Jakarta, IDN Times - Selalu ada yang pertama untuk setiap kejadian dalam hidup. Sama halnya dengan kisah yang akan diceritakan pada ulasan kali ini. Ya, sesuai dengan judul di atas, setiap inci dari kata yang diketik oleh jari jemari di atas laptop lawas ini akan menceritakan pengalaman pertama kali Ramadan tanpa sosok mamah.
Agak klise, karena pasti bukan hanya penulis yang mengalaminya. Namun, bagi penulis ini kenyataan pahit atas kehidupan yang baru pertama kali, cukup sekali, dan gak mau lagi dirasakan.
Rasa pahit getir, namun sedikit lega menjadi esensi Lebaran tahun 2025. Jika ada yang bertanya soal wujud anak durhaka, mungkin kalian bisa berpikir bila penulis salah satunya. Bagaimana tidak, disaat orangtua meninggal, justru aku merasa lega, walaupun sedih, dan teramat sedih.
Kesedihan yang meliputi diri bahkan gak bisa dibendung atau dihilangkan, sehingga berteman dengan rasa sedih ibarat janji manis yang dilempar oleh para calon pemangku kepentingan di jajaran pemerintahan. Tidak tahu kenyataannya seperti apa, palsu, tapi tetap harus dipilih dan dijalani.
Namun balik lagi, sesuai dengan judul ulasan di atas, kisah ini soal kali pertama menjalani Ramadan tanpa mamah, bukan menyoal isu politik yang kian gamblang membuat hati deg deg ser. Bagi sebagian orang, mamah mungkin jadi pusat dunia mereka. Aku pun demikian.
Oleh karenanya, kehilangan mamah di tahun 2024, belum genap setahun karena belum jatuh di bulan kepergiaannya, membuat dunia seolah runtuh. Ibaratnya, hidupku mirip dengan kapal yang berlayar di tengah laut, terombang-ambing akibat badai, namun tak memiliki nahkoda. Gak tahu harus berlayar ke arah mana.