TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Perubahan Itu Dimulai dari Mansinam

Bhrisco Jordy berjuang untuk pendidikan anak-anak Papua

Papua Future Project bersama anak-anak Papua (instagram.com/papuafutureproject)

Tanah Papua gak cuma kaya akan adat istiadat, budaya, dan alamnya indah, tapi anak-anak Papua adalah generasi muda yang punya potensi untuk memajukan daerahnya. Namun sayangnya, mereka kesulitan dalam akses pendidikan hingga kesehatan. Bahkan, gak sedikit anak-anak yang masih buta literasi.

Hal ini pula yang dirasakan betul oleh Bhrisco Jordy Dudi Padatu, seorang aktivis pendidikan sekaligus founder Papua Future Project pada tahun 2020 silam. Dirinya berbagi kisah tentang bagaimana perjuangannya untuk anak-anak Papua agar bisa mendapatkan akses pendidikan yang layak dan merata.

Untuk melancarkan misi itu, tentu Jordy menghadapi banyak persoalan dan tantangan. Salah satunya seperti akses jalan. Setiap kali Jordy berangkat mengajar harus memakai perahu. Bahkan, kalau cuaca sedang buruk, semua kegiatan mengajar bisa tertunda. Namun penggagas Papua Future Project ini gak pernah patah arang.

1. Papua Future Project memberikan akses pendidikan yang inklusif

Jordy menceritakan dongeng ke anak-anak (instagram.com/papuafutureproject)

Banyak cerita saat Jordy mendirikan Papua Future Project dan tentunya gak gampang karena sempat kesulitan dana. Bahkan dia sempat bekerja sebagai barista di restoran selama 2-3 bulan untuk mencari modal membangun komunitas ini.

“Papua Future Project ini awalnya hanya berbasis 5 orang saja waktu itu. Saat ini kita sudah ada sekitar 50 yang aktif ya dari generasi batch kali ini dari seluruh Indonesia,” jelas Jordy.

Papua Future Project merupakan komunitas untuk memberikan pendidikan yang lebih inklusif khususnya kepada anak-anak asli Papua yang tinggal di daerah 3T (Terdepan, Terpencil, Tertinggal). Saat ini salah satu yang menjadi fokusnya adalah Pulau Mansinam, Papua Barat.

Jordy yang merupakan peraih 13th SATU Indonesia Awards 2022 dari Astra Indonesia ini juga berharap dengan adanya Papua Future Project, bisa membantu seluruh anak-anak Papua mendapatkan akses pendidikan hingga kesehatan. Sebab, selama dirinya hidup 22 tahun di Papua, dua keterbatasan tersebut kerap dia alami.

2. Mansinam dinilai tempat yang tepat untuk memulai perubahan itu

Bhrisco Jordy bersama salah satu murid (instagram.com/papuafutureproject)

Bukan tanpa alasan Jordy memilih Pulau Mansinam untuk memulai perubahan pendidikan di tanah Papua. Pulau ini sangat bersejarah dengan peradaban orang asli Papua sekaligus tempat pertama kali Injil masuk ke Papua.

Oleh karenanya, mereka yang sebelumnya tidak mengenal Tuhan, kini mengenalnya. Pulau ini juga menjadi tonggak sejarah pada peradaban orang Papua. Namun, meskipun eksotisme alamnya, budaya, dan sejarahnya begitu luar biasa, berbanding terbalik dengan pendidikannya.

Kesenjangan pendidikan di perkotaan dan daerah di Pulau Mansinam begitu signifikan. Padahal lokasinya tak jauh dari kota Manokwari, tapi anak-anak di pulau ini akses pendidikannya masih sangat terbatas.

“Itulah kenapa kita memilih Pulau Mansinam karena tempat inilah yang menurut saya menjadi tempat yang baik untuk men-start project pendidikan,” ujar Jordy.

Masyarakat di pulau ini kental akan nilai-nilai adat. Jordy ingin mempertahankan hal tersebut agar tidak terkikis oleh perkembangan zaman. Cara yang ia tempuh tentu saja melalui pendidikan sejak anak-anak.

Harapannya, ke depan agar mereka bisa mempertahankan tradisinya. Sebab masyarakat adat di Mansinam hidup dari alam, jadi adat istiadatnya sangat berlaku.

Baca Juga: Lahirnya KAKG Jadi Harapan Baru bagi Korban Kekerasan Seksual

3. Pendidikan untuk anak-anak di Papua gak hanya tentang akademis saja, tapi lebih dari itu

Bhrisco Jordy naik perahu mengantar anak-anak sekolah (instagram.com/papuafutureproject)

Masyarakat Papua hidup dari tanah dan laut. Jika tanah dan laut mereka rusak, mereka akan susah mencari makan. Untuk bekerja di perusahaan dan cara berjualan atau bercocok tanam pun mereka tidak tahu.

Itulah kenapa Jordy sedikit ‘memodifikasi’ model pendidikannya untuk anak-anak Papua. Kurikulum yang diberikan gak hanya berfokus tentang pendidikan akademis saja, tapi Papua Future Project juga mengajarkan kepada anak-anak bagaimana mereka survive atau bertahan hidup.

“Pendidikan yang kami berikan itu bukan hanya dari secarik kertas saja, tapi bagaimana pendidikan itu bisa hidup dan memengaruhi masyarakat di sini, itulah yang kami sebut sebagai kurikulum kontekstual,” jelas Jordy.

Kurikulum kontekstual ini mengintegrasikan nilai-nilai budaya, adat istiadat ke dalam sebuah pembelajaran. Anak-anak juga tidak dituntut harus mengikuti standar yang ada di pusat. Jadi betul-betul menyesuaikan kemampuan anak-anak dan kebutuhannya seperti apa. Dengan begitu, permasalahan anak-anak di Papua ini akan terlihat.

“Kalau dari Papua sendiri akar rumput permasalahannya literasi dan baca tulis, mungkin membangun sekolah dan memberikan komputer segala macem itu belum dibutuhkan untuk saat ini,” terang Jordy.

4. Stigma anak-anak perempuan dan berkebutuhan khusus

Jordy bersama anak-anak (instagram.com/papuafutureproject)

Papua Future Project membangun program-program yang berkolaborasi dengan Unicef Indonesia dan Kementerian Kesehatan. Jadi gak cuma soal pendidikan, tapi akses kesehatan juga didorong untuk anak-anak Papua. Namun dalam menjalannya, program ini sering kali berbenturan dengan tradisi dan stigma-stigma di tengah masyarakat, khususnya bagi anak-anak perempuan dan berkebutuhan khusus.

Jordy menerangkan di Papua masih ada tradisi khususnya bagi anak-anak perempuan, bahwa mereka tidak perlu bersekolah. Lalu jika dianggap usia sudah cukup, mereka akan menikah muda. Adat semacam ini masih sering terjadi di masyarakat Papua.

“Kami benar-benar berusaha banget bagaimana anak-anak perempuan juga memiliki hak yang sama untuk bersekolah,” tuturnya.

Jordy pun mencoba untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat kalau menikah muda itu ada risiko-risikonya. Misalnya menikah di usia muda risikonya angka kematian tinggi, secara mental belum siap menjadi ibu, fisik dan kesehatan reproduksi juga belum siap, dan seterusnya. Sehingga dengan penjelasan seperti ini, diharapkan bisa memberi pembelajaran dan edukasi bagi masyarakat di Papua.

Selain itu, Jordy bersama Papua Future Project juga memberikan perhatian kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Sebab, masyarakat di Papua masih ada beberapa orang yang punya stigma kurang tepat bagi anak-anak disabilitas.

“Masyarakat di sini masih memiliki stigma atau doktrin bahwa anak tersebut adalah disgrace, anak-anak tersebut membawa karma buruk dari orangtua sebelumnya, padahal tidak seperti itu,” terang Jordy.

Karena hal ini pula, Jordy mencoba untuk memberikan wadah dan perhatian lebih agar anak-anak berkebutuhan khusus. Sehingga mereka juga bisa mengembangkan potensinya seperti anak-anak lain.

“Itulah kenapa Papua Future Project bekerja sama dengan berbagai NGO (non-governmental organization) untuk memberikan hak yang sama bagi anak-anak Papua, khususnya berkebutuhan khusus,” lanjut Jordy.

Baca Juga: Indonesia Ramah Autis, Mimpi Alvinia Christiany dan Teman Autis

Verified Writer

Arkana Naranka

Penggila buku

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya