ilustrasi pria putus asa (Unsplash.com/ Olhar Angolano)
Pada akhirnya toxic masculinity atau anggapan bahwa laki-laki harus memiliki tubuh atau fisik yang kuat merupakan kebiasaan yang tidak sehat. Dalam jangka panjang, mereka akan kesulitan mencari pertolongan ketika situasi sulit terjadi. Akibatnya ini akan menimbulkan perasaan tertekan yang mendalam.
Misalnya, seorang laki-laki dewasa merasa enggan meminta bantuan orang tuanya karena merasa gak pantas lagi. Atau, mereka enggan pergi ke dokter atau psikolog ketika kesehatan fisik atau mentalnya sedang menurun. Alasannya bukan hanya mengindari pengobatan, namun ini dianggap bertentangan dengan ketangguhan atau nilai maskulinitas yang dibangun di masyarakat.
Hal-hal seperti itu kalau terus dibiarkan akan menimbulkan dampak yang lebih berisiko. Misalnya mereka jadi ingin mencari pelarian dengan melakukan hal-hal negatif untuk mendapatkan kebahagiaan. Atau bahkan, bisa jadi ini memperkecil kesempatan laki-laki mendapatkan bantuan akan kesehatan mental, misalnya.
Mengingat dampak dari toxic masculinity ini gak main-main, kita juga perlu lebih hati-hati. Daripada terus memberikan stigma laki-laki harus selalu kuat, akan lebih baik memberikan pemahaman bahwa menunjukkan emosi atau meminta bantuan kepada orang lain bukan bentuk kelemahan. Sehingga, nantinya mereka akan mudah jadi diri sendiri tanpa takut penilaian negatif orang lain.