TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Bhrisco Jordy, Nyalakan Pelita di Titik Nadi Peradaban Papua 

Terbitkan asa di tengah keterbatasan 

Jordy bersama salah satu anak didik Papua Future Project (dok. pribadi/Papua Future Project)

Sekilas, Pulau Mansinam di Papua Barat terlihat tak jauh beda dengan pulau-pulau lain di Indonesia. Hamparan pasir putih, perahu-perahu yang tertambat di tepian pantai, pohon kelapa yang tumbuh bebas, serta bukit dan pepohonan hijau menjadi pemandangan yang biasa di pulau ini. Satu hal yang membuatnya istimewa, di pulau inilah titik nadi peradaban Papua bermula.

Dilansir Indonesia Kaya, tepatnya pada 1855, dua orang misionaris asal Jerman bernama Carl Wilhelm Ottouw dan Johann Gottlob Geissler menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di Papua. Tujuannya tak lain adalah menyebarkan kabar baik dari ajaran Injil kepada penduduk setempat yang kemudian semakin meluas.

Namun sayangnya, pulau bersejarah yang menjadi saksi perubahan peradaban suku asli Papua tersebut terlihat kontras dengan potret pendidikan masyarakatnya. Padahal, pulau ini hanya berjarak sekitar 6 kilometer saja dari pusat Kota Manokwari, di mana dari segi pendidikan jauh lebih baik.

Kesenjangan pendidikan yang cukup kontras ini memantik keprihatinan para pegiat pendidikan lokal. Salah satunya adalah Bhrisco Jordy Dudi Padatu, founder Papua Future Project (PFP) yang mendapatkan penghargaan 13th SATU Indonesia Awards yang diselenggarakan oleh Astra Indonesia.

Lahir di Kota Jayapura dan besar di Kota Manokwari 22 tahun yang lalu membuat Jordy memahami betul betapa kurang meratanya akses pendidikan di Papua.

1. Hidup di Papua bukanlah hal yang mudah

Beberapa anak Papua yang sedang bermain gitar (dok. pribadi/Papua Future Project)

“Saya selama 22 tahun hidup di Papua itu tidaklah mudah. Mulai dari akses pendidikan dan fasilitas yang kurang baik, hingga profesionalitas guru. Kita harus menunggu sampai kapan lagi?,” ungkap alumni President University ini.

Di tengah kondisi pendidikan di Papua saat ini, Jordy sangat bersyukur bisa mengenyam pendidikan hingga mendapat gelar Bachelor of Arts, program studi International Relations and Affairs. Oleh sebab itu, Jordy sangat ingin semua pelajar di Papua memiliki keberuntungan atau kesempatan yang sama dalam menimba ilmu setinggi mungkin.

Namun, masalah-masalah fundamental pada pendidikan di Papua masih belum terselesaikan sepenuhnya. Jadi, agak sulit rasanya pelajar di Papua mampu mengejar ketertinggalan sebagaimana pelajar di daerah lain. 

2. Mengapa harus Pulau Mansinam?

Jordy dan tim Papua Future Project menyeberang menuju ke Pulau Mansinam (dok. pribadi/Papua Future Project)

“Pulau ini cukup terkenal di Papua karena sarat sejarah dan adat istiadat yang masih kental, itu tidak boleh hilang. Itulah kenapa kita memilih Pulau Mansinam, tempat yang tepat untuk menyasar proyek pendidikan kita,” ujar Jordy.

Selain itu, ada beragam masalah fundamental pendidikan yang dialami oleh anak-anak Papua. Pertama, anak-anak Pulau Mansinam dituntut untuk bisa mengikuti standar kurikulum yang sudah ditetapkan pusat. Padahal, dari segi akses pendidikan masih sulit, disertai kualitas pendidik yang belum setara dengan pusat. 

Kedua, fasilitas penunjang pendidikan dan kompetensi guru. Saat ini di Pulau Mansinam hanya terdapat satu sekolah dasar, yaitu SD Inpres 10 Pulau Mansinam, dilengkapi dengan perangkat komputer yang belum tentu semua bisa mengoperasikannya.

Di samping itu, kompetensi guru di sini belum cukup profesional. Meskipun kurikulum merdeka telah diterapkan, ternyata tidak semua guru mengetahui informasi itu. Alhasil, mereka hanya mengajar sejauh yang mereka tahu.

Tidak hanya itu, para guru juga kurang memahami bagaimana metode belajar mengajar yang efektif. Sehingga, anak-anak kehilangan kesempatan untuk mengeksplor potensi mereka. Melihat kualitas pengajar dan siswa di Pulau Mansinam yang berada tak jauh dari Kota Manokwari seperti ini, sudah bisa terbayang kan bagaimana dengan mereka yang berada jauh di pedalaman?

Baca Juga: Tantangan Bhrisco Jordy saat Wujudkan Mimpi Anak-anak Mansinam

3. Papua Future Project akhirnya dibentuk pada 2020 sebagai solusi pembelajaran alternatif

Beberapa anak Pulau Mansinam memperlihatkan hasil karya mereka. (dok. pribadi/Papua Future Project)

Papua Future Project ini kan dibentuk tahun 2020, saat itu kita masih berkutat dengan pandemik. Saya berpikir, sebelum pandemik saja pendidikan di Papua sudah memprihatinkan, apalagi saat pandemik seperti ini,” ungkap pemuda yang menjadi partner potensial UNICEF Indonesia ini.

Perlu diketahui bahwa para guru yang mengajar di Pulau Mansinam ini berasal dari Kota Manokwari. Pada situasi normal, anak-anak biasanya belajar hanya selama 2 jam di sekolah formal setiap harinya. Itu pun tergantung kehadiran dari guru mereka, jika cuaca tidak mendukung maka biasanya guru berhalangan hadir. Apalagi ketika pandemik, sudah durasi belajarnya singkat, terdampak PPKM pula. Jadilah anak-anak Pulau Mansinam ini semakin kesulitan belajar dan tertinggal.

Padahal, pendidikan untuk anak-anak Pulau Mansinam akan sangat mempengaruhi kualitas hidup mereka di masa depan. Maka dari itu, Jordy bersama kelima kawannya berinisiasi mendirikan Papua Future Project, komunitas berbasis project yang didirikan untuk memberikan pendidikan lebih inklusif kepada anak suku asli Papua. Khususnya mereka yang berada di wilayah 3T (terdepan, tertinggal dan terluar), Pulau Mansinam termasuk di dalamnya.

4. Ada 3 program andalan Papua Future Project 

Anak-anak Pulau Mansinam mendengarkan pelajaran dengan seksama. (dok. pribadi/Papua Future Project)

“Sebenarnya kami memiliki 3 program, yaitu bimbingan belajar intensif Pulau Mansinam, donasi buku dan literasi keliling, serta program kolaborasi Kementerian Kesehatan dengan UNICEF,” terang pemuda 22 tahun ini.

Program pertama yaitu bimbingan belajar intensif Pulau Mansinam seminggu sekali. Program ini membidik anak-anak setempat untuk membentuk sumber daya manusia agar setara dengan daerah lain. Jordy menganggap anak-anak Pulau Mansinam adalah anak-anak terpilih untuk menjaga warisan leluhur yang menjadi saksi sejarah peradaban Papua.

Program kedua yaitu donasi buku dan literasi keliling. Pada program ini, Jordy dan tim menyasar anak-anak pedalaman yang sulit dijangkau, karena ternyata tingkat buta hurufnya cukup tinggi. Bahkan tidak sedikit pula yang tidak mengenal apa itu buku. Karenanya dalam 2 bulan sekali, Jordy dan tim melakukan voluntrip ke kampung-kampung pedalaman untuk berdonasi buku dan menggalakkan literasi. Di sini Papua Future Project tidak berjalan sendiri, Jordy turut menggandeng komunitas lokal untuk melancarkan programnya.

Program ketiga yaitu kolaborasi antara Kementerian Kesehatan dengan UNICEF. Sebagai mitra potensial UNICEF, Jordy dan tim menggalakkan edukasi seputar kesehatan kepada penduduk. Mulai dari kesadaran akan kebersihan, mencuci tangan, sosialisasi imunisasi lengkap hingga edukasi tentang reproduksi.

Karena masih banyak sekali praktik pernikahan di bawah umur bagi anak perempuan yang sangat berisiko pada organ reproduksinya dan mematikan potensinya. Padahal dari segi kecerdasan, anak perempuan cenderung lebih menonjol dan lebih pintar.

5. Asynchronous Learning jadi metode yang dinilai cukup efektif untuk anak-anak Papua 

Momen ketika anak-anak Pulau Mansinam belajar mengoperasikan laptop. (dok. pribadi/Papua Future Project)

“Bisa dilihat, jaringan di sini itu kadang-kadang ya. Saya mesti lari-lari supaya dapat sinyal. Padahal banyak juga teman-teman di luar Papua yang juga ingin mengajar anak-anak Pulau Mansinam. Solusinya kita pakai metode asynchronous learning ini,” jelas Duta GenRe Papua Barat tahun 2017 lalu itu.

Sederhananya, metode ini merupakan pembelajaran daring secara tidak langsung. Para pengajar luar Papua yang ingin berkontribusi bisa mengunggah video materi ke YouTube berdasarkan materi yang sudah dibagikan oleh Papua Future Project. Setelah itu barulah anak-anak didampingi dengan tim Papua Future Project bisa mengakses video tersebut kapan saja.

Sedangkan model pembelajarannya adalah kontekstual kurikulum, yang mengintegrasikan teknologi, nilai budaya dan pelajaran di sekolah menjadi satu dengan teknik adaptive learning. Pada dasarnya, metodenya tidak terlalu sulit, hanya masalahnya adalah laptop untuk belajar hanya satu unit saja. Padahal saat ini, anak didik Papua Future Project telah mencapai 102 anak. Dalam hal ini, Jordy masih berharap ada bantuan dari donatur.

Anak didik Papua Future Project, yang saat ini sudah mencapai 250-an akumulasi dari tahun sebelumnya, tidak dibatasi usia untuk dapat ikut belajar. Tetapi, Jordy membagi kelas menjadi 3, yaitu kelas kecil, kelas menengah dan kelas besar. Kelas kecil diperuntukkan bagi anak PAUD atau mereka yang belum bisa membaca. Anak selevel SMP pun bisa masuk kelas kecil jika belum bisa membaca.

Kemudian kelas menengah diisi dengan anak-anak kelas 4-5 SD yang sudah bisa membaca dan menulis, tim akan fokus para pelajaran yang diajarkan di sekolah dan mengeksplor lebih luas lagi. Sedangkan kelas besar diisi anak kelas 6 SD dan SMP untuk fokus pada pelajaran akademik dan membantu mempersiapkan mereka untuk masuk SMA lewat jalur beasiswa.

6. Memeras tenaga membangun Papua Future Project 

Jordy bersama anak-anak Pulau Mansinam (dok. pribadi/Papua Future Project)

“Sebelum membangun Papua Future Project ini, saya sempat kerja sebagai barista dan helper. Karena saya tahu untuk membuat project itu butuh modal yang cukup besar. Kita juga sempat vakum selama kurang lebih 2 bulan karena kesibukan. Selain itu, kita awalnya hanya berlima membentuk komunitas ini, dan saat ini sudah ada 50 volunteer aktif di seluruh Indonesia,” lanjutnya.

Jordy mengungkapkan bahwa program ini mendapat dukungan penuh dari masyarakat setempat, kepala adat dan komunitas lokal seperti Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan (Hakli) salah satunya. Namun demikian, sampai saat ini pihaknya masih mengalami beberapa masalah dan tantangan.

Salah satunya adalah masalah pendanaan. Sumber pendanaan Papua Future Project berasal dari UNICEF Indonesia dan donatur tidak tetap. Namun demikian, jumlahnya masih dirasa kurang mengingat biaya di Papua cukup tinggi, biaya transportasi misalnya butuh 250 ribu rupiah pulang pergi untuk menyeberang.

Selain masalah keuangan, Jordy juga sulit untuk menemukan anak muda yang konsisten mengajar di pedalaman tanpa dibayar. Dirinya juga sempat khawatir jika Papua Future Project ini bakal berhenti di tengah jalan, apalagi saat ini Jordy tengah berencana untuk melanjutkan pendidikannya. Untuk itu, sempat terpikirkan untuk memberikan fee bagi volunteer dan merekrut lebih banyak lagi relawan agar program ini tetap berlanjut. Namun, kembali lagi terbentur masalah dana.

Baca Juga: Melalui Papua Future Project, Jordy Perjuangkan Pendidikan Perempuan

Verified Writer

Refalution

"Tidak harus jadi hebat untuk memulai, tetapi mulailah untuk menjadi hebat." - Zig Ziglar

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya