Sejak kejadian memilukan yang terjadi pada George Floyd di Amerika Serikat, orang mulai mengampanyekan pentingnya edukasi antirasisme di semua lini masyarakat. Memang tidak mudah karena adanya stereotip serta budaya yang sudah mendarah daging selama berabad-abad silam.
Namun, coba perluas pergaulan, hidupkan rasa kemanusiaan dan akal sehat, serta edukasi diri sendiri dulu lewat beberapa buku dan novel tentang rasisme berikut ini.
Buku pertama yang bisa kamu baca adalah narasi nyata dari tragedi terbunuhnya seorang remaja kulit hitam di tahun 1950-an. Ia masih berusia 14 tahun saat ditemukan meninggal dalam keadaan mengenaskan mengambang di sungai. Ia dibunuh oleh sekelompok warga kulit putih yang tidak terima saat salah satu istri mereka mengadu digoda Emmet beberapa hari sebelumnya.
Meski sudah jelas siapa pelakunya, proses pengadilan atas kasus ini tidak menguntungkan pihak Emmett. Hingga suatu hari, Carolyn Bryant, perempuan yang mengaku mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari Emmett menyesal atas tindakannya. Ia mengaku Emmett bahkan tidak pernah menyentuhnya seperti yang ia adukan pada suaminya. Dalam buku ini, ia memberikan testimoni dan permintaan maafnya pada Emmett dan keluarga.
"Tidak satu pun perlakuan Emmett (padaku) yang bisa membenarkan apa yang terjadi padanya," ujar Carolyn. Namun, semua sudah terlambat.
Ini adalah autobiografi sang penulis Maya Angelou, seorang perempuan dan aktivis kulit hitam paling berpengaruh di Amerika Serikat. Ia mengisahkan awal mula kehidupannya yang saat kecil dititipkan pada neneknya yang lebih berkecukupan dari sang ibu. Ia dan saudaranya, Bailey tinggal di pemukiman yang didominasi warga kulit putih.
Di luar dugaan, ia baru tahu bahwa warna kulitnya jadi penyebab perlakuan rasis dari orang-orang di sekitarnya. Ia bahkan pernah diserang tanpa sebab oleh seorang pria dewasa.
Di tengah perlakuan tak mengenakkan itu, Maya menemukan kebahagiaan lewat sastra. Ia jadi bukti bahwa warga kulit hitam seperti dirinya pun tetap bisa bermimpi dan meraihnya.
Between the World and Me adalah sebuah esai personal Ta-Nehisi Coates yang ia kemas dalam bentuk surat untuk putranya. Ta-Nehisi merangkai pemikiran dan pengalaman pribadinya dengan cara paling memukau. Jalinan pikirannya sangat rapi, dari pengalamannya saat duduk di bangku kuliah ke kejadian di masa Perang Sipil. Dari rumah barunya di negara bagian lain ke rumah masa kecilnya yang penuh kenangan pilu.
Bukan hendak mengasihani diri sendiri dan menyalahkan orang rasis yang ia temui. Salah satu poin penting dalam bukunya ini, Ta-Nehisi percaya bahwa konflik yang terjadi antar ras saat ini bukanlah hal yang alami. Ini semua adalah konstruksi sosial yang manusia buat sendiri.
Dari buku, mari beralih ke novel karya Colson Whitehead. Tokoh utamanya adalah seorang perempuan kulit hitam bernama Cora yang bekerja di sebuah perkebunan di Georgia.
Cora yang sedang dalam masa pubertas mulai merasakan banyak tekanan yang menghantui keberadaannya di kebun tersebut. Bersama Caesar, kawan barunya ia berniat kabur melalui rel kereta api bawah tanah yang sedang dibangun. Di tengah usahanya, Cora tak sengaja membunuh seorang kulit putih yang berusaha menangkapnya.
Usaha mereka untuk kabur pun makin sulit setelah kejadian itu. Berada di antara banyak ancaman yang menghadang, pelarian mereka memberikan banyak insight baru untuk dua anak muda bertekad kuat itu.
Bigger Thomas adalah anak muda yang berasal dari keluarga miskin hingga membunuh tikus di rumah adalah hal normal baginya. Ia diterima bekerja sebagai sopir untuk sebuah keluarga kaya. Berniat mencuri dari mereka, Bigger justru terjebak dalam kejahatan yang lebih buruk.
Lebih menarik lagi, buku ini terbit di tahun 40an ketika rasisme adalah hal wajar. Tak ada yang bisa membayangkan betapa terasa nyatanya kejadian yang dialami tokoh Bigger di buku ini. Novel ini akhirnya diadaptasi jadi film di tahun 2019 dengan judul sama oleh HBO. Sedikit beda dengan novelnya, film adaptasinya berlatarkan masa kini.
The Hate U Give merupakan novel tentang rasisme karya Angie Thomas yang sukses berat. Sudah difilmkan juga tahun lalu. Kisahnya tentang seorang remaja kulit hitam yang melihat kematian sahabatnya di tangan polisi kulit putih dengan mata kepalanya sendiri. Namun, sesuai dugaan keadilan tak pernah berpihak pada warga kulit hitam.
Polisi dengan mudahnya mengeluarkan pernyataan bahwa Khalil, sang korban mengancam keselamatan mereka dan itu membenarkan tembakan yang mereka hujamkan ke tubuh remaja tersebut. Sempat memilih diam demi keselamatannya sendiri, Starr si tokoh utama dan saksi kunci kejadian tersebut akhirnya memutuskan untuk berontak dan menuntut keadilan untuk sahabatnya.
Jika The Hate U Give bisa dibaca remaja 13 tahun ke atas, Ghost Boys adalah novel yang disarankan untuk dibaca anak-anak sebagai usaha edukasi anti-rasisme. Jerome tokoh utamanya adalah seorang anak 12 tahun yang tewas ditembak polisi karena dicurigai membawa senjata. Padahal, Jerome hanya bermain dengan senjata mainan.
Ia bertransformasi menjadi hantu yang bisa mengamati kehidupan keluarganya pasca pembunuhan yang mengorbankannya. Ia juga bertemu dengan anak yang senasib dengannya, Emmett Till yang dikenal sebagai salah satu martir anti-rasisme di Amerika Serikat. Keduanya bertualang menyaksikan sendiri betapa rasisnya sistem peradilan di Amerika yang ternyata tidak berubah sejak kematian Emmett.
Beralih dari rasisme pada warga kulit hitam, mari menyelami kehidupan warga etnis asli Amerika Serikat yang dikenal pula dengan sebutan red people. Di masa lalu, bahkan hingga sekarang mereka masih jadi objek diskriminasi oleh warga kulit putih.
Novel ini merupakan narasi yang diangkat dari kisah nyata terbunuhnya seorang perempuan dari suku Osage. Kasus pembunuhan ini diceritakan lewat sudut pandang salah satu saudaranya, Mollie. Tak berhenti pada satu korban, Mollie menyaksikan sendiri satu per satu orang terdekatnya terbunuh dengan berbagai cara. Seiring berjalannya waktu, Mollie bukamlah satu-satunya orang yang harus kehilangan keluarga saat kasus pembunuhan terus bertambah.
Penelusuran dalam novel ini tidak hanya sebuah usaha menyelesaikan teka-teki, tetapi satu jalinan cerita yang mendorong kejadian-kejadian penting lain seperti terbentuknya FBI.
Mirip dengan novel sebelumnya, novel ini mengangkat sebuah keluarga dari etnis Ojibwe, salah satu penduduk asli benua Amerika sebagai tokoh utamanya. Joe adalah anak dari Antone dan Geraldine.
Antone sendiri merupakan salah satu orang terpandang di desa mereka tinggal, tetapi itu tak menjamin keselamatan keluarganya. Geraldine menjadi korban kekerasan seksual oleh orang tak dikenal dan memilih untuk menyembunyikan kejadian traumatis tersebut.
Kisah keluarga Joe hanya sepenggal kepiluan nasib para colored people di tengah dominasi orang kulit putih. Pembaca akan diajak mengenal beberapa karakter lain, termasuk anak perempuan kulit putih bernama Linda yang diadopsi keluarga beretnis Ojibwe setelah dibuang keluarganya karena kelainan yang ia miliki.
Novel tentang rasisme ini juga memberi highlight pada budaya dan kepercayaan Ojibwe yang mereka warisi dari leluhur. Menarik dan kaya wawasan baru.
Novel tentang rasisme berikutnya masih dari Colson Whitehead. Kali ini tokoh yang ia angkat adalah anak-anak remaja yang harus hidup di sebuah correctional center, semacam asrama dan sekolah untuk anak-anak yang dianggap nakal dan bandel. Salah satu penghuni institusi tersebut adalah Elwood. Seorang anak kulit hitam brilian yang sudah mengamankan posisi di sebuah universitas. Namun, semua mimpinya kandas saat ia tak sengaja berada di tempat dan waktu yang salah.
Nyatanya institusi tempat Elwood tinggal bukanlah sebuah institusi biasa. Banyak penyimpangan yang dilestarikan di sana. Diskriminasi yang jelas pun ia rasakan saat tahu bahwa anak kulit hitam dan putih pun tinggal di bangunan berbeda dengan fasilitas yang juga berbeda.
Mirisnya lagi, walaupun novel ini fiktif, sang penulis terinspirasi dari sejumlah institusi sejenis yang pernah ada di Amerika Serikat dan telah menewaskan ribuan anak-anak muda tak berdosa.
Yuk, perkaya wawasan dan edukasi diri lewat sepuluh novel dan buku di atas.