3 Kesalahan Besar yang Bisa Bikin Anakmu Trauma di Masa Depan

Anak-anak adalah makhluk yang rentan terhadap trauma. Trauma adalah peristiwa yang sangat menakutkan, menyedihkan, atau menyakitkan yang dapat mempengaruhi kesehatan mental dan emosional anak-anak. Trauma bisa disebabkan oleh berbagai hal, seperti kekerasan, pelecehan, kecelakaan, bencana alam, kehilangan orang tua, atau penyakit serius.
Trauma juga bisa terjadi karena melihat atau mendengar hal-hal yang mengerikan, seperti berita kekerasan atau media yang menampilkan gambar-gambar mengejutkan. Trauma bisa berdampak buruk bagi perkembangan anak-anak. Trauma bisa membuat anak-anak merasa tidak aman, tidak percaya diri, tidak bahagia, atau bersalah.
Trauma bisa menyebabkan anak-anak mengalami gangguan stres pasca-trauma (PTSD), depresi, kecemasan, masalah perilaku, masalah belajar, atau masalah tidur. Trauma juga bisa mengganggu hubungan anak-anak dengan orang tua, teman-teman, atau orang lain.
Untuk itu, penting bagi orang tua untuk membantu anak-anak mereka mengatasi trauma dan menyembuhkan luka batin mereka. Namun, ada beberapa kesalahan besar yang sering dilakukan oleh orang tua yang justru bisa memperburuk kondisi anak-anak mereka. Berikut adalah 3 kesalahan besar yang harus kamu hindari sebagai orang tua.
1. Mengabaikan atau menyepelekan perasaan anak

Salah satu kesalahan besar yang sering dilakukan oleh orang tua adalah mengabaikan atau menyepelekan perasaan anak-anak mereka setelah mengalami trauma. Orang tua mungkin berpikir bahwa anak-anak akan melupakan trauma itu dengan sendirinya, atau bahwa trauma itu tidak terlalu berpengaruh pada mereka. Orang tua mungkin juga berpikir bahwa anak-anak terlalu muda untuk mengerti apa yang terjadi, atau bahwa mereka harus kuat dan tidak boleh menunjukkan emosi negatif.
Padahal, sikap seperti ini justru bisa membuat anak-anak merasa tidak didengar, tidak dipedulikan, atau tidak dihargai. Anak-anak mungkin akan menutup diri dan tidak mau berbagi perasaan mereka dengan orang tua. Anak-anak mungkin juga akan merasa bersalah atau malu karena mengalami trauma itu. Anak-anak mungkin juga akan menyalahkan diri sendiri atau orang lain atas trauma itu.
Oleh karena itu, sebagai orang tua, kamu harus selalu mendengarkan dan memahami perasaan anak-anakmu setelah mengalami trauma. Kamu harus menunjukkan empati dan simpati kepada mereka. Kamu harus memberi mereka ruang untuk mengekspresikan perasaan mereka dengan cara yang sehat, seperti berbicara, menulis, menggambar, atau bermain. Kamu harus memberi mereka dukungan dan penghiburan yang mereka butuhkan.
2. Memaksakan anak untuk menghadapi hal-hal yang memicu trauma

Kesalahan besar lainnya yang sering dilakukan oleh orang tua adalah memaksakan anak-anak untuk menghadapi hal-hal yang memicu trauma mereka. Orang tua mungkin berpikir bahwa cara ini bisa membantu anak-anak untuk mengatasi rasa takut atau cemas mereka. Orang tua mungkin juga berpikir bahwa cara ini bisa membantu anak-anak untuk kembali normal dan melanjutkan hidup mereka.
Padahal, sikap seperti ini justru bisa membuat anak-anak merasa tertekan dan terancam. Anak-anak akan mengalami reaksi stres yang kuat ketika dihadapkan dengan hal-hal yang mengingatkan mereka pada trauma mereka. Anak-anak akan mengalami kilas balik (flashback), mimpi buruk (nightmare), keringat dingin (cold sweat), jantung berdebar (palpitation), gemetar (trembling), atau sesak napas (shortness of breath). Anak-anak mungkin juga akan menghindari hal-hal yang memicu trauma mereka, seperti tempat, orang, benda, atau aktivitas tertentu.
Oleh karena itu, sebagai orang tua, kamu harus menghormati batasan dan kebutuhan anak-anakmu setelah mengalami trauma. Kamu harus memberi mereka waktu untuk pulih secara bertahap dan tidak memaksa mereka untuk melakukan hal-hal yang tidak mereka mau atau bisa.
Kamu harus membantu mereka untuk mengembangkan keterampilan koping dan menenangkan diri yang efektif, seperti bernapas dalam-dalam (deep breathing), relaksasi otot (muscle relaxation), visualisasi positif (positive visualization), atau meditasi (meditation). Kamu harus membantu mereka untuk menghadapi hal-hal yang memicu trauma mereka secara perlahan dan terkontrol, dengan bimbingan dari profesional kesehatan mental jika perlu.
3. Tidak mencari bantuan profesional

Kesalahan besar terakhir yang sering dilakukan oleh orang tua adalah tidak mencari bantuan profesional untuk anak-anak mereka setelah mengalami trauma. Orang tua mungkin berpikir bahwa mereka bisa menangani masalah ini sendiri, atau bahwa anak-anak tidak membutuhkan bantuan dari orang lain. Orang tua mungkin juga berpikir bahwa mencari bantuan profesional adalah tanda kelemahan atau kegagalan. Orang tua mungkin juga khawatir tentang biaya, stigma, atau ketersediaan layanan kesehatan mental.
Padahal, sikap seperti ini justru bisa membuat anak-anak kehilangan kesempatan untuk mendapatkan perawatan yang tepat dan efektif. Anak-anak mungkin akan terus menderita akibat trauma mereka tanpa ada harapan untuk sembuh. Anak-anak mungkin juga akan mengalami komplikasi atau masalah lain yang lebih serius di masa depan. Oleh karena itu, sebagai orang tua, kamu harus selalu waspada terhadap tanda-tanda bahwa anak-anakmu membutuhkan bantuan profesional setelah mengalami trauma.
Penelitian neurobiologis telah menemukan bahwa trauma dapat mempengaruhi area otak yang berkaitan dengan kognisi, memori, dan belajar. Trauma dapat membahayakan kesehatan otak kita, yang berdampak pada kesulitan akademik dan masalah perilaku dan hubungan anak-anak di sekolah. Bayangkan jika kamu sedang dikejar oleh seekor harimau. Apakah kamu akan bisa fokus pada pelajaran matematika atau bahasa Inggris? Tentu saja tidak. Kamu akan lebih mementingkan keselamatanmu daripada belajar. Hal ini juga berlaku untuk anak-anak yang mengalami trauma. Mereka akan lebih mementingkan kesejahteraan emosional mereka daripada belajar.
Oleh karena itu, sebagai orang tua, kamu harus selalu memperhatikan prestasi dan kemampuan belajar anak-anakmu setelah mengalami trauma. Kamu harus memberi mereka dukungan akademik yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Kamu harus berkomunikasi dengan guru-guru mereka untuk mengetahui perkembangan dan tantangan mereka di sekolah. Kamu harus membantu mereka untuk mengatur waktu, mengatur tugas, dan belajar secara efektif. Kamu harus memberi mereka pujian dan motivasi untuk meningkatkan kepercayaan diri dan minat belajar mereka.