TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Behind The Scenes Persiapan Kostum dan Makeup Death on The Nile

Ada berlian khusus yang dibuat untuk film ini

Death on The Nile (dok. Disney)

Bulan ini, dunia perfilman dihebohkan dengan kehadiran karya terbaru keluaran Disney. Setelah curi atensi lewat "Murders on The Orient Express", Kenneth Branagh kembali hipnotis penonton dengan sekuelnya, yakni "Death on The Nile". Berangkat dari adaptasi novel Agatha Christie, film bergenre misteri ini mengambil setting waktu tahun 1930-an yang sangat klasik.

Perpaduan kisah cinta yang rumit dan pembunuhan dikemas dengan harmonis, sehingga sayang untuk kamu lewatkan. Rasanya kurang lengkap bila kamu gak tahu persiapan seluruh kostum hingga hair dan makeup dalam "Death on The Nile".

Cari tahu ceritanya dari wawancara eksklusif IDN Times bersama Paco Delgado (Costume Designer Death on The Nile) dan Wakana Yoshihara (Hair and Makeup Designer Death on The Nile) pada Jumat (4/2/2022), pukul 20.30 WIB lalu. Simak sampai habis, ya!

1. Ada arahan yang menarik dari Kenneth untuk kostum dalam film ini

Death on The Nile (dok. Disney)

"Death on The Nile" merupakan pengalaman kerja sama pertama Paco Delgado dengan Kenneth Branagh. Berbeda dengan Wakana Yoshihara yang sudah terlibat dalam beberapa project bersama Kenneth, termasuk "Murders on The Orient Express".

"Hal pertama yang Kenneth Branagh katakan padaku bahwa dia ingin memiliki film yang menarik bagi penonton meskipun itu film periode yang diambil sekitar tahun 1937-1938. Dia ingin, seperti, entah bagaimana membuat semua kostum ini tetap bernuansa 30-an. Dia menginginkan kostum ini memiliki nuansa kontemporer," kata Paco.

Inspirasi untuk menciptakan setiap karakter dalam film ini selalu berubah. Hal ini dikarenakan Paco harus menyesuaikan konstum dengan kepribadian setiap karakter. Sebanyak 150 kostum telah dibuatnya, 92 persen manual dengan tangan.

"Untuk laki-laki, Kenneth mengatakan padaku bahwa ia ingin kostum yang menunjukkan nuansa liburan. Kita pakai kain linen ringan, warna-warna terang, dan colourful juga.  Tidak seperti film periode normal di mana semua pria berpakaian dalam warna gelap, cokelat, abu-abu, atau biru tua," lanjutnya.

Dalam film ini, penonton seperti diajak berjalan-jalan mengelilingi Mesir. Film ini menceritakan perjalanan Hercule Poirot yang berada dalam kapal pesiar menuju Mesir. Bersamaan dengan pasangan baru, Linnet Ridgeway (Gal Gadot) dan Armie Hammer (Simon Doyle), yang melakukan perjalanan menyusuri sungai Nil.

Menengok setting waktu pada zaman dulu, mungkin banyak yang menggunakan warna gelap. Namun, Paco melihat latar tempat dalam film ini cukup hangat sehingga ia menciptakan pakaian dengan warna cerah juga.

"Pakaian mereka memiliki warna merah, oranye , atau warna yang berbeda dari yang apa yang bisa kamu pikirkan tentang pakaian lelaki pada masa itu," ucapnya peraih beragam penghargaan ini.

2. Warna yang digunakan dalam kostum mewakili kepribadian setiap tokoh

Death on The Nile (dok. Disney)

Setiap tokoh dalam film ini pastinya memiliki karakter yang berbeda. Linnet Ridgeway merupakan pewaris dari keluarga terkemuka dan dihormati yang modis dan ceria. Banyak orang iri karena kekayaannya walaupun Linnet terkenal ramah dan percaya diri.

"Dia sosok yang egois, tapi di saat yang sama, hatinya begitu besar. Dia terbiasa memiliki segala sesuatu dengan caranya sendiri. Ada kekosongan yang besar dalam dirinya," ujar Kenneth dalam pernyataan yang diterima IDN Times.

Untuk itu, Paco membuat style Linnet seperti bintang Hollywood, tetapi dengan karakter yang rapuh. Beberapa kostum Linnet didominasi oleh warna-warna pucat atau peachy

Rosalie lebih down to earth sehingga pakaiannya tampak formal. Teman Hercule Poirot, Euphemia Bouc, sering menggunakan trousers yang mengesankan sophisticated dan elegan di saat bersamaan. Salome Otterbourne identik dengan gaya bohemian.

"Dia (Linnet_red) adalah seorang wanita kaya, cerdas, tetapi kesepian dalam hidupnya. Aku merasa perlu menunjukkan kerentanan ini. Untuk Emma Mackey, dia berperan sebagai Jacqueline de Bellefort, aku ingin menunjukkan karakter yang lebih kuat, tergerak oleh gairah. Untuk itu, bajunya terlihat lebih ‘kuat’. Kita memakai warna merah, merah marun, warna yang amat hangat untuk menunjukkan sisi passionate,"  tutur Paco.

Karakter Jacqueline ini cerdas, ia merupakan perempuan dari keluarga aristrokat Prancis yang jatuh miskin. Sosoknya terlihat mandiri, kuat, tangguh, percaya diri, padahal ia 'kesakitan' akibat pengkhianatan Linnet dan Armie. Sehingga merah paling sesuai menunjukkan sisi itu.

Sementara warna cerah dipakai untuk perasaan senang dan percaya diri. Kebalikannya, warna hitam atau muted lebih menonjolkan kelemahan atau sedikit down.

"Aku pikir warna memiliki dampak dramatis yang luar biasa dalam film, dalam segala hal, kehidupan juga. Gak cuma bentuk dan bahannya, tapi warna itu juga menekankan siapa karakter itu dan bagaimana perasaannya," terangnya.

Pakaian dalam film ini juga mengadopsi palet warna musim panas dengan tipe kain yang ringan. Konsisten dengan palet warna kabin kapal.

"Untuk adegan di luar ruangan, warnanya udah ditentukan, seperti yellowy-brownish dari warna bumi dan biru dari warna langit. Ketika masuk ke dalam ruangan, kamu bisa manipulasi palet warna dari dinding, perabotan, hingga taplak meja, dan hal-hal semacam itu," imbuhnya lagi.

Baca Juga: 5 Pelajaran Cinta dari Film Death on the Nile, Penuh Pengorbanan!

3. Tantangan terbesar dalam pembuatan kostum adalah mencari kain yang tepat

Death on The Nile (dok. Disney)

"Death on The Nile" membawa penonton kembali ke tahun 1930-an. Tren fashion pada zaman sekarang dan 1930-an sangat berbeda. Paco mengaku kesulitan mencari kain yang tepat untuk setiap kostum. Pasalnya, ia banyak bermain dengan tekstur dan warna.

"Hal pertama yang sangat sulit ialah memproduksi kain. Karena kostum tahun 1930-an itu berbeda dengan kostum yang kita miliki atau pakai saat ini. Kain sutranya juga sangat berbeda. Di tahun 1930-an itu banyak pakai sifon dan crepe. Mereka punya bobot tertentu, tapi gak berlaku untuk saat ini," ungkapnya.

Menurut desainer asal Spanyol ini, kain yang kurang tepat bisa memengaruhi cara berpakaian tokoh tersebut. Periode waktu itu juga memengaruhi bagaimana cara orang dalam menenun kain. Namun, Paco bersyukur punya tim yang hebat dan terus termotivasi untuk menginvestigasi bagaimana kostum 30-an dipakai selama 6 bulan proses berat ini.

Untuk menonjolkan kesan kontemporer, Paco banyak menggunakan kain crepe, sutradan sifon. Semuanya berawal dari warna-warna polos yang kemudian diwarnai.

"Kita punya tim dyeing yang akan menciptakan warna baru dengan shades yang keren. Lalu untuk menunjukkan tahun 30-an, aku menggunakan kain lamé," katanya.

Pada masa itu, sebagian besar kain yang menonjolkan efek metallic adalah kain lamé yang terbuat dari serat logam. Kini, banyak kain ini terbuat dari bahan sintesis atau plastik. Walaupun tetap dipakai hingga kini, Paco tetap merasa sulit untuk mendapatkan kain ini karena output-nya tidak sama.

"Kainnya tidak memiliki gerakan (atau efek) yang sama. Kita mencari kain ini dari banyak tempat, dari Asia, USA, Perancis, Italia. That was very challenging but interesting," tambahnya.

80 persen dari final look itu ditentukan dari kostum. Karenanya, peraih nominasi Oscar ini gak main-main dalam menentukan kain untukmenegaskan kesan glamor. Walaupun dress sama tapi perbedaan kain juga menghasilkan look yang berbeda.

"Aku selalu bilang bahwa kain itu berperan 80 persen dari keseluruhan look. Kalau kamu salah memilih kain, seringkali berakhir menjadi bencana. Jadi memang sangat penting memilih kain yang benar untuk segala sesuatunya. Terkadang memang rasanya mustahil untuk menemukan kain yang punya nuansa sama dengan kain asli 1930-an," jelasnya.

4. Ini dia referensi dan inspirasi di balik seluruh makeup dan hairstyle pemain Death on The Nile

Death on The Nile (dok. Disney)

Sebagai seseorang yang pernah bekerja untuk adaptasi novel Agatha Christie, Wakana memperkenalkan berbagai jenis gaya rambut dan riasan. Perbedaan cerita, lokasi, dan setting waktu membuatnya ingin menunjukkan hal yang berbeda dari "Murders on The Orient Express". 

Sejak pertama kali mendapatkan naskah, Wakana Yoshihara segera melakukan riset untuk mencari tahu orang-orang dalam sejarah yang memiliki hal serupa.

"Latar belakang, sesuatu yang sangat mirip dengan kebiasaan, mirip dengan karakter dan saya pikir ini cukup mudah. Jadi ketika aku melihat naskah, aku butuh waktu yang tepat untuk bisa menemukan look yang sesuai dan mempresentasikannya pada Kenneth," ceritanya.

Gak mudah bagi Wakana untuk menentukan look karena ia perlu mempresentasikannya pada pemeran. Dalam film ini, ia gak ingin setiap karakter memiliki gaya rambut atau makeup yang sama. Untuk itu, ia dan tim berusaha menghubungkan dengan kepribadian tokoh.

Salah satu hal yang menyulitkannya adalah kurangnya referensi orang berkulit hitam untuk menentukan style Rosalie Otterbourne (Letitia Wright). Ada kalanya apa yang dipersiapkannya kurang cocok dan ia perlu mempersiapkan look lain sampai cocok.

5. Selalu ada sentuhan modern dan detail apik dalam setiap look pemain

Death on The Nile (dok. Disney)

Merujuk pada era fashion dan fotografi tahun 1930-an itu masih didominasi hitam dan putih. Hal ini membuat Wakana berpikir bahwa lighting berperan besar dalam produksi film. Alhasil, riasannya pun menyesuaikan kondisi itu.

"Ketika aku melihat filmnya, ada sentuhan tahun 70-an juga.  Kita membawa gaya rambut modern twist untuk kesan yang atraktif. Dia (Kenneth_red) mengatakan di awal bahwa ia ingin orang-orang ini tetap realistis tapi juga atraktif. Mungkin idenya keluar dari majalah fashion daripada foto vintage yang aneh. Untuk gaya rambutnya, aku masih punya banyak referensi modern hairstyle," jelas Wakana.

Wakana melihat bahwa gaya fashion di pertengahan tahun 1930-an ini berubah. Sebagai tokoh yang jadi center, Hercule Poirot punya model kumis yang unik. Hal ini yang coba dipertahankan oleh Wakana.

Kumis palsu dan wig dipastikan Wakana memberikan hasil yang signifikan, tapi nyaman dipakai. Misalnya bentuk kumis Poirot, butuh waktu 4 bulan untuk menemukan bentuk kumis yang cocok. Pilihannya jatuh pada kumis yang membuat Poirot terlihat tersenyum dan lebih senang karena ia sedang berlibur. 

"Aku membuat beberapa prototype untuk kumis. Ku rasa aku membuatnya sekitar 5 buah kumis palsu untuk mencari tahu warna, bentuk, panjang yang paling sesuai. Meski itu cuma kumis, tapi kamu bisa membuat tampilan jadi berbeda dari bentuknya saja," ulasnya.

Detail modern yang gak kalah menuai perhatian adalah kalung berlian. Ada adegan di mana Linnet Ridgeway menuruni anak tangga dengan Armie Hammer (Simon Doyle).

Terlihat jelas bahwa gadis kaya raya ini mengenakan berlian kuning. Berlian tersebut merupakan berlian replika dari The Tiffany Diamond senilai 128,54 karat yang sangat langka.

6. Sama halnya dengan kostum, riasan juga punya turning point

Death on The Nile (dok. Disney)

Bicara soal fashion, Paco sempat menuturkan bahwa ada pengaruh besar dari pemilihan bahan dan warna terhadap karakter setiap tokoh. Kostum "Death on The Nile" gak hanya menunjukkan hierarki sosial pada tahun itu.

Menanggapi hal itu, Wakana pun menjelaskan bahwa sifat, emosi, atau perasaan itu sangat berpengaruh terhadap rancangan makeup dan hairstyle. Sebagai film bergenre misteri dan triller, film ini mengusung plot yang membuat kita memahami emosi manusia. Di sisi lain juga membuatmu menebak-nebak tapi tetap dibumbui pesan moral di dalamnya.

"Ada turning point di film ini. Sampai pada titik ini, semuanya terlihat senang dan menikmati masa liburan. Namun setelah ada pembunuh, semua orang tampak stres. Sampai pada akhir film, aku membuat semua orang tampil acak-acakan. Terlihat mulai gak rapi, rambutnya gak bisa relaks, dan makeup-nya udah gak bisa terlalu bahagia. Aku ingin membuat sesuatu yang berbeda," ujarnya lagi. 

Baca Juga: 5 Fakta Film Death on the Nile, Misteri Pembunuhan di Sungai Nil

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya