ilustrasi percakapan (pexels.com/Greta Hoffman)
Orang lanjut usia paling sering membicarakan masa lalu. Tahun yang telah mereka lalui begitu panjang. Misalnya, usia mereka sekarang 65 tahun dan ingatannya baru cukup kuat di usia 4 tahun. Berarti ada begitu banyak pengalaman yang terjadi dalam rentang waktu 61 tahun.
Sementara itu, masa kini dan masa depan menjadi kurang menarik bagi mereka karena dua alasan. Pertama, walaupun mereka hidup di masa sekarang, makin banyak hal-hal kekinian yang tidak dapat diikuti. Meski mereka telah mencoba mempelajarinya, pengetahuannya gak sebanyak orang-orang yang lebih muda.
Sedang tentang masa depan, harapan hidup mereka sudah menipis. Di usia 65 tahun apalagi lebih dari itu, suka tidak suka mereka dalam perjalanan yang terus mendekati akhir kehidupan. Mereka sadar bahwa mungkin saja waktunya di dunia tinggal beberapa tahun lagi. Apa yang bisa dibicarakan tentang masa depannya kecuali sakit keras dan kematian?
Boro-boro membahasnya, mengingatnya saja barangkali menimbulkan kecemasan dalam diri. Terlebih lawan bicaranya kamu yang jauh lebih muda. Mereka ragu dirimu bisa diajak membicarakan hal-hal berat seperti itu. Lebih mudah buat mereka membahas masa lalu saja. Mereka tinggal memilih satu per satu kenangan untuk diceritakan.
Meski sebagai anak muda kamu cenderung lebih berminat pada masa kini dan masa depan, mengobrolkan masa lalu sebenarnya perlu. Jangan buru-buru ingin menyudahi perkataan lawan bicaramu mengenai berbagai peristiwa di masa silam. Sebaliknya, kamu juga gak perlu gengsi untuk menceritakan masa lalumu pada orang dan situasi yang tepat.
Bila ada trauma, membicarakannya lagi dan lagi berguna untuk terapi diri. Lawan bicara sedikit banyak akan membantumu membangun perspektif baru atas suatu pengalaman buruk. Daripada kamu terus memendamnya sendirian dan kesakitan atau ketakutanmu terus bertambah.