat secara dekat proses penggusuran tersebut. Dalam hatiku berkata “hancur, benar-benar hancur”. Aku menyapu pandangan sekeliling dan mulai mencari “dimanakah kau Ayah dan Ibu”?  Terlihat dari sisi ujung kompleks pemukiman padat di Bukit Duri, tepatnya di pinggiran Kali Ciliwung, di sanalah mereka terduduk memandangi dengan penuh lesu penggusuran rumah mereka.

Aku menghampiri mereka lalu ibu berkata sambil menangis, “Jangankan mengharapkan rumah kokoh dan kuat, rumah paling sederhana saja kini kita tak punya nak”.

Aku meneteskan air mata dan sudah kuduga sejak awal bahwa, 1 dari 97 rumah yang digusur adalah rumahku. Ayah berkata, “Sudahlah bu, jangan menangis mau bagaimana lagi semua sudah rata dengan tanah, mari kita rapikan dan cari sisa besi-besi dan perabotan”.

Ayah mengangkat sejumah barang-barang seperti kasur, lemari, dan perabotan rumah tangga lain. Kemudian ayah memanggilku, “Sini bantuin dulu angkat ini berat”.

dm-player

"Iya...iya...iya", jawab aku dengan segera.

Kondisi warga yang lain pun sama seperti ku. Kini mereka tidak dapat bertahan karena, memang daerah tersebut seluruhnya sudah rata dengan tanah. Setelah peristiwa penggusuran tersebut kini keluarga kami memilih tinggal di salah satu kontrakan dekat sanak saudara di Jl. Puspa, Cenkareng Timur, Jakarta Barat, dengan biaya sewa Rp. 15.000.000/tahun. Untuk menopang perekonomian keluarga, di sekitaran pinggiran jalan Cengkareng Timur Ayah membuka usaha las atau tempat pembuatan pagar-pagar besi dan teralis baja karena ayah ahli dalam bidang itu. Sedangkan ibu memilih untuk berjualan sayur di pasar terdekat.

Melihat kerja keras mereka banting tulang untuk mencukupi kehidupanku sehari-hari, tidak tega rasanya jika aku mengatakan keinginan untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Tiba-tiba tukang pos datang ke kontrakan kami dan menyampaikan sebuah surat. Kebetulan yang menerima surat itu adalah ayah, sehingga ayahlah yang pertama kali mengetahui apa isi surat itu. Isi surat itu adalah sebuah undangan masuk ke salah satu perguruan tinggi negeri di Purwokerto, yang mengharapkan agar aku dapat mengikuti tes seleksi dan mendapatkan beasiswa untuk kuliah disana”.

Selepas aku pulang sekolah, ayah berkata “Kamu harus sukses nak, kerja keras, maju terus pantang menyerah, lanjutkan pendidikanmu, dan buat kami bangga”.

Aku terkejut, “maksud ayah apa?"

"Sudahlah terima surat ini dan bawa uang ini lalu kamu pergi ke Purwokerto dan kuliah di sana, kebetulan di sana adalah tempat kelahiran ayah dan kamu bisa bertemu sanak saudara ayah di sana" kata ayah sambil memberikan surat itu padaku.

Tanpa disangka uang hasil jerih payah ayah menjadi tukang las dan uang hasil jualan sayuran ibu berdagang, ternyata sengaja mereka sisihkan untuk bekal aku kuliah. Padahal sebenarnya uang tersebut dikumpulkan untuk membeli sebidang tanah dan membangun rumah di desa nanti. Semenjak saat itu aku bersumpah dalam hati,

Ketika aku sukses nanti akulah orang yang akan merengkuh kembali cita keluarga: membangun harapan setelah penggusuran melalui sebuah bangunan rumah yang kokoh, kuat dan tak tertandingi sebagai bukti mahakarya untuk keluarga tercintaku. Akulah anak korban penggusuran rumah di Jakarta yang memilih untuk bangkit dan berkembang demi masa depan keluarga yang gemilang. 

putrasejati Photo Writer putrasejati

Leadership | Idealis | Feeling | Funny | Perfectionist | Love Family

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya