5 Bentuk Toxic Positivity yang Justru Menyakiti Orang Lain Tanpa Sadar

Di tengah budaya yang menjunjung semangat positif, ada satu sisi lain yang sering luput disadari: toxic positivity. Ini adalah bentuk dorongan untuk selalu “berpikir positif” yang justru bisa menekan emosi dan menutup ruang validasi perasaan. Alih-alih membantu, sikap seperti ini kadang justru membuat seseorang merasa terisolasi dalam perjuangannya sendiri.
Toxic positivity tidak selalu muncul dalam bentuk kasar atau menyakitkan. Bahkan, sering kali ia terselip dalam kalimat-kalimat yang terdengar baik atau bermaksud menyemangati. Sayangnya, tanpa disadari, hal-hal ini bisa memperburuk kondisi mental seseorang. Berikut ini lima bentuk toxic positivity yang sering dianggap biasa saja, tapi sebenarnya cukup berbahaya jika terus dibiarkan.
1. “Ayo semangat, yang lain juga punya masalah lebih berat kok!”

Sekilas, kalimat ini terdengar seperti suntikan motivasi. Tapi jika dilihat lebih dalam, membandingkan penderitaan seseorang dengan orang lain justru bisa merusak validitas emosinya. Ketika kamu mengatakan bahwa masalah orang lain lebih berat, kamu secara tidak langsung membuat lawan bicaramu merasa bahwa kesedihannya tidak penting atau tidak seharusnya dirasakan.
Padahal, setiap orang punya kapasitas emosional yang berbeda. Apa yang ringan buatmu, bisa terasa berat bagi orang lain. Rasa sedih, kecewa, atau lelah tidak perlu dibenarkan dengan pembandingan. Semua perasaan itu valid, terlepas dari seberapa besar atau kecil masalahnya menurut orang lain. Yang lebih dibutuhkan adalah empati, bukan perbandingan.
2. “Jangan nangis, kamu harus kuat!”

Banyak orang menganggap menangis sebagai tanda kelemahan, padahal itu adalah ekspresi emosi yang sehat dan manusiawi. Saat kamu menyuruh seseorang untuk berhenti menangis agar terlihat kuat, sebenarnya kamu sedang memaksanya menekan emosi yang seharusnya dikeluarkan. Akibatnya, perasaan yang dipendam itu bisa berubah menjadi beban psikologis yang lebih berat.
Kekuatan sejati tidak datang dari menahan air mata, tapi dari keberanian untuk mengakui dan menghadapi perasaan sendiri. Menangis bisa menjadi langkah awal menuju pemulihan. Daripada menyuruh seseorang “kuat” dengan menahan tangis, lebih baik berikan ruang baginya untuk merasa—karena dari situlah kekuatan yang sebenarnya tumbuh.
3. “Ambil sisi positifnya aja, semua pasti ada hikmahnya”

Kalimat ini memang bermaksud baik, tapi sering kali diucapkan terlalu cepat—terutama saat seseorang masih berada dalam fase kesedihan atau kemarahan. Menyuruh seseorang untuk segera melihat sisi positif dari sebuah tragedi justru bisa membuatnya merasa tidak dipahami. Emosi negatif yang sedang ia rasakan malah terasa tidak valid.
Daripada terburu-buru menyuruh orang “ambil hikmah”, lebih baik biarkan dia menjalani dan meresapi rasa sakitnya terlebih dahulu. Memberi ruang untuk merasakan pahitnya kenyataan adalah bentuk dukungan yang lebih sehat. Setelah waktunya tepat, barulah ajakan untuk melihat sisi baik dari kejadian bisa benar-benar menyentuh dan membantu proses penyembuhan.
4. “Berpikir positif terus dong, jangan negatif mulu”

Meminta seseorang untuk terus berpikir positif tanpa memberi ruang untuk emosi negatif adalah bentuk penyangkalan yang membahayakan. Emosi seperti marah, kecewa, atau sedih sebenarnya punya fungsi penting—mereka memberi sinyal bahwa ada sesuatu dalam hidup yang perlu diperhatikan dan diperbaiki. Menolak emosi ini hanya akan membuat masalah semakin rumit di dalam.
Kesehatan mental yang baik bukan berarti selalu bahagia, tapi mampu memahami dan mengelola semua jenis emosi. Memberi ruang pada perasaan negatif bukan berarti kamu menyerah, melainkan memberi kesempatan pada diri sendiri untuk sembuh dengan cara yang sehat. Positivitas yang sehat adalah ketika kamu mampu menerima emosi secara utuh, bukan menekannya demi terlihat kuat.
5. “Udah, lupain aja. Move on dong!”

Kalimat seperti ini sering muncul ketika seseorang merasa tak sabar melihat temannya masih terjebak dalam kesedihan. Namun, menyuruh orang untuk cepat “move on” bisa menjadi tekanan emosional yang merusak. Proses penyembuhan tidak bisa dipaksakan, dan setiap orang punya waktu yang berbeda dalam menghadapi kehilangan atau trauma.
Alih-alih menyuruh seseorang melupakan dan segera bangkit, cobalah hadir sebagai pendengar yang setia. Kadang, yang dibutuhkan bukan kata-kata bijak atau solusi instan, tapi sekadar ditemani dalam keheningan atau diberi pelukan yang tulus. Dengan begitu, kamu justru membantu proses penyembuhan dengan cara yang lebih manusiawi dan penuh empati.
Toxic positivity sering kali tidak disadari karena tersembunyi dalam niat baik dan kalimat manis. Tapi jika tidak dikendalikan, ia bisa menyakiti orang lain secara emosional. Mulailah belajar untuk benar-benar hadir dan mendengarkan, karena kadang, empati yang tulus jauh lebih menyembuhkan daripada nasihat yang terdengar bijak.