6 Sebab Milenial Berinvestasi Low Risk daripada High Risk High Return

Generasi milenial yang sekarang telah berusia 30 tahun ke atas idealnya memang sudah mulai berinvestasi. Di usia dua puluhan tahun, berinvestasi kerap kali sulit dilakukan. Seseorang baru bekerja, pendapatannya masih kecil, dan perlu belajar mengelola uang guna pemenuhan sehari-hari dulu.
Belum lagi mengumpulkan dana darurat, tabungan untuk beli rumah, menikah, dan sebagainya. Keuangan belum cukup longgar untuk mulai berinvestasi di usia dua puluhan tahun. Akan tetapi, setelah milenial berada di kondisi keuangan yang sudah lebih stabil, pilihan investasinya pun ajek.
Banyak milenial yang hanya berinvestasi di instrumen berisiko rendah seperti deposito, emas, dan properti. Mengapa mereka tidak berani meningkatkan investasi ke tipe high risk high return, misalnya saham? Apakah pilihan mereka keliru? Berikut penjelasannya.
1. Penghasilan tidak tetap

Meski milenial berusia di atas 30 tahun secara keuangan sudah cukup stabil, jenis pekerjaan yang dilakoni bermacam-macam. Sebagian bekerja secara tetap di kantor dan sebagian lagi sepenuhnya pekerja lepas. Untuk freelancer, investasi dengan risiko tinggi memang kurang cocok.
Pendapatan yang tak menentu per bulan bahkan per tahunnya menuntut mereka untuk lebih berhati-hati dalam mengambil setiap keputusan finansial. Termasuk dalam berinvestasi karena tidak semuanya akan berujung untung. Investasi dengan risiko tinggi walaupun menjanjikan keuntungan yang lebih besar terlalu rawan buat pekerja lepas.
Jangan sampai investasi ternyata buntung dan pekerjaannya pun sedang sepi. Kondisi keuangan mereka akan seketika terpuruk. Dengan penghasilan yang gak selalu sama per bulannya, milenial yang juga pekerja lepas butuh instrumen investasi yang jauh lebih aman. Setidaknya, mereka terhindar dari kemungkinan uang lenyap dalam sekejap.
2. Ajaran orangtua

Ajaran yang diterima milenial dari orangtua juga sangat memengaruhi keputusan keuangannya saat ini. Mereka yang melihat kedua orangtuanya hidup nyaman tanpa berinvestasi di instrumen yang menjanjikan keuntungan besar tetapi risikonya juga gede cenderung mengikuti. Mereka berpikir bahwa investasi saham yang sempat menjadi tren di kalangan milenial bukan satu-satunya jalan untuk hidup nyaman saat tua nanti.
Orangtua mereka dengan tekun mengumpulkan deposito hingga ratusan juta rupiah. Uang tersebut digunakan buat biaya hidup dan berobat selepas mereka tak lagi bekerja. Bila perencanaan keuangan ala orangtua ini berhasil, mereka juga gak terlalu ambil pusing soal diversifikasi investasi.
Mereka berkeras untuk memiliki deposito sebanyak mungkin. Kalaupun memilih investasi selain deposito, masih sama-sama yang minim risiko. Misalnya, emas atau lahan pertanian. Mereka enggan mencoba-coba sesuatu di luar ajaran orangtua karena tidak yakin bakal sukses.
3. Banyak tanggungan

Milenial yang sudah bekerja lebih dari 10 tahun sekalipun gak berarti keuangannya pasti longgar. Mereka mungkin harus menafkahi pasangan, anak, orangtua, mertua, dan sebagainya. Terlalu berbahaya bagi milenial dengan tanggungan sebanyak ini jika nekat memilih investasi yang berisiko tinggi.
Sedikit saja investasinya tak berjalan lancar, ada begitu banyak orang yang ikut terkena imbasnya. Boro-boro mereka menjajal investasi yang berisiko tinggi. Masih dapat berinvestasi di deposito saja sudah perlu kerja keras. Dengan tanggungan sebanyak ini, segalanya menjadi berlipat.
Seperti biaya hidup sehari-hari, dana darurat yang mesti disiapkan, dan sebagainya. Walaupun bila investasi berisiko tinggi berhasil dia akan untung besar, ia tetap gak berani. Risiko keluarganya terlantar lebih mengerikan. Dia gak dituntut untuk menjadi kaya raya, tetapi mesti bisa mengamankan kebutuhan keluarga.
4. Belum mempelajari investasi high risk high return

Meluangkan waktu buat belajar tentang investasi berisiko tinggi juga gak mudah. Ketika milenial sudah lelah bekerja, manusiawi jika mereka hanya ingin beristirahat. Atau mereka tetap mempelajari keuangan dan investasi, tetapi yang ringan-ringan saja. Mereka mungkin punya cukup banyak uang untuk mengantisipasi kerugian dalam berinvestasi dengan risiko tinggi.
Akan tetapi, bagi mereka konyol sekali jika berinvestasi tanpa betul-betul menguasai ilmunya terlebih dahulu. Ini seperti orang yang gak bisa bermain catur mencoba-coba menggerakkan bidak dan berujung dengan mudahnya dikalahkan lawan. Milenial yang sadar pentingnya belajar dulu sebelum berinvestasi di instrumen yang high risk tak mau sekadar FOMO.
Sekalipun banyak teman bermain saham dan setiap hari membahasnya seolah-olah sudah ahli, mereka tetap tidak tertarik. Berinvestasi dengan risiko tinggi tanpa ilmu sama dengan membahayakan hasil kerja keras selama ini. Lebih aman buat berinvestasi di instrumen berisiko rendah yang gak perlu dipelajari dengan cermat. Cepat dimulai, cepat bertambah pula total investasinya.
5. Takut dengan pengalaman buruk orang terdekat dalam berinvestasi

Jika ada orang di sekitarnya yang rugi besar gara-gara sembarangan mengambil investasi high risk high return, ini juga menularkan ketakutan. Sekalipun sebenarnya banyak orang berhasil dalam investasi tersebut, 1 atau 2 pengalaman buruk berpengaruh lebih besar pada psikis mereka. Ini seperti alarm yang kalau diabaikan jangan-jangan benar berbahaya.
Hal ini juga melemahkan keinginan mereka untuk lebih mempelajari instrumen investasi berisiko tinggi. Patokan mereka selalu pada pengalaman kegagalan orang lain. Ketakutan mereka bertambah besar jika orang yang gagal dalam berinvestasi secara tegas melarangnya ikut-ikutan memilih instrumen yang sama.
Itu dimaknai sebagai bahayanya memang amat besar dan seseorang sudah berusaha memperingatkannya. Cerita keberhasilan orang lain dengan jenis investasi yang sama tak lagi menggiurkan. Mereka dapat menyamakannya dengan hukum piramida. Lebih sedikit orang yang akan berhasil dalam investasi high risk high return dan mungkin mereka tidak termasuk di dalamnya.
6. Hasil investasi hanya bersifat tambahan, sedikit pun tak apa

Tujuan setiap orang dalam berinvestasi berbeda-beda. Ada milenial yang gencar berinvestasi karena ingin pensiun dini. Hasil investasi diharapkan dapat membiayai hidupnya tanpa mereka perlu bekerja lagi. Namun, banyak pula orang yang memandang rencana semuluk itu gak bakal berhasil.
Mereka lebih memilih untuk terus bekerja selama masih kuat. Hasil investasi sama sekali tidak digunakan untuk biaya hidup. Sifatnya tak lebih dari tambahan penghasilan yang nantinya kembali diinvestasikan. Ini akan membuat investasinya terus membesar.
Hasil investasi baru dipakai apabila mereka tak sanggup lagi bekerja. Sebagiannya lagi diniatkan untuk diwariskan setelah mereka meninggal dunia. Lantaran mereka gak ada rencana mengambil pensiun dini dan siap bekerja jauh lebih lama, investasi low risk low return pun dirasa sudah cukup.
Soal pilihan investasi setiap orang memang gak perlu dibanding-bandingkan. Jenis investasi yang paling tepat bagi seseorang adalah yang sesuai dengan profil risikonya. Bila seseorang tak berani berinvestasi dengan risiko tinggi, invetasi lainnya pun tak masalah. Berinvestasi apa saja tetap lebih baik daripada sama sekali tidak.