Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi percakapan orang tua dengan anak (unsplash.com/Vitaly Garief)
ilustrasi percakapan orang tua dengan anak (unsplash.com/Vitaly Garief)

Tak dapat dimungkiri, anak-anak sekarang tumbuh di tengah dunia yang banyak memberikan akses informasi. Melalui berbagai media ini anak-anak dikelilingi oleh hubungan toxic, orang-orang yang kurang sopan hingga suka mengejek, atau influencer yang memberi contoh kurang baik, seperti terlalu sinis dan penuh dengan drama.

Akibat banjir kritik dan ejekan di sekeliling mereka, tak heran anak-anak pun jadi terkesan mudah tersinggung. Kondisi ini menjadi sorotan baru di dunia psikologi. Menurut ahli, masalahnya mungkin bukan pada apa yang orang tua katakan, namun, bagaimana kamu mendengar anak-anak.

1. Awali dengan safety signal

ilustrasi percakapan orang tua dengan anak (unsplash.com/Siwawut Phoophinyo)

Saat kamu akan berbicara serius dengan anak, jangan langsung mengajukan pertanyaan yang terkesan menyerang atau menghakimi. Strategi komunikasi ini disebut dengan safety signal. Jadi, alih-alih kamu langsung berkata  “Mengapa nilaimu sangat turun?” ada baiknya, awali dahulu percakapan ini dengan kalimat, “Bisakah kita duduk sebentar untuk mengobrol?”. Tak hanya kata-kata, saat mempraktikan cara ini perhatikan juga nada bicara dan gerak tubuhmu.

Kata-kata memang penting, namun, nada bicara dan gerak tubuh yang akan lebih dahulu anak lihat. Oleh karena itu, pastikan kamu duduk dengan tenang dan tersenyumlah. Pastikan juga suara kamu lembut dan tidak tajam. Isyarat kecil ini dapat mencegah dari upaya  anak untuk melawan. Teknik ini  menunjukkan cara kerja dari persepsi yang dapat membentuk reaksi. Pendekatan yang tenang, membuat anak mengenalimu sebagai “sekutu”, bukan “musuh”.

2. Bertanya sebelum menasihati

ilustrasi percakapan orang tua dengan anak (unsplash.com/Vitaly Garief)

Sebagai orang tua, mungkin sudah naluri bagimu untuk senantiasa memberikan nasihat pada anak. Namun, seiring dengan usia anak yang semakin paham dengan dunia di sekitarnya, upaya menasehati secara blak-blakkan ini dapat mengundang reaksi defensif dari mereka. Menurut  psikologi, saat anak-anak menerima solusi yang  tidak mereka minta, anak akan cenderung menolaknya. Jadi, ubahlah sikap dengan lebih menghormati anak, minta izinlah saat akan memberi mereka nasihat.

Terlebih saat anak-anak berada di usia beranjak remaja. Kamu bisa memulai bertanya terlebih dahulu sebelum memberi nasihat. Daripada langsung berkata, “Kamu harusnya seperti ini…”, tanyakan dahulu, “Sekarang kamu ingin mama memberikan ide atau sekadar mendengarkan?”. Saat anak pun menjawab “dengarkan saja”, ada baiknya juga membiarkan anak sendiri terlebih dahulu. Cara ini menunjukkan cara kamu menghormati batasan yang dimiliki  anak.

3. Bangun rasa ingin tahu, bukan menyimpulkan sendiri

ilustrasi percakapan orang tua dengan anak (unsplash.com/Vitaly Garief)

Jika kamu tidak ingin anak cepat marah saat baru diajak ngobrol, maka jangan langsung menyimpulkan tentang motif, suasana hati, atau perilaku anakmu. Cara ini hampir pasti akan membuat anakmu justru akan bertindak defensif hingga menolak kehadiranmu. Maka, kembangkanlah rasa ingin tahu agar percakapanmu dengannya tetap terbuka. Jadi, jangan langsung melabeli anak sebelum mendengar kondisinya dengan seksama.

Jangan katakan, “Tuh kan, adik males lagi…”. Tapi, kamu bisa bilang. “Coba ceritain sama mama, alasan yang membuat kamu berbuat seperti ini..”. Rasa ingin tahu dapat mengurangi tekanan. Anak-anak tidak akan merasa terdesak atau seperti ditangkap oleh orang tua mereka sendiri. Tetapi, kamu memberikan ruang untuk lebih paham akan dunia mereka. Rasa ingin tahu dapat  menjadi “tombol jeda” yang membantu kamu melihat kondisi anak melalui sudut pandang mereka.

4. Kenali emosinya, bukan kesalahannya

ilustrasi percakapan orang tua dengan anak (unsplash.com/volant)

Mengakui perasaan anak dapat membantu mereka untuk merasa dipahami. Namun, jangan melabeli perasaan tersebut dengan mengatakan hal seperti, dramatis, egois, atau terlalu sensitif. Dengan mengatakannya, kamu mungkin telah beralih dari berempati menjadi pengkritik, berdasarkan sudut pandang anak. Jadi, alih-alih mengatakan, “Kamu itu, jangan bereaksi terlalu berlebihan”. Katakanlah, “Seperti kamu merasa sedikit frustrasi?”

Bukan artinya kamu menyetujui perilaku buruknya, namun, kamu berusaha memvalidasi perasaan yang ada di baliknya. Saat anak sudah tahu bahwa ternyata kamu memahami mereka, anak akan cenderung mendengarkan persepsi kamu, tanpa mengucilkan saranmu. Cara ini dapat berhasil, karena menyebutkan perasaan terlebih dahulu dapat membangun jembatan untuk memecahkan masalah, sementara saat langsung melabeli, kamu  mungkin menghancurkan jembatannya.

5. Akhiri dengan dorongan

ilustrasi percakapan orang tua dengan anak (unsplash.com/sofatutor)

Bagaimana kamu  akan mengakhiri percakapan, cara inilah yang akan melekat di benak anak. Jadi, jika kamu  mengakhiri percakapan dengan kritik, maka asumsi sikap tersebutlah yang akan kamu tunjukkan di lain waktu. Oleh karena itu, akhiri percakapan bersama buah hati dengan menunjukkan kepercayaan atau penghargaan. Jadi, berhentilah mengatakan, “Jangan sampai mengulangi masalah yang sama, kau mengerti?”, tapi katakan, “Aku tahu kamu pasti bisa mengatasinya.”

Tambahkan juga dorongan kalimat, “Kamu sudah pernah berhasil melakukannya, jadi lain kali, coba lagi, pasti bisa.” Dorongan bukan seperti kalimat pujian yang terlalu biasa. Dorongan dapat menumbuhkan rasa percaya di dalam diri anak bahwa kamu tahu dia bisa terus bertumbuh dan berubah menjadi lebih baik. Mengakhiri percakapan dengan dorongan yang tulus dan positif, dapat lebih memudahkan kamu membuka pintu percakapan lain dengan anak di masa depan.

Strategi komunikasi kepada anak yang mudah marah di atas dapat membantu kamu membangun ruang untuk anak merasa didengarkan dengan lebih baik. Kamu tidak akan melemahkan kewenanganmu sebagai orang tua, namun, membangun ikatan pengaruh dirimu terhadap anak yang lebih kuat. Anak menjadi yakin, terlepas dunia sangat keras, mereka tahu, selalu punya tempat yang aman di mana mereka akan merasa lebih dihargai dan disayangi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team