Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi seorang perempuan
ilustrasi seorang perempuan (pexels.com/cottonbro studio)

Intinya sih...

  • Saat kecil ingin cepat besar, saat besar ingin kembali kecil.

  • Dulu ingin mandiri, sekarang kadang ingin dimanja.

  • Dulu ingin punya banyak pilihan, sekarang pilihan membuat bingung.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Saat kecil, kita memandang orang dewasa adalah orang yang bebas, mandiri, dan punya kendali penuh atas hidupnya. Kita membayangkan masa depan penuh kebebasan tanpa aturan, tanpa PR, dan tanpa harus meminta izin untuk melakukan apa pun. Semua terlihat sederhana: capai tujuan, lalu bahagia selamanya.

Namun, begitu sampai di titik itu, kita disambut kenyataan yang jauh lebih kompleks. Kebebasan datang bersama tanggung jawab, pilihan justru menghadirkan kebingungan, dan pencapaian tidak selalu membawa rasa puas. Di sinilah kita mulai memahami ironi kehidupan, yaitu hal-hal yang dulu kita kejar mati-matian ternyata tidak selalu seindah bayangan, dan kadang kebahagiaan justru lahir dari arah yang tak pernah kita duga. Nah, apa saja sih ironi yang baru kita rasakan saat dewasa? Simak satu per satu di bawah ini, ya!

1. Saat kecil ingin cepat besar, saat besar ingin kembali kecil

ilustrasi anak-anak perempuan berfoto (pexels.com/Kampus Production)

Di masa kecil, kita mengira menjadi dewasa adalah tiket menuju kebebasan mutlak. Kita bisa tidur sesuka hati, makan apa yang diinginkan, dan bepergian tanpa izin. Kita membayangkan hidup tanpa PR, ujian, dan aturan orangtua akan jauh lebih menyenangkan. Dunia terasa seperti taman bermain yang menunggu untuk dijelajahi.

Namun, saat dewasa tiba, kita justru merindukan kesederhanaan masa lalu. Rindu tidur siang tanpa rasa bersalah, rindu percaya bahwa segalanya akan baik-baik saja, rindu masa di mana masalah terbesar adalah pekerjaan rumah yang belum selesai. Ironinya, kebebasan yang dulu kita dambakan datang bersama beban yang tak pernah kita duga. Dan dari sini kita belajar, setiap fase hidup punya pesonanya sendiri, yang baru kita sadari setelah ia berlalu.

2. Dulu ingin mandiri, sekarang kadang ingin dimanja

ilustrasi seorang perempuan kelelahan (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Waktu remaja, kita merasa sudah cukup kuat untuk hidup sendiri. Kita ingin membuktikan bahwa kita bisa mengambil keputusan, mengatur uang, bahkan menanggung konsekuensi tanpa bantuan siapa pun. Mandiri terasa seperti lambang kedewasaan, dan kita kejar itu habis-habisan.

Tapi setelah benar-benar mandiri, ada hari-hari di mana kita ingin menyerah sebentar. Kita ingin ada yang bilang, "gak apa-apa, istirahat saja." Kita rindu ada yang menyiapkan makanan, memikirkan kebutuhan kita, atau sekadar memeluk di saat lelah. Ironisnya, semakin mandiri kita, semakin kita sadar bahwa kehangatan dari ketergantungan sesekali bukan kelemahan, melainkan kebutuhan manusiawi.

3. Dulu ingin punya banyak pilihan, sekarang pilihan membuat bingung

ilustrasi seorang wanita berpikir (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Saat muda, kita membayangkan punya banyak pilihan berarti kebahagiaan. Bisa memilih pekerjaan, tempat tinggal, bahkan pasangan hidup sesuai keinginan terdengar seperti impian. Kita percaya bahwa semakin luas pilihan, semakin besar peluang untuk hidup ideal.

Ternyata, semakin banyak pilihan yang kita miliki, semakin sulit mengambil keputusan. Kita dihantui rasa takut salah pilih, khawatir menyesal, dan terus menunda. Kebebasan yang dulu kita idamkan ternyata bisa berubah jadi beban mental. Ironinya, batas justru kadang membantu kita fokus. Dan keberanian untuk memilih—meski tidak sempurna—sering kali lebih berharga daripada terus mencari yang terbaik.

4. Dulu mengejar uang, sekarang mengejar waktu

ilustrasi berjalan (pexels.com/Sora Shimazaki)

Saat awal bekerja, kita rela mengorbankan banyak hal demi penghasilan yang lebih besar. Lembur hingga larut malam, mengambil proyek tambahan, bahkan melepas akhir pekan untuk pekerjaan terasa wajar demi mencapai target. Kita percaya uang adalah kunci menuju kebebasan—bebas membeli apa saja, bepergian ke mana saja, dan memenuhi semua keinginan. Rasanya, selama uang terus mengalir, hidup akan aman dan bahagia.

Namun, seiring usia bertambah, perspektif itu perlahan berubah. Kita mulai sadar bahwa uang bisa dicari lagi, tetapi waktu yang hilang tidak akan pernah kembali. Saat kita akhirnya punya tabungan cukup untuk berlibur, mungkin tubuh sudah tak sekuat dulu atau orang yang ingin kita ajak sudah tiada. Ironisnya, di masa muda kita menukar waktu untuk uang, sementara di usia matang kita ingin menukar uang untuk mendapatkan waktu—sebuah transaksi yang tidak pernah bisa terjadi.

5. Dulu ingin bebas dari sekolah, sekarang rindu belajar tanpa tekanan

Ilustrasi sekolah (freepik.com/Odua)

Dulu, kita menganggap sekolah sebagai beban karena kita harus bangun pagi, mendapat tugas hingga menumpuk, dan menghadapi ujian menegangkan. Kita tak sabar ingin lulus agar bebas. Belajar hanya untuk nilai, bukan karena ingin.

Tapi setelah dewasa, kita merindukan masa di mana belajar tidak diiringi risiko besar. Kita ingin kembali membaca buku tanpa mikir biaya, mencoba hal baru tanpa takut rugi. Ironinya, ketika dewasa, belajar justru terasa mahal. Bukan hanya soal uang, tapi juga energi dan keberanian.

6. Dulu ingin dikenal banyak orang, sekarang ingin lingkaran kecil yang tulus

ilustrasi ngobrol dengan sahabat (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Dulu kita mungkin begitu terpikat dengan ide popularitas. Kita ingin hadir di banyak acara, dikenal di berbagai lingkaran, dan punya daftar panjang nama yang bisa kita sebut teman. Kita mengira, semakin banyak orang yang mengenal kita, semakin banyak pula yang menyayangi dan mendukung kita. Rasanya keren saat notifikasi tak berhenti berbunyi, atau saat selalu ada yang menyapa di mana pun kita berada. Popularitas seperti pencapaian yang menandakan kita berarti.

Tapi setelah menjalani hidup, kita pelan-pelan sadar bahwa jumlah bukan jaminan kualitas. Lingkaran kecil yang tulus ternyata jauh lebih berharga daripada ratusan kenalan yang hanya datang saat suasana sedang riang. Ironisnya, dikelilingi banyak orang bisa membuat kita kesepian, karena tak semua benar-benar ada. Dan saat kita mulai memilih hubungan yang lebih sedikit tapi lebih dalam, kita menemukan rasa aman yang dulu tak pernah kita bayangkan.

7. Dulu berharap semua orang suka, sekarang tahu itu mustahil

ilustrasi seorang perempuan (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Waktu muda, kita sering menyesuaikan diri demi diterima. Kita belajar menahan opini, mengubah gaya bicara, bahkan mengorbankan kenyamanan diri sendiri demi memastikan tidak ada yang membenci kita. Rasanya seperti misi penting: semua orang harus suka, semua harus menganggap kita menyenangkan. Kita percaya bahwa cinta universal adalah tanda keberhasilan hidup.

Namun, dewasa mengajarkan bahwa tidak peduli seberapa baik kita, akan selalu ada orang yang tidak suka—entah karena perbedaan nilai, perspektif, atau sekadar selera. Dan itu wajar. Ironisnya, ketika kita berhenti berusaha menyenangkan semua orang, kita justru merasa lebih bebas dan jujur. Kita mulai berani mengatakan "tidak", berani menunjukkan sisi asli kita, dan memilih berada di tengah orang-orang yang menghargai kita apa adanya. Nyaman dengan diri sendiri ternyata lebih membahagiakan daripada dicintai semua orang dengan versi yang bukan kita.

8. Dulu mengira hidup akan "tenang" di usia tertentu, sekarang tahu hidup selalu bergerak

ilustrasi perempuan berbaring (pexels.com/Asya Cusima)

Banyak dari kita percaya bahwa ada titik akhir yang stabil: ketika pekerjaan mapan, tabungan aman, pasangan setia, dan rumah nyaman, hidup akan bebas masalah. Kita membayangkan di usia tertentu, badai akan reda, dan kita akan menghabiskan hari-hari dengan tenang seperti di kartu pos. Ekspektasi ini membuat kita terus mengejar fase tenang itu dengan penuh harapan.

Namun, kenyataan berkata lain. Setiap fase hidup membawa tantangan baru, dari kesehatan, keluarga, perubahan karier, hingga kehilangan orang yang kita sayangi. Ironisnya, stabil bukan berarti tanpa masalah, melainkan kemampuan untuk menyesuaikan diri di tengah perubahan yang tak terhindarkan. Dan di situlah letak keindahan hidup: ia selalu bergerak, memberi kita kesempatan untuk tumbuh, beradaptasi, dan menemukan kedamaian di tengah dinamika yang tak pernah berhenti.

Itulah 8 ironi dalam hidup yang akan kita rasakan saat kita telah dewasa. Pada akhirnya, kedewasaan mengajarkan bahwa hidup tak selalu seperti yang kita bayangkan, dan justru di balik ironi itulah kebijaksanaan tumbuh.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team