Seorang Guru Tak Butuh Ucapan di Media Sosial, Tapi Kesuksesan Kita Sebagai Manusia Terpelajar

Pahlawan yang sering kita lupakan saat sudah besar.

Hampir sebagian besar dari kita, bisa pandai membaca berkat dari guru di sekolah. Memang, sesekali orangtua mengajarkan kita mengeja aksara di rumah. Tapi waktu yang disediakan tak seberapa dibandingkan lamanya kamu duduk di balik meja. Seharian, mendengarkan guru mengetuk-ngetuk papan, memperkenalkan kata, mencontohkan bagaimana mengeja, hingga akhirnya kita bisa bikin sebuah makalah.

Saking pentingnya peran seorang guru bagi bangsa, pendahulu kita menyebut mereka "pahlawan tanpa tanda jasa", sosok yang tanpa pamrih untuk mendidik kita. Alih-alih menuruti aturan main, sebagian besar dari kita tanpa sengaja mengartikan hal ini dengan definisi lain. Hingga menganggapnya jadi sosok penting yang tak penting.  

Sebagai anak yang tak suka dikekang, sesekali kita meradang dengan peraturan-peraturan ketat yang guru terapkan.

Seorang Guru Tak Butuh Ucapan di Media Sosial, Tapi Kesuksesan Kita Sebagai Manusia TerpelajarSumber gambar : instagram.com/hanifaryr

Sudah menjadi naluri seorang anak untuk tidak ingin dikekang. Bukan hanya perihal jam sekolah, tapi materi pelajaran yang banyak dan pekerjaan rumah yang selalu jadi hadiah pulang juga menjadi beban. Belum lagi jadwal aktivitas segambreng yang seolah gak pernah usai. 

Jika saat sekolah dasar kita masih lebih banyak menurut, semakin dewasa kita justru mencari-cari penangkal. Kita menjadi pandai untuk menggerutu dengan banyaknya ilmu yang diajarkan. Kita menjadi teramat "nakal" untuk bisa ikut aturan. Perlahan, bolos atau titip absen juga jadi cara jitu untuk mengelabui para guru.   

Dengan mudah stigma : dia yang memberikan nilai merah itu guru jahat, dia yang memberimu nilai A adalah guru yang pantas dipuja.

Seorang Guru Tak Butuh Ucapan di Media Sosial, Tapi Kesuksesan Kita Sebagai Manusia TerpelajarSumber gambar : instagram.com/pena_liswanti/
Dalam sekolah, nilai digunakan sebagai parameter pendidikan. Diakui, tak semua pelajaran itu mudah diserap, terkadang kita harus masuk lubang gagal dan mendapatkan nilai merah. Alih-alih sadar diri dengan kemampuan sendiri. Dengan gampang kita cemberut dan menyumpahi guru-guru kita memberi nilai rendah, sampai terjun bebas di bawah ekspetasi kita. Sambil marah-marah, 

"Gurunya saja yang pelit nilai,"
"Gurunya susah, nyebelin banget. Kasih nilai A aja gak mau."
"Gurunya terlalu perfeksionis."

Hinga akhirnya, kita menjadi "pandai" mengklasifikasikan macam-macam guru. Guru yang memberi nilai E mendapat gelar sebagai guru yang pantas dibenci, sedangkan guru yang ringan memberi nilai A adalah guru pujaan yang pantas dipuji.

Guru bukan manusia maha benar. Tapi tidakkah kita sedikit menaruh rasa hormat atas apa yang meraka lakukan?

Seorang Guru Tak Butuh Ucapan di Media Sosial, Tapi Kesuksesan Kita Sebagai Manusia TerpelajarSumber gambar : instagram.com/ciplukndutz

dm-player

Bagi para siswa, urusan nilai memang hal sensitif. Selain menjadi parameter hasil belajar, sekarang angka itu juga menjadi parameter menilai guru. Padahal, sebenarnya angka adalah paramater sampingan dari keberhasilan pendidikan.

Pola pikir, nilai, dan pelajaran moral diajarkan oleh guru dengan beragai cara, tak terkecuali dengan nilai merah yang diberikan. Seolah dia berkata "jadilah siswa rendah hati", "kau harus berjuang lebih keras lagi".

Bagi kita, mungkin nilai memang segalanya, tapi barangkali kita lupa melihat bagaimana dia berjuang membuat kita menjadi lebih kuat dan berpikiran terbuka sebagai seorang manusia.

Saat peringatan hari gurulah baru kita ingat : ada guru-guru yang membuat kita bisa berjalan sejauh ini hingga sekarang.

Seorang Guru Tak Butuh Ucapan di Media Sosial, Tapi Kesuksesan Kita Sebagai Manusia TerpelajarSumber gambar : instagram.com/renita_rsd

Barangkali sekarang salah satu dari kita sudah menjadi mahasiswa universitas ternama, bekerja di perusahaan besar, menjadi terkenal, pengusaha sukses atau jadi cendekiawan hebat.

Tepat tanggal 25 november, media massa, iklan, banyak menampilkan hari guru. Tidak heran kita juga akan teringat keteladan mereka. Kita terseret pada kenangan-kenangan di belakang saat masih jadi pelajar.  Lalu kita mengucapkan hari guru di media sosial. Dan lalu, guru menjadi terasa penting hanya saat hari penting.  Tapi sayang, rasa terima kasih itu tak pernah sampai ke telinganya.

Karena banyak guru-guru kita yang hampir renta tidak punya akun media sosial di dunia maya.

Kalau boleh kembali ke masa lalu, mungkin kita lebih memilih rela dihukum berkali-kali karena sudah jadi murid durhaka yang tak tahu terima kasih.

Seorang Guru Tak Butuh Ucapan di Media Sosial, Tapi Kesuksesan Kita Sebagai Manusia TerpelajarSumber gambar : instagram.com/zahra_firdausi/

Banyak dari kita mungkin tak tahu bagaimana harus berterima kasih pada mereka. Tak melulu harus mengirimi kado mahal atau memberikan barang-barang mewah. Jauh dilubuk hati seorang guru, mereka hanya ingin menjadi orang yang berguna bagi bangsa.

Sebagai rasa terima kasih, barangkali kita hanya perlu terus berusaha menebar kebaikan. Turun tangan dan memperbaiki keadaan. Mencerahkan tempat-tempat yang masih petang. Menyelesaikan permasalahan. Bukan hanya perkara praktikal, tapi juga moral.

Konon katanya, ilmu yang bermanfaat bisa menjadi sungai segar yang bermanfaat untuk banyak hal. Hal ini pasti bikin guru kita senang.

Topik:

Berita Terkini Lainnya