Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi progresif (pixabay.com/jerrykimbrell10)

Intinya sih...

  • Teori praktik sosial mengajarkan strategi memenangkan perjuangan di arena terbatas dengan mengoperasionalkan konsep habitus dan modal ekonomi, budaya, sosial, serta simbolik.
  • Teori pengendalian sosial menekankan pentingnya hukuman persuasif, represif, dan koersif untuk disiplin diri dalam masyarakat yang selalu ada tindakan menyimpang atau pelanggaran.
  • Teori fungsionalisme struktural menekankan pentingnya hidup disiplin dan berkomitmen dalam menjalankan setiap bagian hidup sesuai dengan alurnya untuk mencapai hidup yang aman, damai, dan minim konflik.

Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari terkait interaksi manusia dalam kehidupannya di masyarakat. Mulai dari hubungan individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok lain.

Pusat ilmu sosiologi dalam mengkaji hubungan masyarakat ini melahirkan banyak teori terkait di dalamnya. Di antaranya, yakni mulai dari teori praktik sosial, teori pengendalian sosial, teori fungsionalisme struktural, teori konflik, hingga teori tindakan rasional instrumental.

Nah, kelima teori sosiologis di atas memiliki preposisi yang mengandung makna untuk pengembangan diri bagi pelakunya, lho. Penasaran bagaimana penjabarannya? Terlebih perbaiki apa yang bisa kamu dapatkan dari kelima teori ini? Langsung simak ulasannya berikut ini, ya.

1. Teori praktik sosial

ilustrasi orang sedang fokus (pixabay.com/SnapwireSnaps)

Teori praktik sosial lahir dari buah pemikiran seorang sosiolog yang bernama Pierre Bourdieu. Teori ini menggambarkan sebuah perjuangan seseorang dalam sebuah arena untuk memperebutkan sesuatu bernilai, namun jumlahnya terbatas. 

Oleh karena itu, dibutuhkan strategi untuk bisa memenangkan perjuangan di arena terkait. Nah, strategi ini didapatkan dengan mengoperasionalkan konsep habitus atau kebiasaan dan modal-modal yang ada. Secara lebih kompleks, dalam teori praktik sosial ini modal dibagi menjadi empat bentuk. Mulai dari modal ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik.

Pertama, modal ekonomi, yakni bermakna sumber pendapatan atau kapital. Kedua, modal budaya, yakni bisa berwujud ilmu pengetahuan maupun wawasan yang luas. Ketiga, modal sosial yang didapatkan dari interaksi dengan orang-orang tertentu, yang akhirnya menjadi relasi. Terakhir, modal simbolik, yakni bermakna prestise, status, otoritas, dan legitimasi.

Dengan begitu, teori praktik sosial ini mengajarkan kamu untuk mengembangkan diri dengan berjualan untuk mendapat suatu hal besar, yang bernilai, dan jumlahnya terbatas. Bagaimana caranya? Ya dengan berjuang di arena tujuanmu. Berjuang dengan senjata habitus yang progresif hingga modal-modal yang berkaitan dengan tujuanmu. 

2. Teori pengendalian sosial

ilustrasi evaluasi diri (pexels.com/Anete Lusina)

Pengendalian sosial menjadi teori dalam sosiologi yang dicetuskan oleh Peter L. Berger. Teori pengendalian sosial ini menjadi penting mengingat dalam masyarakat akan selalu ada yang namanya tindakan menyimpang atau pelanggaran.

Padahal, peraturan yang telah disepakati sudah diberlakukan. Oleh karena masih saja ada yang melanggar, maka dalam teori pengendalian sosial ini terdapat hukuman yang berlaku. Pertama, sifatnya masih halus, yakni dengan persuasif mengajak secara baik-baik untuk memperbaiki kesalahan.

Setelah hal cara baik-baik gagal, maka berlaku cara kedua, yakni represif atau hukuman. Pemberian hukuman ini untuk membuat pelakunya jera dan tidak mengulangi pelanggan lagi. Jika masih juga belum berhenti melanggar, maka dilakukan cara terkahir, yakni koersif atau ancaman. Ya, pelaku bisa diancam seacara keras, akan hukuman yang jauh lebih tragis saat melakukan pelanggaran lagi.

Begitu pula dengan kehidupan pribadi, tentu begitu sering berbuat kesalahan, bahkan yang terbilang pelanggaran fatal. Alih-alih melindungi diri sendiri dengan tidak ada hukuman, nyatanya hal ini menjadi kebiasaan untuk tidak apa-apa terus berbuat salah. Jadi, kapan kamu siap mendisiplinkan dirimu yang salah itu? Ingat, demi kebaikan dan perbaikan dirimu sendiri, lho.

3. Teori fungsionalisme struktural

ilustrasi hidup yang seimbang dan teratur (pixabay.com/Alexas_Fotos)

Teori fungsionalisme struktural dicetuskan oleh seorang sosiolog yang bernama Emile Durkheim. Dalam teori ini dijelaskan bahwa suatu kehidupan harus senantiasa berjalan seimbang dan teratur. Untuk mencapainya, maka setiap bagian dalam hidup harus menjalankan fungsinya masing-masing.

Yang mana ketika satu bagian berjalan sebagaimana fungsinya, maka bagian lainnya bisa fungsional. Sebaliknya, ketika satu bagian itu disfungsional, maka bagian lainnya juga tak bisa menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Hal tersebut dikarenakan antar satu bagian dengan bagian lainnya saling berkaitan dan ketergantungan.

Jadi, teori fungsionalisme struktural ini mengajarkan kamu untuk senantiasa hidup disiplin dan berkomitmen dalam menjalankan setiap bagian hidup sesuai dengan alurnya. Dengan begitu, kamu akan memiliki hidup yang aman, damai, minim konflik. Hal tersebut karena kanu memiliki hidup yang selalu teratur dan seimbang oleh aturan dan batasan yang jelas.

4. Teori konflik

ilustrasi perdebatan (pixabay.com/fahribaabdullah14)

Seorang sosiolog bernama Karl Marx menilai kehidupan berbanding terbalik dengan penganut teori fungsionalisme struktural. Yang mana Marx merasa kehidupan tidak mungkin selalu statis dengan terus berada dalam keseimbangan.

Atas dasar itu, Marx melahirkan pemikiran yang dituangkan dalam teori konflik. Secara lebih kompleks, teori konflik ini menganggap wajar suatu permasalahan, termasuk konflik. Hal ini karena masalah merupakan bagian dari hidup yang tak bisa terpisahkan dan tidak bisa dihindari.

Positifnya, teori ini mengajarkan untuk tidak takut dengan permasalahan, dengan pertentangan maupun konflik. Adanya hal tersebut justru melahirkan hidup yang dinamis serta diskusi untuk bertemu di tengah atau kompromi. Hingga puncaknya, memungkinkan untuk terjadinya perubahan besar yang mungkin akan bertemu hal yang lebih baik dari apa yang dianut saat ini.

Layaknya dalam teori konflik ini dicontohkan kisah kaum borjuis yang memiliki modal dan alat produksi dengan kaum proletar yang menjual tenaga kerjanya. Kaum proletar yang terus ditekan dan tidak berdaya oleh kekuasaan kaum borjuis, memutuskan untuk berkonflik demi perubahan dalam hal kesejahteraannya. Akhirnya, aksi mereka membuahkan revolusi besar-besaran pada saat itu.

5. Teori tindakan rasional instrumental

ilustrasi berpikir rasional (pexels.com/Andrea Piacquadi

Max Webber dalam teorinya tindakan sosial membagi tindakannya dalam beberapa bentuk, salah satunya yakni tindakan rasional instrumental. Ya, sesuai namanya, tindakan ini berdasarkan sisi rasionalitas akan penghitungan keuntungan dan kerugian.

Teori ini memberikan arahan untuk setiap orang bisa hidup rasional dalam urusan apa pun. Sejatinya, rasional itu tidak memandang hubungan saudara, atas dasar cinta, rasa sungkan, dan sejenisnya. Namun, rasionalitas itu hal dan hukum yang dasar dalam setiap sikap maupun tindakan yang dilakukan, atas dan untuk kebaikan kamu sendiri.

Jadi, teori mana yang konsepnya sudah kamu terapkan dalam hidup? Jika ada yang belum, apa alasanmu masih enggan untuk menerapkannya? Mungkin jawabannya karena susah dan butuh proses, ya. Tak apa, tapi ingat, segala sesuatu yang diniatkan demi kebaikan dan perbaikan hidup rasanya akan tetap bisa karena terbiasa, lho.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team