Novel Diary of A Void, Potret Ketimpangan Gender di Jepang
Fiksi Jepang yang layak sita waktu berhargamu
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Rasanya tak sulit menemukan buku fiksi Jepang di toko buku belakangan ini. Ada banyak judul menarik yang melambai-lambai untuk kamu pilih ke daftar bacaanmu. Selain kisah-kisah bersahaja dan filosofis, sastra Jepang juga diinvasi novel-novel bermuatan pemberdayaan perempuan dan kritik pada patriarki.
Khusus untuk pengikut isu-isu perempuan dan feminisme, novel Diary of a Void dari penulis debutan Emi Yagi bisa jadi opsi menarik. Novel setebal 150-an halaman ini cukup singkat, tetapi siap membuatmu tercengang dengan plot twist-nya. Belum percaya? Simak resensinya berikut ini.
1. Ditulis dengan kata ganti orang pertama yang menggaet pembaca sejak halaman pertama
Saking seringnya, kata ganti orang ketiga dalam novel terasa lumrah. Berbanding terbalik ketika kita menemukan buku dengan kata ganti orang pertama atau kedua, rasanya seperti harta karun. Novel Diary of a Void bisa jadi salah satu harta karun untuk penikmat sastra sepertimu.
Ditulis dengan kata ganti orang pertama, novel ini siap menghanyutkanmu dalam benak sang lakon, Shibata. Ia diceritakan sebagai perempuan Jepang berusia 30-an yang bekerja sebagai pegawai kantoran biasa. Tanpa banyak basa-basi, Emi Yagi memperkenalkan Shibata yang sedang berpura-pura hamil di kantor. Bab-bab dalam buku ini bahkan dibaginya seolah mengikuti perkembangan janin mulai minggu ke-5 hingga minggu ke-40.
Baca Juga: 3 Alasan yang Mendasari Demam Novel Jepang, Kian Mengglobal
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.