TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

6 Jenis Shaming yang Kerap Dianggap Wajar, Berkedok Dalih Bercanda

Bercanda boleh, merendahkan jangan!

ilustrasi perilaku shaming (Unsplash.com/Flaunter)

Shaming merupakan tindakan atau perkataan yang ditujukan untuk mengomentari dan mengkritik yang cenderung negatif hingga mengarah pada sikap mencela, menjatuhkan serta merendahkan orang lain. Sayangnya, masih banyak perilaku shaming dalam lingkungan sosial kita yang kerap dilakukan dan tanpa sadar justru dianggap wajar.

Pasalnya, banyak orang yang berlindung di balik kedok bercanda dan nasihat karena peduli saat mengomentari orang lain. Padahal komentar yang dilontarkan justru lebih mengarah pada tendensi celaan dibanding kritik membangun.

Berikut beberapa jenis shaming yang masih dibiarkan terjadi karena dianggap sebagai perilaku wajar. Jangan lakukan lagi, ya.

Baca Juga: 5 Perkataan Ini Termasuk Body Shaming, Hati-hati Berkomentar!

1. Physical shaming

ilustrasi perilaku shaming (Unsplash.com/Flaunter)

Physical shaming merupakan bentuk komentar yang cenderung terdengar menghina terkait kondisi fisik seseorang. Biasanya jenis celaan yang terjadi akan mengarah pada penampilan visual, seperti konsep tampan atau cantik yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri.

Meski komentar yang ada gak langsung pakai frasa "jelek", tapi faktanya banyak padan kata yang masih dipakai. Misalnya, "kok gendutan, sih", "kurusan, ya?", "hidung ke mana, shay?", atau "pakai baju itu jadi makin pendek, deh!". Komentarnya yang dianggap wajar untuk dilontarkan ini, ternyata masuk shaming, lho.

Jadi, mulailah berhenti mengomentari seseorang yang menjurus pada penampilan fisiknya. Jika memang merasa harus, sampaikan dengan kalimat yang lebih netral, ya. Seperti "wah, kamu makin bugar, ya" atau "baju yang satunya lebih cocok dan bikin kamu makin stunning, lho".

Baca Juga: 5 Alasan Body Shaming Bukanlah Perilaku yang Bijak, Hentikan!

2. Hobby shaming

ilustrasi bermain game (Unsplash.com/Humphrey Muleba)

Perilaku shaming selanjutnya yang tanpa sadar kerap dilakukan adalah komentar negatif terkait hobi orang lain. Namanya juga hobi, tentunya tiap orang punya kesukaan yang berbeda-beda. Jadi, seharusnya gak boleh ada ledekan atau kalimat merendahkan tentang pilihan hobi seseorang.

Namun, terkadang karena merasa gak punya niat menghina, ucapan yang keluar justru makin gak tersaring. Kalau pernah berkomentar "kok baca buku macam itu, sih?", "payah banget gak bisa main game", atau "kalau bukan anak gunung, gak keren", tandanya kamu sudah melakukan shaming, lho.

Padahal semua hobi itu keren asal bisa memberi dampak positif. Bahkan ada hobi yang bisa menghasilkan juga, lho. Jadi, biarkan saja orang menikmati hobinya masing-masing dan tugas kita hanya mendukung atau setidaknya hargai pilihan mereka. 

3. Healthy shaming

ilustrasi makan junk food (Unsplash.com/Milly Vueti)

Shaming ternyata juga bisa datang pada preferensi seseorang tentang kesehatan, lho. Hal ini terjadi saat muncul ucapan atau tindakan yang menganggap bahwa pilihan orang tentang kesehatan tidaklah penting. Misalnya terkait menghindari junk food, keinginan sehat lewat diet, atau rutinitas work out yang dilakukan.

Terkadang muncul sikap yang mengarah pada rasa tidak menghargai pilihan tersebut. Beberapa komentar sarkas pun kerap jadi 'senjata', seperti "sesekali makan junk food gak apa-apa kali!", "makan salad mulu kayak kambing", atau "katanya work out, tapi kok badannya biasa aja". 

4. Gender shaming

ilustrasi perilaku shaming (Unsplash.com/Flaunter)

Gender shaming sebenarnya masih cukup banyak terjadi, baik yang secara sadar dilakukan atau tidak. Kebanyakan orang memang terkesan terlalu mudah melontarkan kalimat yang cenderung merendahkan terkait norma gender yang sayangnya justru diaminkan masyarakat.

Beberapa yang khas dan masih cukup mendarah daging dalam frasa sosial adalah "cowok kok nangis", "cewek kok gak bisa masak", atau yang paling ekstrim "cewek gak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh balik lagi ke dapur".

Meski sudah banyak yang mulai abai, tapi tetap saja seharusnya komentar yang punya tendensi merendahkan berdasar gender semacam itu gak boleh lagi dilegalkan. Kesetaraan harus ada dalam semua aspek, termasuk tidak mengusung tema gender dalam berkomentar.

5. Single shaming

ilustrasi orang berbaju putih (Unsplash.com/Tamara Bellis)

Single shaming ini pasti cukup familier dan banyak dialami para jomlo. Urusan pasangan memang kerap jadi topik sensitif bagi beberapa orang yang masih berstatus lajang hingga komentar yang muncul terkadang ada kesan menjatuhkan meski gak punya niat untuk melakukannya.

Misalnya saat ada reuni atau acara kumpul-kumpul, tanpa sadar orang jadi mudah bertanya atau mengomentari status. Mulai dari "kok sendiri mulu, jomlo ya?", "buruan cari pacar, jangan sampai jadi perawan tua", "kapan nikah?", sampai "gak laku, ya?", semuanya punya tendensi merendahkan, lho.

Baca Juga: 5 Cara Bijak Merespon Single Shaming, Gak Perlu Marah-marah

Verified Writer

T y a s

menulis adalah satu dari sekian cara untuk menemui ketenangan

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya