Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi saling membelakangi (pexels.com/RF._.studio)
ilustrasi saling membelakangi (pexels.com/RF._.studio)

Jangan buru-buru menyebut orang lain sebagai pecundang, hanya karena ia menolak untuk bertanding. Padahal, menurutmu dia mampu buat melawan seseorang dalam sebuah kompetisi.

Takut terhadap lawan hanyalah satu di antara begitu banyak kemungkinan penyebab dari keengganannya terlibat dalam kompetisi. Bahkan, jika ia sebelumnya terkenal sebagai penyuka tantangan, serta terbiasa mengikuti satu demi satu perlombaan seakan-akan tak pernah gentar.

Keputusannya kali ini untuk tidak turun ke arena boleh jadi sudah dipikirkan masak-masak. Dia lebih suka menyimpan energinya karena tujuh alasan di bawah ini.

1. Lawan sangat kuat

ilustrasi seorang pria (pexels.com/Ayoub Azag)

Kekuatan lawan menjadi sumber tekanan buatnya. Orang yang akan bertanding tidak bisa hanya bermodalkan nekat. Dia pun mesti pandai berhitung supaya hasilnya gak terlalu jauh memeleset dari harapan. Oleh karena itu, ia berusaha menilai baik kemampuannya sendiri maupun calon lawannya seobjektif mungkin.

Tidak ada orang yang berlomba dan menginginkan kekalahan. Sebisa mungkin hal ini coba dihindarinya dengan segala cara. Tak terkecuali mundur dari ajang pertandingan apabila kemungkinannya buat menang terlalu tipis. 

Itu seperti perjuangan yang sia-sia. Lebih baik mencari kesempatan lain untuk berhadapan dengan musuh yang lebih setara atau justru dia yang dominan. Mengukur kemampuan diri versus lawan merupakan strategi dasar buat mencapai kemenangan.

2. Malu jika gagal

ilustrasi menutupi wajah (pexels.com/Leah Newhouse)

Kali ini masalah utamanya bukan pada kekuatan lawan, melainkan fokus pada diri sendiri yang akan terlalu malu kalau sampai gagal. Siapa pun yang menjadi lawannya, dalam pertandingan pasti ada pihak yang menang dan kalah. Ketika seseorang yakin ia gak akan bisa menanggung rasa malu akibat kekalahan, mending mencari aman dengan tidak mengikuti pertandingan apa pun dan melawan siapa pun.

Ketidaksiapan menahan malu membuatnya berusaha mengamankan diri. Bayang-bayang rasa malu itu lebih besar daripada hitung-hitungannya tentang menang atau kalah. Sekalipun orang-orang di sekitar mencoba meyakinkannya buat tetap bertanding, rasa malu biasanya menjadi penghambat terbesar untuk seseorang maju.

Apabila pertandingan antartim barangkali dia lebih termotivasi untuk ikut. Kalah pun, ia tak menanggung rasa malunya sendirian. Dia dapat menyembunyikan diri di balik kawan-kawannya. Untuk kompetisi perorangan, ia selalu ragu dan dikalahkan oleh rasa malunya.

3. Hal yang diperebutkan gak worth it

ilustrasi seorang pria (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Setiap pertandingan tentu ada tujuannya karena mengikutinya saja perlu banyak energi bahkan kadang modal uang tergantung jenis kompetisinya. Maka siapa pun tentu mengharapkan sesuatu yang berharga sebagai hasilnya. Ukuran worth it atau tidaknya sesuatu yang diperebutkan tergantung pada masing-masing orang.

Hadiah berupa uang tunai misalnya, bisa terasa besar buat beberapa orang sehingga meningkatkan motivasinya dalam mengikuti pertandingan. Akan tetapi, bagi orang lain boleh jadi dianggap kecil sehingga dia ogah meramaikannya. Mungkin ia bisa mendapatkan uang sebesar itu dengan cara lain yang lebih mudah.

Meski begitu, ada pula orang gemar sekali bertanding bukan buat mengejar hadiahnya. Dia semata-mata suka melakukannya atau hadiah terbesarnya adalah saat dinyatakan sebagai pemenang. Itu memvalidasi kemampuannya yang tinggi.

4. Ada cara lain yang lebih baik untuk maju tanpa mengalahkan

ilustrasi seorang pria (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Mayoritas orang ingin memiliki hidup yang maju atau kian berkembang. Namun, apakah caranya harus dengan bertanding dan mengalahkan orang? Di sini dapat terjadi perbedaan pendapat. Buat sebagian orang, bertarung merupakan cara paling cepat untuk membuat langkah maju.

Tentu hanya jika mereka berhasil menjadi pemenangnya. Akan tetapi, seseorang yang gak suka terlihat menonjol dengan mengalahkan orang lain justru cenderung menghindarinya. Apakah ini berarti ia pasif dalam pengembangan diri?

Tidak demikian karena dia pun tetap berusaha meningkatkan kemampuan dirinya. Namun dibandingkan harus bersaing dengan orang lain, ia lebih suka ditunjuk oleh pihak yang memiliki kewenangan untuk itu atau memperoleh kepercayaan dari semua orang. Dia percaya bahwa kualitas diri yang mumpuni akan tetap unggul sekalipun gak ditunjukkan dalam pertandingan. 

5. Sedang sangat lelah atau fokus ke hal lain

ilustrasi seorang pria (pexels.com/Phong Vo)

Melawan satu orang saja bukan hal mudah, apalagi jika pesaingnya lebih banyak. Percuma kalau ia mengikuti pertandingan tanpa energi yang penuh. Dengan sisa-sisa tenaga dan pikiran, hasilnya seakan-akan sudah dapat dipastikan yaitu dia bakal kalah. Dalam kondisi capek, menunjukkan performa seperti hari-hari biasa saja gak gampang.

Apalagi bila ia mesti mengalahkan orang lain, salah-salah dia cuma tambah capek plus malu oleh kekalahan diri sendiri. Orang yang kerap menjadi juara malah biasanya amat mengatur waktu untuk bertanding atau rehat supaya penampilannya dalam setiap kompetisi selalu maksimal. Itulah kunci keberhasilannya sehingga ia tidak mau memforsir diri.

Selain perihal kelelahan, adanya prioritas lain juga membuat orang harus memilih. Tetap ikut pertandingan sama dengan mengacaukan prioritasnya. Ini semata-mata waktu yang gak tepat buat mengikuti kompetisi tersebut. Prioritas yang terbengkalai bakal berakibat lebih besar daripada sekadar dia melewatkan perlombaan.

6. Melawan kawan sendiri

ilustrasi persiapan lari (pexels.com/Gustavo Fring)

Orang yang sesungguhnya suka berkompetisi pun dapat memiliki beberapa prinsip yang dipegang erat. Misalnya, gak mau bertanding dengan kawan sendiri apa pun yang terjadi. Dia mengkhawatirkan hubungan pertemanan rusak hanya oleh kompetisi tersebut.

Ia membatasi pertandingan cuma buat melawan orang-orang di luar lingkar pertemanannya. Misalnya, mereka berasal dari lain organisasi. Ini membuatnya sangat bertaring di luar lingkungannya, tetapi di kandang sendiri tampak sama sekali tidak berbahaya.

Di organisasinya, dia lebih senang berperan sebagai suporter untuk semua orang. Ia bahagia melihat kawan-kawannya maju, seperti mengisi posisi pemimpin dan pengurus lainnya. Selagi dia sendiri merasa cukup sebagai anggota. Tapi di luar itu, ia amat siap mengalahkan siapa saja.

7. Waktu persiapannya mepet

ilustrasi seorang pria (pexels.com/Steshka Willems)

Bertanding tanpa persiapan sama dengan bersiap buat kalah. Meski masih ada waktu, jika terlalu mepet rasanya percuma. Terlebih pesaingnya terkenal tangguh. Persiapannya seharusnya sejak jauh-jauh waktu dan gak bisa mendadak.

Sekalipun pengalamannya juga sudah banyak, bukan berarti ia dapat bertanding kapan saja. Setiap lawan memiliki kekuatan dan kelemahan yang mesti dipelajari. Dengan begitu, dia mampu memanfaatkannya sebagai keuntungan diri. 

Belum lagi terkait hal yang dipertandingkan itu sendiri. Seperti kemampuan berdebat atau hal-hal lain yang setiapnya butuh persiapan tersendiri. Tiadanya waktu yang cukup untuk persiapan membuatnya gak berani mengikuti pertandingan daripada pulang dengan tangan kosong. 

Jika hanya asal bertanding tanpa memedulikan hasil serta akibatnya pada hubungan serta prioritas yang lain tentu mudah dilakukan. Namun, pertandingan seperti itu cenderung membuang-buang waktu, pikiran, serta tenaga.

Nanti seseorang yang sifatnya hanya meramaikan acara, FOMO, dan terlalu takut dianggap gak bernyali, bila mengabaikan tantangan dari lawan. Menolak bertanding dapat menjadi keputusan bijak, jika sudah melalui pertimbangan yang matang dan bukan sekadar takut gagal.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team