TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Ini Alasan Gen Z Suka Curhat di Media Sosial tentang Mental Health

Akses kesehatan mental pun masih belum merata

Indonesia Gen Z Report 2024. (dok.Indonesia Gen Z Report 2024)

Jakarta, IDN Times - Isu kesehatan mental menjadi kian populer di kalangan Generasi Z. Topik ini semakin ramai dibicarakan karena masifnya diskusi terkait hal tersebut di media sosial, baik dilakukan oleh penyintas maupun profesional yang turut mengedukasi.

Kesadaran akan pentingnya kesehatan jiwa menjadi upaya positif untuk menekan kasus gangguan jiwa yang tak tertangani maupun stigma negatif yang terus diyakini di masyarakat. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, setidaknya 1 dari 5 orang Indonesia mengalami  gangguan jiwa. Angka tersebut menunjukkan, sekitar 20 persen populasi Indonesia berpotensi mengalami permasalahan gangguan jiwa. 

Berdasarkan data yang terhimpun dalam Indonesia Gen Z Report 2024, IDN Media menyajikan pandangan kalangan muda atas persoalan kesehatan mental. Pemaparan di bawah ini akan memberi penjelasan lebih lanjut terkait bagaimana akses hingga pemahaman yang diterima oleh Gen Z. Yuk, simak keterangannya dalam artikel ini! 

1. 1 dari 20 remaja mengalami gangguan kejiwaan, isu kesehatan mental dinilai menjadi topik yang penting bagi Gen Z

Indonesia Gen Z Report 2024 'What is Gen Z’s biggest concern?' (dok.Indonesia Gen Z Report 2024)

Kesehatan mental menjadi isu yang esensial bagi Gen Z. Menduduki posisi kedua setelah isu kesenjangan sosial dan ekonomi, sebagaimana dipaparkan dalam data Indonesia Gen Z Report 2024. Bahkan, 51 persen responden menilai mental health and well-being merupakan isu yang mendesak dalam kehidupannya.

Pandangan tersebut kemungkinan selaras dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia, terutama bagi kalangan remaja. Menurut data dari Survei Kesehatan Jiwa Remaja Nasional Indonesia tahun 2022, setidaknya 1 dari 20 remaja berusia 10-17 tahun terdiagnosis gangguan jiwa dalam kurun waktu 1 tahun. 

2. Stigma di masyarakat membuat remaja semakin sulit mendapatkan bantuan. Seringnya, justru mengalami penghakiman negatif

ilustrasi kesehatan mental individu (unsplash.com/Joice Kelly)

Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap topik kejiwaan masih belum selaras dengan persentase akses terhadap fasilitas dan layanan kesehatan mental. Melalui survei yang terhimpun, hanya 2,6 persen remaja yang mendapatkan akses terhadap pelayanan kesehatan mental berupa konseling maupun bantuan profesional. 

Khususnya di Indonesia, tantangan substansial juga masih menghantui penanganan gangguan kesehatan jiwa. Akses terhadap layanan profesional yang masih eksklusif untuk segelintir orang, diperparah dengan kurangnya kesadaran umum mengenai pentingnya mental well-being

Stigma yang berkembang di masyarakat berkontribusi memperparah isu ini. Individu dengan gangguan mental diasingkan bahkan mengalami diskriminasi. Tak jarang, penghakiman negatif lebih banyak diterima daripada dukungan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.  

Kondisi sosial ekonomi membuat penanganan mental health issue kian sukar ditangani, terutama bagi kalangan muda. Fenomena pernikahan dini hingga kemiskinan struktural pun turut memperparah gangguan kesehatan mental bagi generasi yang berada di lapisan sosial rendah. 

3. Persentase gangguan kesehatan mental naik signifikan. Masih ada orang yang melakukan pemasungan di daerah!

Ilustrasi Kesehatan mental. (Pixabay.com/1388843)

Permasalahan terkait akses dan pemahaman mengenai gangguan kesehatan jiwa kian mengkhawatirkan jika menilik lanskap kesehatan mental di Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan, penyintas skizofrenia dan gangguan psikotik dalam rumah tangga sebesar 7 orang per satu juta penduduk. 

Fenomena ini menjadi kian mengkhawatirkan karena 14 persen di antaranya melakukan pemasungan terhadap individu dengan disabilitas psikososial. Kasus ini masih banyak ditemui di daerah pedesaan atau rural area. 

Dalam studi yang sama juga ditemukan 6,1 persen remaja Indonesia berusia 15 tahun ke atas terdiagnosa depresi. Di antara angka tersebut, hanya 9 persen yang mendapatkan pengobatan rutin. 

Angka gangguan emosional ini terbukti mengalami peningkatan signifikan. Pada tahun 2013, persentase menunjukkan angka 6 persen dan mengalami peningkatan sebesar 9,8 persen atau sekitar 20 juta orang pada 2018.

Pemaparan di atas mendesak terpenuhinya edukasi terkait kesehatan mental di masyarakat, termasuk memerangi stigma yang menghambat penyembuhan penyintas. Sejalan dengan itu, terbukanya akses terhadap layanan profesional untuk masyarakat juga harus semakin digencarkan.

Tujuan besar dari tercapainya strategi tersebut adalah lingkungan yang sehat dan supportif mengenai isu kesehatan mental. Komunitas yang memahami pentingnya isu ini akan menciptakan kepedulian terhadap sesama.

Baca Juga: 5 Tanda Seseorang Bisa Menjaga Kesehatan Mental Kamu, Membuat Nyaman

4. Akses penanganan kesehatan mental masih sulit, 1 psikiater harus menangani 250 ribu orang

Ilustrasi konsultasi psikiater. (pexels.com/@cottonbro)

Fasilitas dan layanan kesehatan mental juga tak sepenuhnya dapat diakses oleh setiap individu. Jumlah tenaga ahli di bidang kejiwaan masih terbilang kecil dibanding dengan kebutuhan masyarakat. Menurut laman resmi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, setidaknya setiap 1 psikiater harus melayani 250 ribu penduduk Indonesia. 

Tentu itu menjadi beban yang besar bagi tenaga kesehatan maupun penyintas gangguan kesehatan mental. Fakta ini seharusnya menjadi kesadaran untuk memprioritaskan akses kesehatan mental bagi masyarakat secara umum. Termasuk dengan adanya perbantuan dari psikolog yang telah diakui sebagai tenaga kesehatan profesional sejak 2008. 

Angkanya masih belum memuaskan, sebab penempatan psikolog di pusat kesehatan masih terbatas. Kota atau kabupaten belum menerapkan kebijakan yang serius terkait hal tersebut. 

5. Anak muda kerap melakukan self diagnosis dan oversharing karena penanganan profesional yang kurang tepat

Ilustrasi Kesehatan Mental (unsplash.com/nik shuliahin)

Diskusi seputar kesehatan mental masih menjadi topik yang ramai bergulir di media sosial hingga saat ini. Platform online dinilai lebih efektif untuk menjadi tempat berbagi maupun mengedukasi. 

Sayangnya, informasi terkait mental health issue yang kurang kredibel dan komprehensif dapat menjadi bumerang bagi generasi muda. Akibatnya, anak muda kerap lakukan diagnosa mandiri (self diagnosis) hingga oversharing mengenai pengalaman yang menimpanya.

Fenomena ini muncul karena banyak orang yang berusaha mencari dukungan dan informasi melalui media digital. Padahal, tindakan tersebut berpengaruh pada penanganan yang kurang efektif serta munculnya ujaran kebencian hingga perundungan bagi penyintas. Problem ini pun menambah daftar panjang permasalahan kesehatan mental di Indonesia.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya