TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Novel Diary of A Void, Potret Ketimpangan Gender di Jepang

Fiksi Jepang yang layak sita waktu berhargamu

Diary of a Void (instagram.com/vikingbooks)

Rasanya tak sulit menemukan buku fiksi Jepang di toko buku belakangan ini. Ada banyak judul menarik yang melambai-lambai untuk kamu pilih ke daftar bacaanmu. Selain kisah-kisah bersahaja dan filosofis, sastra Jepang juga diinvasi novel-novel bermuatan pemberdayaan perempuan dan kritik pada patriarki.

Khusus untuk pengikut isu-isu perempuan dan feminisme, novel Diary of a Void dari penulis debutan Emi Yagi bisa jadi opsi menarik. Novel setebal 150-an halaman ini cukup singkat, tetapi siap membuatmu tercengang dengan plot twist-nya. Belum percaya? Simak resensinya berikut ini. 

1. Ditulis dengan kata ganti orang pertama yang menggaet pembaca sejak halaman pertama

Diary of a Void (instagram.com/vikingbooks)

Saking seringnya, kata ganti orang ketiga dalam novel terasa lumrah. Berbanding terbalik ketika kita menemukan buku dengan kata ganti orang pertama atau kedua, rasanya seperti harta karun. Novel Diary of a Void bisa jadi salah satu harta karun untuk penikmat sastra sepertimu. 

Ditulis dengan kata ganti orang pertama, novel ini siap menghanyutkanmu dalam benak sang lakon, Shibata. Ia diceritakan sebagai perempuan Jepang berusia 30-an yang bekerja sebagai pegawai kantoran biasa. Tanpa banyak basa-basi, Emi Yagi memperkenalkan Shibata yang sedang berpura-pura hamil di kantor. Bab-bab dalam buku ini bahkan dibaginya seolah mengikuti perkembangan janin mulai minggu ke-5 hingga minggu ke-40. 

2. Potret seksisme dan ketimpangan gender di Jepang

Diary of a Void (instagram.com/post_santa)

Berakting hamil terdengar seperti hal nekat dan berlebihan. Pada fase awal novel, pembaca mungkin mengira Shibata ingin dapat privilese seperti diutamakan dapat tempat duduk saat berada di kereta dan diperbolehkan pulang lebih awal. Namun, sebenarnya itu dilakukan Shibata semata-mata untuk mendapatkan kesetaraan di kantornya yang seksis. Sebagai satu-satunya karyawati di divisinya, Shibata sering diminta melakukan hal-hal menyebalkan seperti membereskan cangkir-cangkir kopi bekas rapat hingga mengisi kertas kosong di mesin fotokopi. 

Perilaku seperti ini sebenarnya bisa tertebak dari studi yang dilakukan beberapa institusi. BBC pernah merilis studi dari University of Michigan pada 2002 yang menemukan bahwa pria Jepang menghabiskan waktu lebih sedikit untuk pekerjaan rumah tangga dibanding pria di Amerika Serikat dan Swedia. Rasionya cukup jauh, yakni 1:4 dibanding pria di Amerika Serikat dan 1:6 dibanding pria di Swedia. 

Kecenderungan ini tidak berubah dari waktu ke waktu. Survei yang dirilis The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2014 menunjukkan fakta yang kurang lebih sama. Laki-laki Jepang hanya menghabiskan waktu rata-rata 30 menit per hari untuk pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak/anggota keluarga lainnya, sementara perempuan bisa menghabiskan waktu 225 menit atau hampir 4 jam sehari. Pada 2020, angkanya tidak berubah banyak yakni hanya 40 menit per hari. Liputan kualitatif The Washington Post menemukan bahwa banyak pria dewasa di Jepang tidak merasa memiliki tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan rumah. 

Baca Juga: 3 Alasan yang Mendasari Demam Novel Jepang, Kian Mengglobal

Verified Writer

Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya