TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Tak Bisa Dianggap Remeh, Ini 5 Bahaya Nyata dari Toxic Masculinity

Harus segera dihentikan

unsplash.com/NONRESIDENT

Toxic masculinity adalah standar yang dipegang masyarakat untuk para laki-laki yang pada akhirnya merusak kehidupan mereka dan orang lain. Dengan mendikte bahwa laki-laki harus kuat, tidak sensitif, dan mendominasi perempuan, konsep maskulinitas membuat laki-laki kehilangan aspek kehidupan yang harus tersedia untuk semua orang, seperti hubungan emosional dan pengasuhan.

Parahnya lagi, karena konsep toxic masculinity sudah mengakar dan dianggap lumrah di masyarakat, perilaku toxic masculinity kerap tidak disadari, baik oleh para pelaku maupun korban. Padahal, bagaimanapun juga toxic masculinity memiliki dampak negatif pada laki-laki maupun perempuan. Berikut adalah beberapa dampak berbahaya dari budaya toxic masculinity.

1. Membuat laki-laki kesulitan mengekspresikan emosi

Unsplash.com/Product School

Toxic masculinity membuat seolah-olah satu-satunya emosi yang dapat diungkapkan para laki-laki adalah kemarahan. Hal ini menghalangi laki-laki untuk mengakui hal-hal lain yang mereka rasakan, seperti rasa sedih, empati, dan galau.

Akhirnya, ini dapat membuat laki-laki sulit mengembangkan hubungan dekat dengan pasangan, anak-anak, atau keluarga mereka. Satu studi di Social Psychological and Personality Science bahkan menemukan bahwa menekan emosi dapat menyebabkan agresi yang menyebabkan seseorang sulit membentuk hubungan yang sehat.

Baca Juga: Bukan Sekadar Suka Dua Gender, 6 Fakta Menarik seputar Biseksual

2. Laki-laki cenderung mengabaikan masalah kesehatan mental

unsplash.com/Ben White

Menurut American Psychological Association, lebih kecil kemungkinan bagi laki-laki daripada perempuan untuk mencari bantuan terkait kesehatan mentalnya, yang mungkin disebabkan oleh idealisme maskulinitas.

Ini disebabkan anggapan bahwa laki-laki tangguh tidak mungkin bergumul dengan emosi apa pun, yang justru membuat laki-laki berisiko menghadapi masalah kesehatan mental yang tidak ditangani. Itu sebabnya, ketakutan akan terlihat lemah justru membuat laki-laki lebih memilih diam dalam menghadapi penderitaan.

3. Mendorong terjadinya pelecehan seksual

unsplash.com/Toa Heftiba

Budaya perguruan tinggi yang mendorong maskulinitas berisiko mendorong budaya pemerkosaan di kampus.

Menurut laman Bustle, tak jarang sistem aturan sosial di kampus tentang dominasi dan hierarki, sedangkan toxic masculinity mengajarkan para laki-laki bahwa identitas mereka bergantung pada kemampuan mereka untuk menggunakan dominasi atas perempuan dan satu cara umum bagi laki-laki untuk menegaskan dominasinya adalah melalui kekerasan dan pelecehan seksual.

4. Secara tidak langsung, toxic masculinity juga merendahkan perempuan

pexels.com/mentatdgt

Dalam toxic masculinity, menyebut laki-laki dengan hal-hal yang sifatnya feminin dianggap sebagai penghinaan. Hal ini memberikan gagasan bahwa menjadi seperti perempuan adalah hal negatif.

Selain itu, toxic masculinity mengajarkan bahwa laki-laki seharusnya memegang kendali dan memimpin, sedangkan perempuan harus menuruti dan mengikutinya; laki-laki lebih unggul dan perempuan memiliki derajat di bawahnya; laki-laki itu kuat dan perempuan lemah.

Singkatnya, dengan melampirkan karakteristik tertentu pada laki-laki, toxic masculinity mendorong budaya yang tidak hanya merendahkan laki-laki karena "feminin", tetapi juga merendahkan perempuan.

Baca Juga: 5 Fakta Disforia Gender, Mempertanyakan Jiwa di Diri Sendiri

Verified Writer

Eka Ami

https://mycollection.shop/allaboutshopee0101

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya