Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi AI (pexels.com/CottonbroStudio)
Ilustrasi AI (pexels.com/CottonbroStudio)

Intinya sih...

  • ChatGPT memberikan validasi pada perasaan manusia, mengatasi kesepian generasi muda

  • ChatGPT menjadi pendengar yang baik, menyebabkan manipulasi emosional dan ChatGPT Psychosis

  • Anak muda tertarik jalin hubungan dengan AI karena rasa kesepian dan harapan sosial yang tak sesuai ekspektasi

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Saat mengalami hari yang berat, mood yang berantakan, dan butuh teman untuk berbagi cerita, apakah kamu lebih pilih untuk mengobrol dengan ChatGPT? Fenomena curhat dengan perangkat AI mungkin terdengar semakin akrab di kalangan generasi muda. Kamu bisa berbagi apa saja, lalu perangkat AI akan memberikan jawaban seolah kamu sedang chatting dengan teman sendiri, bahkan lebih baik!

ChatGPT menghadirkan fitur yang seolah-olah tengah berbincang dengan manusia, namun versi lebih baik karena tak perlu khawatir akan dihakimi, dimarahi, apalagi tak menjaga rahasia. Fitur inilah yang kemudian disukai oleh banyak orang sehingga memilih untuk curhat pada ChatGPT daripada teman sendiri. Kira-kira, apa saja alasan orang lebih nyaman curhat dengan AI dan bagaimana dampaknya pada kesehatan mental?

1. ChatGPT selalu memberikan validasi pada perasaan manusia, jawabannya tak mungkin mengecewakan

Ilustrasi AI (pexels.com/ThisIsEngineering)

Mengapa ketika AI makin canggih, orang-orang justru lebih suka mengobrol dengan teknologi tersebut? Krista K. Thomason, Ph.D., Associate Professor di Swarthmore College menyebut, kesepian menjadi alasan utama mengapa fenomena ini banyak dialami generasi muda.

Lebih dari rasa sepi yang menghantui, kebiasaan curhat pada ChatGPT disebabkan oleh kebutuhan untuk divalidasi. Dikuutip Psychology Today, Krista menjelaskan, chatbots ini menciptakan one-sided friendship, di mana teknologi selalu menyepakati apa yang kamu pikirkan atau percayai. Berbeda dengan manusia yang sering kali bertolak belakang dengan pendapatmu, AI tak akan menyakiti atau mengecewakan penggunanya, sehingga kamu tak perlu khawatir terluka.

2. ChatGPT selalu menjadi pendengar yang baik, ini menyebabkan manipulasi emosional

Ilustrasi AI (pexels.com/Mikael Blomkvist)

Semakin sering curhat dengan AI, hubungan pengguna dengan perangkat teknologi tersebut akan terasa makin akrab dan kuat. Tampaknya seperti memiliki koneksi yang istimewa. Sebab, pengguna merasa bebas memberi tahu ChatGPT apa yang tengah dialami dan bagaimana perasaan terdalamnya. Perangkat kecerdasan buatan ini dapat menjadi 'pendengar' yang baik.

Selain itu, jika curhat pada ChatGPT, tak perlu khawatir informasi yang disampaikan akan diketahui orang lain, kalian seperti memiliki rahasia yang sama. ChatGPT juga pandai merangkai kalimat yang terdengar kian personal dan hangat, membuat pengunanya merasa semakin dipahami. Hubungan ini jadi kian intim dan inilah yang disebut Krista sebagai manipulasi emosional oleh ChatGPT yang menyebabkan ChatGPT Psychosis.

ChatGPT Psychosis, hubungan yang semakin erat dengan ChatGPT dapat menggeser kebutuhan emosional manusia pada manusia. Intimasi ini jika dibiarkan semakin jauh akan membuat manusia kehilangan empati dan interaksi dengan sesama.

3. Anak muda tertarik jalin hubungan dengan AI, alasannya karena rasa kesepian

ilustrasi AI membantu pembelajaran (pexels.com/Shantanu Kumar)

AI telah menjadi bagian dari kehidupan gen Z dan milenial. Teknologi ini memberikan ide bagi generasi muda untuk menggantikan kehadiran manusia dengan perangkat lunak, baik sebagai teman, keluarga, maupun pasangan romantis.

Riset yang dilakukan oleh Institute for Family Studies menemukan 40, 1 persen anak muda di Amerika mengaku telah memiliki teman berupa AI. Di samping itu, 25 persen dari mereka juga percaya bahwa AI berpotensi menggantikan manusia dalam hubungan romantis. Menariknya, 7 persen dari generasi tersebut mengaku mau untuk menjalin hubungan romantis dengan AI.

Psikiatris Marlynn Wei menyebut, alasan berkembangnya fenomena tersebut adalah kelekatan emosi dan ketergantungan pengguna pada AI. Selain itu, rasa kesepian dan harapan sosial yang tak sesuai ekspektasi kian memicu meningkatnya hubungan manusia dan fitur kecerdasan buatan tersebut.

Editorial Team