TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Korban Kekerasan Seksual Harus Speak Up? Avila: It’s Her Story To Tell

Perjuangannya untuk meruntuhkan patriarki

Justitia Avila KAKG (instagram.com/advokatgender)

Penerima apresiasi bidang kesehatan SATU Indonesia Awards 2022 dari ASTRA Indonesia, Justita Avila, menjelaskan setiap korban kekerasan seksual (KS) membutuhkan pendekatan yang berbeda dalam penanganannya. Banyak tantangan yang harus dihadapi oleh Avila, yang merupakan pendiri Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender atau KAKG. Terlebih lagi, ada pasal yang sering jadi sandungan bagi korban kekerasan seksual.

Di samping itu, hal lain yang gak kalah penting adalah terkait bagaimana orang terdekat korban. Sebab, orang-orang terdekat harus tahu cara bersikap dan terus menjadi pendukung positif untuk korban. Memang ini tidak akan mudah bagi kedua belah pihak.

Namun, kabar baiknya, Avila punya beberapa cara yang bisa dilakukan. Sehingga, dengan begini korban tetap mendapat pendampingan yang semestinya gak cuma dari KAKG, tapi juga mendapat hal yang sama dari orang terdekatnya.

1. Apa yang bisa dilakukan orang terdekat korban? 

Ilustrasi orang terdekat support korban kekerasan seksual (pexels.com/Roberto Nickson)

Pendekatan yang bisa dilakukan dibedakan menjadi dua, pertama untuk anak di bawah umur dan dewasa. Bagi Avila hal ini harus dibedakan dulu karena gak bisa disamaratakan.

Sebab, anak di bawah umur atau di bawah 18 tahun belum cakap hukum serta butuh pendampingan lawyer. Dengan begitu, orangtua harus menjadi support system yang baik.

“Agak susah kalau korban tidak berkomunikasi dengan orangtua, yang harus jadi wali adalah orangtua. Orangtua harus mendengar keluh kesah anak, karena di fase begitu anak butuh sama orangtua, mereka perlu dukungan keluarga, saudara, teman ketika sedang berkasus sangat penting,” terangnya.

Kemudian, jika korbannya sudah dewasa, punya pendekatan lain. Namun, pada intinya tetap harus support dan gak judging, termasuk buat mereka teman-teman lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

“Buat teman-teman yang LGBT banyak yang masih gak terbuka sama anggota keluarganya, bisa dimulai dengan menerima mereka dulu, ketika ada kasus baru berikan pendampingan," ujar Avila.

Selain itu, melakukan pendekatan dengan orangtua korban juga penting untuk dilakukan. Meskipun tidak akan mudah, tapi perlu mengajaknya berkomunikasi secara terbuka untuk memberi pemahaman.

"Caranya ajak ngobrol bicara sama anak juga, korbannya juga. Orangtuanya juga kasih pemahaman, bahwa ada blok-blok penyelesaian,” terangnya

2. Jangan pernah memaksakan korban untuk menikah dengan pelakunya

Ilustrasi korban dipaksa menikah (pexels.com/RODNAE Productions)

Dalam beberapa kasus, ada pihak keluarga atau orangtua yang memilih menikahkan anaknya dengan pelaku. Bagi Avila, ini adalah pemahaman yang salah dan kurang tepat. Justru ini bisa membuat kondisi korban lebih parah dan gak ada bisa memperbaiki traumanya.

“Menikahkan anak gak akan perbaiki trauma dia. Jangan maksa atau menikahkan korban dengan pelaku, itu sering terjadi,” tegasnya.

Itulah kenapa butuh edukasi bagi orangtua terkait kekerasan seksual. Dengan begitu, bisa lebih memikirkan dari sudut pandang korban yang tak lain adalah anak mereka sendiri.

“Mungkin pikiran mereka simple, gak mau nama keluarga jadi buruk, it’s not even the priority. Priority-nya adalah your child almost kill herself karena mengalami sexual assault. Ini memang perlu edukasi ke generasi-generasi orangtua juga."

Baca Juga: Rangkul Korban Kekerasan Seksual, Justitia Gagas Kolektif Advokat

3. Cara reach out dan encourage

Justitia Avila KAKG (instagram.com/advokatgender)

Avila mengatakan banyak tantangan ketika me-reach out korban kekerasan seksual. Salah satu yang paling terasa adalah ketika lokasi ada di pelosok. Sebab, akan sulit untuk melakukan pendampingan hukum langsung. Apalagi belum ada lawyer yang standby di lokasi.

“Internally akan ada proses recruitment lawyer di daerah-daerah. Kalau exposure informasi sendiri, kami berjejaring dan berusaha untuk eksis dalam banyak acara, karena saya perlu orang banyak tahu KAKG, dan KAKG bisa diakses sedekat WhatsApp,” ujarnya.

Untuk melakukan encourage juga gak kalah susahnya. Sebab, Avila gak bisa approach secara individu-individu. Salah satu yang coba dia lakukan adalah membuat workshop diskusi publik untuk membangun empowerment.

“Saya lebih suka nge-encourage tetap apa adanya, saya paparin aja manis pahitnya apa pun baik buruknya. Tapi saya tetep kasih tahu mereka kalau your not gonna be alone, it’s gonna be with me, with all of us,” tutur Avila.

“Kami akan temenin sampai selesai saat kamu siap. Kita gak punya dorong-dorong korban untuk speak up, it’s her grief, her story to tell. Tunggu sampai dia siap, baru kita gerak. Kalau dia belum siap, kita gak bakal gerak,” sambung Avila.

4. Tantangan terberat menangani kasus kekerasan seksual

Justitia Avila tim KAKG (instagram.com/advokatgender)

Tentu bekerja untuk memberi pendampingan korban kekerasan seksual itu banyak sekali tantangannya. Hal ini juga diakui Avila. Apalagi ketika menjalani prosesnya dan harus berhadapan dengan banyak pihak, ini sangat menguras mental dan fisik.

“Kerjaan ini capek banget fisik mental, karena kalau ngomongin fisik pendampingan di polisi bisa dari jam 8 pagi sampai 3 pagi, sementara kita full time job, punya keluarga, ngadepin polisi berjam-jam juga melelahkan, frustasi kalo penegak hukum gak punya sensitivitas atau malah kasih komentar-komentar negatif,” keluhnya.

Namun, itu bukan seberapa, ada tantangan berat lain yang juga dihadapi Avila dan timnya. Bahkan, ada momen mereka merasa stres hingga trauma karena merasa tak berdaya dalam menjalani dinamika kasus kekerasan seksual.

“Kalau kasus macet aja, kami ikut sedih dan stres merasa gak berdaya. Dalam aktivitas ini ada yang namanya secondary trauma karena terus terpapar kasus dan proses penyelesaian, hambatan, dan tantangannya barengan,” terang Avila.

Avila juga mengakui terkadang saking beratnya menghadapi kasus ini, para advokat sampai membutuhkan layanan psikolog. Namun, momen-momen seperti inilah yang membuat tim Avila semakin solid.

“Cara antisipasinya, layanan psikolog jadinya buat para advokat juga. Terus rasanya kayak keluarga karena jatuh bangun bareng, menang bareng, kalah bareng,” ujarnya.

Baca Juga: Justitia Avila dan Suara Lantangnya Dampingi Korban Kekerasan Seksual

Verified Writer

Olivia Erwima

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya