Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ramadan Berselimut Duka: Antara Musibah dan Anugerah

ilustrasi masjid (unsplash.com/@photosimon)

Ramadan sedah semestinya menjadi momen paling spesial bagi semua umat muslim di seluruh penjuru dunia. Bulan suci Ramadan selalu menjadi momentum bagi umat muslim untuk berlomba-lomba meningkatkan ibadah, berbuat kebaikan, serta melakukan refleksi diri. Di bulan yang penuh ampunan ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk berlomba-lomba meraih keberkahan dan mingkatkan ketakwaan. 

Akan tetapi, pengalaman Ramadan kali ini bisa dibilang cukup berat bagiku. Ada beberapa cerita duka yang mewarnai Ramadanku kali ini. Cukup rumit untuk aku utarakan, karena seperti mengorek sebuah luka di dada yang masih belum sembuh. Meski begitu, akan aku coba ceritakan melalui cerita Ramadanku kali ini. Siapa tahu, ini juga bisa jadi sarana bagiku untuk merefleksikan diri. 

1. Melewati Ramadan yang kelabu di rumah sakit

ilustrasi operasi di rumah sakit (unsplash.com/@gpiron)

Bukan aku yang jatuh sakit, melainkan adalah bapakku sendiri. Tak pernah terbayangkan bahwa aku harus melewatkan hampir separuh Ramadan tahun ini di rumah sakit. Bapakku yang selama ini kami kenal sebagai sosok gagah dan sehat, tiba-tiba jatuh sakit dan harus dioperasi. 

Suatu hari, di minggu kedua bulan Ramadan, Bapak mengeluh di area perut bagian belakang terasa sakit. Ia mengira sakit batu ginjalnya kambuh. Aku sudah berniat untuk membawanya ke rumah sakit. Namun, belum sempat aku bersiap-siap Bapak jatuh pingsan duluan dan aku harus lari terbirit-birit meminta pertolongan pada tentangga untuk membantu membopong bapak dan mengantarkannya ke IGD. 

Setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata dokter mengatakan bahwa terdapat gumpalan darah serta pendarahan di dalam perut. Bapak memang punya riwayat pernah terjatuh dari tangga saat memperbaiki atap rumah sekitar 3 bulan sebelumnya. Melihat kondisi tersebut, dokter memutuskan untuk segera melakukan operasi bedah perut. 

Lebih dari satu minggu bapak dirawat di rumah sakit. Melihat wajah bapak yang penuh rasa cemas dan harus menahan rasa sakit yang begitu hebat tentu saja membuat hatiku teriris. Aku masih ingat bagaimana suasana mencekam saat aku harus menunggu di luar ruang operasi, dan ketika aku menemui bapak untuk pertama kalinya setelah operasi di ruang ICU. Itu adalah hari-hari paling kelabu yang aku hadapi di bulan Ramadan ini. 

Rumah sakit seolah menjadi rumah keduaku. Ada rasa gusar dan kecewa di dalam hati. Sejujurnya aku rindu berbuka puasa dan sahur bersama bapak di rumah. Tapi kali ini justru aku harus banyak menjalani ibadah puasa di rumah sakit serta dirundung suasana yang kelabu. Dalam hati aku tak rela kehilangan momen hangat yang biasanya aku dapatkan bersama bapak di bulan Ramadan.

2. Ramadan pertamaku tanpa kehadiran kakak tercinta

ilustrasi makam (unsplash.com/@sandym10)

Hatiku pilu bukan hanya karena bapak jatuh sakit dan harus dioperasi, tapi juga karena aku selalu teringat bahwa Idul Fitri tahun ini adalah pertama kalinya tanpa kehadiran kakak perempuanku tercinta. Mbak Wheny telah meninggalkan kami selama-lamanya pada bulan November tahun lalu. Ia berpulang setelah berjuang melawan sakit yang sampai saat ini kami belum tahu pasti apa namanya. 

Mbak Wheny bukan sekadar kakak, tapi dia juga segalanya bagiku. Setelah ibu berpulang tujuh tahun lalu, ia praktis berperan sebagai sosok pengganti ibu di keluarga kami. Perannya begitu fundamental. Ia selalu menjadi orang yang paling berpengaruh dalam hidupku. Tanpanya, mungkin aku tak akan pernah bekerja di IDN Times seperti saat ini. 

Selama ini Hari Raya Idul Fitri adalah hari bahagia buatku, karena pada saat itu aku bisa kembali berkumpul bersama keluarga intiku. Semua kakakku yang merantau akan mudik dan selama beberapa hari kami akan berkumpul merayakan lebaran bersama. Membayangkan Idul Fitri tanpa kehadirannya saja aku tak kuasa menahan tangis. Tak bisa aku mungkiri, aku kehilangan semangat merayakan Idul Fitri kali ini.

Proses berduka ini begitu berat bagiku. Pada faktanya hal paling sulit adalah proses berduka itu bukanlah proses yang linear. Ketika aku merasa sudah pulih dan mulai bangkit, bisa saja satu menit kemudian air mataku terburai dan duniaku rasanya kembali hancur hanya karena aku melihat makanan favorit Mbak Wheny. Fase demi fase aku coba lewati dengan tabah dan ikhlas, tapi semua itu bisa kembali terulang tanpa henti. 

Tak ada hal yang lebih perih daripada merindukan seseorang yang telah tiada. Setiap malam di bulan Ramadan aku seringkali berharap di dalam hati. Aku rindu kakak dan juga ibuku dan ingin sekali lagi merayakan Idul Fitri bersama mereka sekali lagi. Namun, tentu saja itu tidak mungkin terjadi. Ketika rasa rindu ini membuncah, aku hanya bisa lantunkan Surat Al-Fatihah berulang kali dan mendoakan yang terbaik untuk mendiang kakak dan ibuku. 

3. Tak apa-apa kan merayakan Idul Fitri sambil berduka?

ilustrasi salat Idulfitri (unsplash.com/@mufidpwt)

Idul Fitri sudah di depan mata. Meski Ramadan kali ini aku lalui dengan rasa duka dan hampir putus asa, tapi aku selalu berusaha untuk tetap mensyukuri setiap hal baik yang terjadi dalam hidupku. Aku bersyukur masih mendapatkan kesempatan menjalani bulan suci Ramadan kali ini dan perlahan-lahan kondisi bapak paca operasi juga semakin membaik. 

Cobaan di Bulan Ramadan ini memang berat dan sulit karena rasa duka yang luar biasa atas kehilangan kakak tercinta. Namun, aku juga berusaha sekuat tenaga agar aku benar-benar ikhlas akan kepergiannya. Di samping itu, pada bulan Ramadan ini pun aku semakin mencoba mempertebal imanku dan mempercayai bahwa suratan takdir ini adalah rencana terbaik dari Allah SWT yang harus aku jalani. 

Aku mungkin belum sepenuhnya baik-baik saja, akan tetapi semakin hari aku juga semakin sadar bahwa proses berduka itu adalah hal yang manusiawi. Akan aku rasakan dan aku peluk setiap duka yang muncul. Entah ini musibah atau anugerah, yang pasti semua itu telah terjadi dan mau tidak mau harus aku hadapi. Aku tak boleh terus menerus meratapinya hingga membuat diriku sendiri terpuruk. 

Di Bulan Ramadan ini aku berusaha keras untuk melihat semua ini dari perspektif lain. Musibah bisa menjadi anugerah, tergantung dari sudut pandang dan hikmah yang ingin aku ambil. Sambil menenangkan diri, aku meyakini bahwa tidak apa-apa jika aku berduka sambil merayakan hari kemenangan ini bersama Bapak dan kakakku yang lain. 

Musibah yang aku hadapi mungkin saja dalah sebuah ujian sekaligus peringatan dari Allah SWT untukku. Aku percaya dan terus berbaik sangka kepada-Nya, bahwa setiap musibah yang aku hadapi adalah untuk menguji keimanan, ketakwaan, dan kesabaranku. Semoga ini adalah sebuah kesempatan bagiku mendekatkan diri kepada Allah SWT. Amin.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pinka Wima
Ernia Karina
Pinka Wima
EditorPinka Wima
Follow Us