Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Merindukan Gus Dur di Bulan Ramadan

Potret mantan Perdana Menteri Jepang Keizo Obuchi (kiri) dan Abdurrahman Wahid (kanan) (commons.wikimedia.org/Naikaku Sōri Daijin Kantei)
Intinya sih...
  • Gus Dur menorehkan kebijakan populis dan memperjuangkan kebebasan beragama serta hak minoritas di Indonesia.
  • Kebijakan libur sebulan penuh selama Ramadan memberikan nuansa berbeda bagi generasi milenial, diterapkan pada Ramadan 1999.
  • Sejarah kebijakan libur sekolah selama Ramadan sudah berlangsung lama, namun diubah saat pemerintahan Orde Baru untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran.

Menjadi Presiden Indonesia dalam periode singkat, Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur banyak menorehkan kebijakan populis yang dikenang sampai hari ini. Sebagai tokoh pluralisme dan demokrasi, Gus Dur punya visi besar menegakkan hak-hak masyarakat, terutama dalam konteks keberagaman beragama di Indonesia. Tak heran berbagai kebijakan yang memperjuangkan kebebasan beragama dan hak minoritas lahir dari tangannya.

Bagi generasi milenial yang mengalami masa sekolah di era tersebut, siapa yang bisa melupakan kenikmatan Ramadan saat itu? Kebijakan libur sekolah sebulan penuh selama Ramadan benar-benar memberikan nuansa berbeda. Tak ada bel pulang yang menginterupsi kantuk di siang hari dan tak ada PR yang harus dikerjakan sambil menahan lapar. Ramadan di era Gus Dur menjadi momen di mana anak-anak sekolah bisa benar-benar menikmati waktu bersama keluarga, memperdalam ilmu agama, dan belajar menjalani ibadah lebih khusyuk.

Damai Ramadan era Gus Dur

ilustrasi anak sekolah (pexels.com/Roman Odintsov)

Kebijakan libur sebulan penuh selama Ramadan yang diterapkan oleh Gus Dur bukan keputusan asal dibuat. Ada landasan kuat di baliknya, yakni keinginannya untuk memberikan kesempatan kepada siswa beragama Islam lebih fokus menjalani ibadah puasa dan mendalami ajaran agama. Gus Dur percaya bahwa pendidikan bukan hanya tentang akademik semata, tetapi juga tentang pembentukan karakter dan pemahaman spiritual.

Kebijakan ini mulai diterapkan pada Ramadan 1999, tidak lama setelah Gus Dur dilantik sebagai Presiden Indonesia ke-4. Saat itu, Ramadan berlangsung pada Desember. Selain memberikan waktu bagi siswa untuk belajar agama secara lebih mendalam, kebijakan ini juga mendorong sekolah-sekolah untuk menyelenggarakan pesantren kilat sebagai bagian dari kegiatan Ramadan. 

Namun, menurut Dosen Psikologi Pendidikan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yuli Fajar Susetyo, kebijakan Gus Dur terkait libur selama Ramadan tersebut bisa terjadi karena bertepatan dengan momen libur setelah ujian sekolah pada Desember.

“Ini yang masyarakat lupa, di era Gus Dur itu kan Ramadannya pas bulan Desember. Kita juga tahu, ya, kalau bulan Desember itu anak-anak liburan sekolah,” ujar Yuli seperti dikutip nu.or.id

Libur sekolah selama Ramadan adalah warisan Belanda yang dihentikan pada zaman Soeharto

potret Soeharto (kiri), Emha Ainun Nadjib (tengah), dan Abdurrahman Wahid (kanan) (commons.wikimedia.org/CakNunDotCom)

Sejarah kebijakan libur sekolah selama Ramadan sebenarnya sudah berlangsung lama, jauh sebelum era Gus Dur. Pada zaman kolonial Belanda, sekolah-sekolah pribumi diberi kebijakan libur penuh selama Ramadan untuk menghormati mayoritas siswa yang beragama Islam. Tradisi ini kemudian diteruskan oleh pemerintahan Indonesia setelah kemerdekaan di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno.

Namun, semua berubah ketika Presiden Soeharto berkuasa. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Presiden Soeharto, Daoed Joesoef, mengubah aturan tersebut. Melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0211/U/1978, pemerintah Orde Baru menghapus libur sekolah sebulan penuh saat Ramadan. Alasan yang dikemukakan adalah untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran dan menghindari penurunan kualitas pendidikan. Pemerintahan saat itu menganggap libur sekolah selama Ramadan termasuk warisan upaya pembodohan dari kolonial kepada masyarakat Hindia-Belanda yang mayoritas beragama Islam. Inilah mulanya libur Ramadan dipangkas menjadi hanya beberapa hari menjelang dan setelah Idul Fitri.

Merindukan sang bapak pluralisme Indonesia

potret bendera Indonesia (pixabay.com/Reinaldoreinhart)

Dalam periode kepemimpinan yang sangat singkat, Gus Dur tak hanya dikenal karena kebijakan libur sekolah saat Ramadan. Sebagai tokoh pluralisme, ia mengambil berbagai langkah berani untuk menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Salah satu kebijakan paling monumental yang ia buat adalah pencabutan larangan perayaan Imlek melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000. Sebelumnya, selama era Soeharto lewat Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, perayaan Imlek hanya boleh dilakukan secara tertutup. Kebijakan Gus Dur ini mengembalikan hak komunitas Tionghoa untuk merayakan budaya dan agama mereka secara terbuka.

Selain itu, Gus Dur juga mengakui kembali Konghucu sebagai agama resmi di Indonesia setelah sebelumnya sempat dihapus dari daftar agama yang diakui negara. Ia juga membubarkan Departemen Penerangan yang pada masa itu digunakan sebagai alat propaganda pemerintah dan kontrol terhadap kebebasan pers. Kebijakan-kebijakan ini mencerminkan komitmen Gus Dur terhadap demokrasi dan kebebasan beragama yang hari ini layak untuk dirindukan kembali.

Damai Ramadan era Presiden Abdurrahman Wahid yang sangat singkat itu masih terasa melekat. Warisan Gus Dur dalam membangun bangsa yang lebih inklusif dan sejuk terus hidup dalam ingatan. Ia mewarnai sejarah reformasi yang kala itu sedang ranum-ranumnya dirayakan. Meski kecil, ingatan itu harus tetap tumbuh dan terawat subur. Apalagi, ketika dewasa ini reformasi sedang banal dikebiri.  

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ernia Karina
Kidung Swara Mardika
Ernia Karina
EditorErnia Karina
Follow Us