8 Sikap Guru yang Buruk, Sepele tapi Bikin Kesal

Guru merupakan figur penting dalam proses belajar mengajar. Selain memberikan ilmu pengetahuan, guru juga berperan sebagai teladan bagi murid-muridnya. Sayangnya, beberapa guru justru bersikap kurang patut sebagai tenaga pendidik.
Artikel ini tidak membahas pelanggaran berat yang sudah wajar ditindak tegas. Namun, justru membahas sikap buruk guru yang terkesan sepele sehingga terjadi berulang tanpa penanganan. Meskipun sepele, hal tersebut bisa memberi dampak buruk yang signifikan bagi para anak didik. Oleh sebab itu, sikap buruk beberapa oknum guru ini perlu diketahui dan ditinggalkan.
1. Abai ketika melakukan kesalahan pengajaran

Mungkin tekanan menjadi sosok teladan, membuat para guru ingin terlihat sempurna di mata murid-muridnya. Itu sebabnya saat melakukan kesalahan pengajaran, mereka cenderung abai atau justru menutup-nutupi. Padahal bukan begitu teladan yang dimaksud.
Menjadi teladan bukan berarti seorang guru harus sempurna dalam segala aspek. Jika melakukan kesalahan, jujurlah! Sekalian bisa memberi contoh nyata kepada para murid bahwa melakukan kesalahan merupakan hal yang manusiawi. Jadilah teladan sebagai seseorang yang melakukan kesalahan dengan mengakui, meminta maaf, dan menawarkan kompensasi.
Kompensasinya bisa menjanjikan jika di waktu mendatang para murid menemukan kembali keraguan, hal tersebut bebas disuarakan dan akan didiskusikan bersama. Selain mengajarkan siswa-siswi belajar bersikap kritis akan segala informasi, hal tersebut juga berguna memberikan rasa aman kepada para murid untuk menyuarakan sesuatu. Kompensasi lainnya, jika kesalahan tersebut dilakukan saat memberikan kunci jawaban suatu soal maka revisi nilai berdasarkan jawaban hasil koreksi. Mungkin terdengar sepele terutama jika nilainya tidak berpengaruh langsung kepada rapor, tetapi hal tersebut bisa memberi kesan bahwa setiap upaya para murid selalu dihargai.
2. Membatasi ruang diskusi

Pernah bertemu guru yang sangat mewaspadai pertanyaan para muridnya? Entah mengapa mereka menganggap pertanyaan murid sebagai sebuah serangan. Akibatnya, mereka suka denial tanpa benar-benar mencerna pertanyaan yang diajukan.
Membatasi ruang diskusi yang demikian, sangat mematikan rasa ingin tahu dan kreativitas para murid. Padahal pertanyaan bisa jadi kesempatan untuk guru maupun murid mengembangkan pengetahuan mereka. Guru dan murid bisa membuka diskusi interaktif untuk membahas pro-kontra suatu masalah.
Guru bisa mengajarkan para muridnya bahwa tidak semua hal bisa dinilai sebatas benar dan salah. Kalaupun sang guru tidak merasa kompeten menjawab permasalahan yang ditanyakan, bisa arahkan sang murid untuk memperdalam bidang kajian tertentu. Setidaknya mereka jadi tahu bahwa permasalahannya bukan pada pertanyaan yang diajukan, tetapi kesiapan mereka menerima ilmu dengan kapasitas lebih tinggi.
3. Pilih kasih pada murid tertentu

Mengajarkan murid yang lebih pintar atau cepat menyerap materi yang diajarkan, tentu sangat meringankan beban guru sebagai tenaga pendidik. Itu sebabnya secara sadar maupun tak sadar guru menjadikan murid-murid tententu sebagai favorit mereka. Akan tetapi, usahakan hal tersebut tidak ditunjukkan secara terang-terangan.
Guru harus bisa menekan perasaan pribadi mereka dan menjaga prinsip untuk berlaku adil. Apresiasi murid unggulan dengan sewajarnya. Bagi murid-murid yang masih tertinggal, berikan motivasi bahwa mereka pun bisa berkembang menjadi lebih baik. Setiap orang punya kecepatan sendiri-sendiri yang sangat fluktuatif. Kesuksesan maupun kegagalan juga hanya salah satu titik dari proses berkelanjutan dan bukan hasil mutlak yang mendefinisikan kualitas seseorang.
4. Suka membanding-bandingkan

Memberi contoh dengan membanding-bandingkan itu memang lebih mudah dan praktis. Bahkan banyak penelitian yang menggunakan metode perbandingan karena beragam manfaatnya. Hanya saja sebagai seorang guru, praktik membanding-bandingkan para murid ini harus dilakukan dengan hati-hati.
Tiap murid adalah individu spesial yang tidak bisa disamakan produk masal dari pabrik. Jika niatnya untuk memotivasi, sadari bahwa tiap murid punya tujuan hidup yang berbeda. Jangan berlebihan apalagi keterusan. Lebih baik lagi jika bisa mengajak para murid mengenali diri sendiri. Menemukan kelebihan dan kekurangan, lalu membuat perencanaan langkah-langkah yang harus diambil untuk mencapai tujuannya.
5. Korupsi waktu belajar dengan berbagi kisah tak penting

Korupsi waktu adalah korupsi yang paling sering dilakukan guru, entah disengaja karena tabiat buruk gurunya atau tak disengaja karena tuntutan tugas lainnya. Jika korupsi waktu dengan keterlambatan atau kelas kosong, setidaknya para murid punya kebebasan memilih kegiatan lain yang lebih bermanfaat. Akan tetapi jika korupsi waktu belajar dengan berbagi kisah tak penting atau nirfaedah dalam durasi waktu yang tak singkat, itu jauh lebih buruk. Murid tidak punya pilihan lain selain mendengarkan agar tidak dianggap bersikap kurang sopan.
Selain membuang-buang waktu, hal itu juga merusak nuansa belajar. Bukankah lebih baik mengawali kelas dengan mengulas ulang materi sebelumnya dan menanyakan adakah hal-hal yang masih belum dipahami? Otak yang siap belajar kadang tercipta dari kebiasaan-kebiasaan sepele seperti terbiasa membangun atau menjaga nuansa yang cocok untuk belajar.
6. Sering memberi tugas, jarang mengajar

Memberi murid tugas agar mereka bisa mengasah kemampuan berpikir mandiri memang tidak salah. Akan tetapi jika hanya terus-menerus memberi tugas tanpa menunjukkan letak salah dan benar tugas-tugas yang dikumpulkan, bagaimana cara murid bisa berkembang? Perkembangan seseorang dalam belajar tidak hanya dari tahu tidaknya jawaban mereka bernilai salah atau benar.
Mereka juga perlu tahu alasannya. Biarkan mereka menelusuri ulang cara berpikir sebelumnya yang membuat mereka memunculkan jawaban yang salah atau benar. Sebab jika semua harus dicari tahu sendiri oleh para murid, maka tenaga pendidik telah kehilangan fungsi utamanya.
7. Melakukan kekerasan fisik atau verbal

Kekerasan fisik atau verbal di sini bukan di tingkat membahayakan yang jelas disepakati sebagai pelanggaran hukum. Kekerasan yang dimaksud lebih mirip seperti kebiasaan buruk dalam mengajar yang telah turun-temurun. Beberapa bentuk seperti menggunakan penggaris atau tuding (kayu runcing yang dulu sering digunakan guru menunjuk tulisan pada papan tulis) untuk memukul syukurlah sudah tidak lagi diperkenankan.
Akan tetapi perilaku kekerasan seperti menoyor kepala dengan jari kadang lolos dari perhatian. Padahal itu juga salah satu bentuk kekerasan pengajaran. Kekerasan dalam bentuk verbal juga salah satu kekerasan yang minim perhatian. Mengatai murid bodoh, malas, atau penyematan panggilan yang merendahkan termasuk kekerasan verbal. Bukan berarti penggunaan kata ‘bodoh’ atau ‘malas’ menjadi terlarang, tetapi penggunaannya harus tepat.
8. Memarahi murid di depan kelas

Memberi contoh sering dijadikan alasan seorang guru memarahi muridnya di depan umum atau di depan murid-murid lainnya. Mungkin hal tersebut efektif membuat jera, tetapi jera yang bagaimana dulu? Apakah guru hanya ingin mengajarkan bahwa berbuat kesalahan membuat seseorang pantas dipermalukan? Mereka mungkin takut berbuat salah tetapi bukan karena perbuatan buruknya, melainkan hanya tak ingin merasa diintimidasi.
Jika ingin benar-benar memberi pengajaran dan mengubah perbuatan buruk siswa-siswi, coba temui secara persoal. Breakdown tindakan tersebut dari motivasi yang melatarbelakangi, pandangan sang murid terhadap perilaku tersebut, dan temukan akar masalah yang sesungguhnya. Murid yang telat misalnya, coba cari tahu apakah karena dia punya kebiasaan bangun kesiangan, apakah kondisi di dalam keluarganya kurang mendukung, dst. Bukan hanya mengajarkan bahwa suatu perbuatan itu buruk, tetapi guru yang baik juga membantu sang murid menemukan solusi untuk mengatasinya.
Sikap buruk seorang guru dalam pengajarannya, secara langsung maupun tak langsung akan memengaruhi murid baik dalam perkembangan akademik maupun emosional. Oleh sebab itu penting bagi seorang guru menyadari kebiasaan-kebiasaan sepele yang dinilai buruk tadi untuk bahan evaluasi diri. Dengan meningkatkan kualitas diri sebagai tenaga pendidik, murid pun bisa belajar dengan nyaman, optimal, dan mencapai potensi terbaik mereka.